Patung Sangkalon Lambang Hukum dan Keadilan

Oleh: Fatmin Prihatin Malau. BILA kita berkunjung ke Kabupaten Mandailing Natal (Madina) masih mudah ditemukan Patung Sangkalon. Patung ada di depan rumah raja-raja di Mandailing, tepatnya di sisi kiri dan kanan tangga rumah raja.

Patung Sangkalon di depan rumah raja-raja di Madina, lambang keadilan masyarakat Mandailing dahulu dilaksanakan di daerah itu. Patung yang dipanggil “Si pangan anak si pangan boru.” 

Artinya, “Si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan” ini perumpamaan tentang hukum dan keadilan harus ditegakkan meskipun terpaksa membunuh anak sendiri.

Patung Sangkalon melambangkan suatu sikap atau nilai budaya demi tegaknya keadilan. Sampai anak kandung sendiri harus dibunuh kalau ternyata melakukan kesalahan, tidak pilih kasih.

Patung Sangkalon itu umumnya sudah replika akan tetapi bentuk dari patung masih seperti aslinya, sehingga makna dari patung Sangkalon tetap lestari. Adanya patung Sangkalon, bukti adanya kearifan budaya lokal yang hidup pada masyarakat Mandailing. Seharusnya diwariskan secara terus-menerus sampai hari ini, karena merupakan peninggalan nenek moyang Bangsa Indonesia.

Kearifan budaya lokal tentang hukum dan keadilan tidak seperti hari ini. Hukum dan keadilan hari ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Patung Sangkalon kearifan budaya lokal terhadap hukum dan keadilan yang pemimpinnya berlaku adil dan jujur.

Hal itu dilakukan para raja-raja yang memimpin kerajaan di Madina, kepemimpinan yang jujur, adil dan bijaksana. Seharusnya juga diwariskan hari ini kepada para pemimpin negeri ini bahwa semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

Pada dasarnya semua daerah di Indonesia memiliki kearifan budaya lokal terhadap keberadaan hukum dan penegakan keadilan. Namun, kearifan budaya lokal yang dimiliki Bangsa Indonesia ini tinggal catatan sejarah. Kandungan kearifan budaya lokal itu tidak diwariskan dalam kehidupan Bangsa Indonesia sekarang ini.

Faktanya hari ini hukum sulit untuk ditegakkan di Indonesia, keadilan semakin jauh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum dalam implementasinya selalu tajam ke bawah, tumpul ke atas. Artinya, hukum di Indonesia lebih berlaku kepada masyarakat bawah dan bagi masyarakat atas sulit tersentuh hukum.

Pada dasarnya ini bukan budaya Indonesia. Dahulu, sebelum Bangsa Indonesia lahir di bumi nusantara ini diperintah dalam bentuk kerajaan-kerajaan yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Logikanya jika raja atau kerajaan biasanya hukum itu hanya berlaku bagi rakyat, sedangkan kaum bangsawan atau kerajaan kebal hukum.

Anak Sendiri Juga Dihukum

Anggapan raja atau kerajaan memerintah sewenang-wenang, kebal hukum ternyata tidak benar. Patung Sangkalon yang lahir dari kearifan budaya lokal itu tumbuh dan berkembang pada kerajaan di Mandailing Natal bahwa hukum itu berlaku bagi semua orang yang ada di kerajaan itu tanpa terkecuali.

Hukum dijalankan raja di kerajaan berkeadilan bagi semua orang yang ada di kerajaannya. Artinya, hukum menjadi panglima tertinggi sehingga keadilan yang diinginkan semua orang tercipta.

Pada zaman itu hukum memiliki kedudukan sangat penting. Menyatu dengan kepercayaan, moral dan adat-istiadat atau tradisi masyarakat yang turun-temurun. Ada ungkapan Adat Dohot Ugari atau artinya adat dan norma-norma. Ada juga ungkapan Patik dohot Uhum, artinya peraturan dan hukum.

Kedudukan hukum waktu itu sangat tegas dan jelas. Pranata hukum menyatu dalam kehidupan masyarakat, tidak berdiri sendiri melainkan bagian yang tidak terpisahkan dengan unsur kebudayaan Mandailing.

Masyarakat Mandailing waktu itu sangat erat hubungannya dengan hukum. Penerapannya sangat jelas sebagaimana tertuang dalam ungkapan muda tartiop opatna, ni paspas naraco holing, ni ungkap buntil ni adat, ni suat dokdok ni hasalaan, ni dabu utang dohot baris. Artinya mengadili seseorang harus didasarkan syarat.

Pedoman dasar, syarat yang telah terpenuhi yakni naraco holing atau pertimbangan yang seadil-adilnya. Dengan melihat ketentuan adat-istiadat, mengukur beratnya kesalahan dalam menjatuhkan hukuman.

Begitu yang ada pada Patung Sangkalon sebagai perlambang (simbol) lambang hukum dan keadilan. Ditempatkan di depan pintu Sopo Godang (Balai Sidang Adat) dan Bagas Godang (Istama Raja) yang letaknya berdekatan. 

Hukum dan keadilan pada budaya lokal pada zaman dahulu di Mandailing, dibangkitkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum bagian yang menyatu dengan nilai-nilai kepercayaan, menyatu dengan nilai-nilai moral, etika dan peradapan manusia itu.

Hukum dan keadilan zaman dahulu di Mandailing, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan. Nilai-nilai luhur manusia dan peradapan manusia itu sendiri, maka hukum dan keadilan itu tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sama di depan hukum.

Kearifan lokal hukum dan keadilan tidak tebang pilih seperti hari ini. Para penegak hukum dengan para pemimpin menempatkan hukum dan keadilan sebagai panglima tertinggi dalam mencari keadilan.

Patung Sangkalon merupakan lambang budaya lokal hukum dan keadilan di Mandailing. Pada zaman dahulu tidak tebang pilih dalam penegakan hukum. siapa pun yang bersalah harus dihukum termasuk anak raja sendiri.

Raja menjatuhkan hukuman harus adil maka ketika anak kandungnya sendiri yang bersalah juga harus dihukum. Hukuman dijatuhkan orangtuanya sendiri. Semacam ini kini sudah langka di Indonesia.

Pertanyaannya mengapa kearifan budaya lokal hukum itu bisa berjalan pada zaman dahulu di Mandailing? Jawabnya, sesungguhnya budaya lokal, hukum itu bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai luhur dan kepercayaan manusia terhadap Tuhan.

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, membuat raja mampu melakukannya meskipun pada anak kandung sendiri. Dalam ajaran Agama Islam, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya, “Siapa yang mencuri itu tangannya dipotong. Andaikata anakku Fatimah mencuri, maka aku yang memotong tangannya.”

Kepercayaan akan nilai-nilai agama, adat dan budaya satu kearifan lokal hukum yang berkembang di Mandailing pada zaman dahulu. Hukum bisa menciptakan rasa keadilan pada masyarakat.

Patung Sangkalon di depan rumah raja, sebagai perlambang penegakan hukum yang menyatu dengan nilai-nilai luhur budaya, adat dan agama. Semua orang sama di depan hukum. Siapa yang bersalah harus dihukum, termasuk anak kandung raja juga harus dihukum bila melakukan kesalahan.

Penulis Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan dan relawan Yayasan Badan Warisan Sumatra (YBWS)

()

Baca Juga

Rekomendasi