Oleh: Fransisca Ayu Kumalasari SH, MKN. Sudah lebih dari dua pekan Jokowi dilantik sebagai presiden ia belum juga menunjuk siapa yang akan menjadi jaksa agung dalam Kabinet Kerja-nya 2014-2019. Rupanya terjadi dinamika alot di kalangan elite partai politik (parpol) pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) seputar penunjukkan orang penting di Kejaksaan Agung tersebut. Konon, ada semacam gerakan dari pihak yang mengaku bagian dari internal Korps Adhyaksa yang menolak calon jaksa agung yang diajukan Partai Nasdem, yakni Widyo Pramono, yang merupakan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum). Penolakan ini bisa diterima akal mengingat selain karena diragukan komitmennya di dalam pemberantasan korupsi, pengangkatan Jampidsus yang saat ini tengah menangani kasus pengadaan bus transjakarta itu akan memunculkan conflict of interest kepentingan yang bisa menciderai etika kelembagaan baik terhadap kejaksaan maupun terhadap presiden.
Dikhawatirkan akan terjadi transaksi kepentingan sebab Kejaksaan Agung di bawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sedang menangani dugaan korupsi dalam pengadaan bus transjakarta yang terjadi di masa kepemimpinan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jika Jokowi tetap menunjuk Widyo Pramono, Jokowi bisa dinilai sengaja ingin menyelamatkan dirinya dari perkara bus transjakarta. Selain itu terdapat catatan miring mengenai kinerja Widyo ketika menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi di Jawa Tengah, seperti mempetieskan kasus yang melibatkan Bupati Karanganyar Rina Iriani maupun kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti pembunuhan aktivis HAM, Munir, dan lain sebagainya. Selain Widyo, beberapa nama lain yang digadang-gadang sebagai calon Jaksa Agung adalah Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf dan mantan Kepala PPATK Yunus Husein, serta Zulkarnaen dan Busyro Muqoddas yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tidak Politis
Sejauh ini perdebatan masih berkisar soal apakah Jaksa Agung harus berasal dari internal atau eksternal Kejaksaan Agung. Untuk kelompok yang menghendaki dari internal dimaksudkan agar Jaksa Agung tersebut dapat secara cepat mengadaptasi dan melakukan perubahan secara sistemik di lingkungan kejaksaan sesuai dengan pengalaman dan keahliannya. Sedangkan yang menghendaki dari luar Kejaksaan agar Kejaksaan Agung tersebut tidak terpengaruh oleh berbagai tekanan internal di dalam mereformasi dan merevitalisasi Kejaksaan Agung sebagai salah satu garda terpenting dalam menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Diperlukan figur yang andal dan bersih untuk memimpin dan membawa Kejaksaan ke pencapaian prestasi hukum yang lebih baik.
Ia mesti memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jam terbang yang tinggi dan sudah teruji dalam menuntaskan berbagai agenda misalnya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang serta perampasan aset yang belum maksimal dijalankan. Integritas dan profesionalisme Jaksa Agung bagaimanapun akan turut menentukan kredibilitas dan keseriusan pemerintah dalam membumikan seluruh agenda dan janji-janji dalam pemberantasan korupsi pada waktu kampanye. Sebaliknya jika Jaksa Agung yang dipilih ternyata tidak memiliki kesungguhan dan keberanian untuk mengangkat marwah Kejaksaan dari keterpurukan citranya selama ini, maka efeknya akan merembet juga pada kredibilitas presiden.
Karena itu, kita tak menghendaki ada sistem jatah-jatahan di dalam mengisi kursi penting tersebut, mengingat harga yang dibayar dari pilihan seperti itu kelak sangat mahal terutama bagi rakyat yang sudah lama menunggu keadilan sejati. Harus ada eliminasi dan sterilisasi politis yang serius di dalam proses rekruitmen dan pertimbangan perekrutan Jaksa Agung dengan mengedepankan kriteria yang obyektif dan transparan serta bisa dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Sehingga tidak terjadi lagi permainan seleksi dalam ruang-ruang gelap yang jauh dari pemandangan dan pantauan publik.
Hal yang tak kalah penting dilakukan oleh Presiden dalam perekrutan Jaksa Agung tersebut adalah melakukan koordinasi terlebih dulu dengan sejumlah menteri terkait seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, untuk mendapatkan input informasi dan sejumlah pertimbangan yang tepat terkait calon-calon Jaksa Agung yang akan dipilih. Untuk menjamin kebersihan dan integritas serta profesionalisme Jaksa Agung, maka seharusnya presiden tidak menghiraukan calon Jaksa Agung dari partai politik sebab berbagai sikap partisan dan kepentingan politik yang melekat di dirinya berpotensi mengkontaminasi kesungguhan untuk mengadakan perubahan di internal kejaksaan.
Preseden yang terjadi di Mahkamah Konstitusi dalam kasus Akil Mochtar beberapa waktu lalu menjadi pelajaran yang sangat berharga betapa kepentingan politik dengan gampang merobohkan marwah MK sebagai penjaga keadilan terakhir di bangsa ini. Pengangkatan Jaksa Agung kali ini harus menjadi titik awal untuk melahirkan pemimpin dan inisiator keadilan yang mampu membuka kotak pandora persoalan hukum dan korupsi yang sudah berurat-akar di bangsa ini. Apalagi prestasi Jaksa Agung selama ini belum terlalu maksimal untuk tidak mengatakan masih kurang terlebih jika dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan KPK yang cukup berani mengusut dan membongkar skandal-skandal hukum melibatkan kelompok kepentingan besar, termasuk dalam upaya menyelamatkan uang negara. Dalam hal penyelamatan uang negara, Kejaksaan Agung mengklaim telah menyelamatkan Rp 402 miliar tahun lalu sedangkan KPK yang struktur dan sumber dayanya jauh lebih kecil, berhasil menyelamatkan Rp 1,96 triliun, yakni selama tahun 2013. Ini berarti dibutuhkan figur pemimpin kejaksaan yang berani mendobrak sistem dan siap memperjuangkan segala idealismenya untuk membangun lembaga kejaksaan yang memberikan keadilan seadil-adilnya kepada seluruh masyarakat.
Tak Kurang Orang Bersih
Sebenarnya kita tak kurang orang-orang baik dan bersih untuk mengemudikan Kejaksaan. Hanya saja yang kurang dari kita adalah semangat untuk membuka ruang yang seluas-luasnya bagi figur berkualitas karena dominannya politik transaksional. Kita mungkin masih ingat dengan Jaksa Agung Baharuddin Lopa yang terkenal sangat berani dan memiliki militansi yang kuat untuk menegakkan hukum. Ia tidak takut sedikit pun untuk memenjarakan koruptor kelas kakap dan mengejar aset konglomerat pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Jaksa Agung era pemerintahan Abdurrahman Wahid ini sangat konsisten dan tidak sedikitpun menunjukkan diri dan ruang geraknya terafiliasi dari berbagai sikap partisan politik. Kewibawaannya tidak terlihat dari sejauhmana ia mampu mengakomodasi kepentingan partisan di sekitarnya tetapi termanifestasi dari cara berpikir, keberanian dan kesederhanaan sikap dan tindakan. Kita tentu masih ingat ketika Lopa diangkat menjadi Jaksa Agung, setelah belasan tahun menjabat Eselon I, beliau mendapat mobil dinas Volvo, namun mobil tersebut tidak bisa masuk ke garasinya yang sempit sehingga kepala mobil nongol keluar pagar. Kita juga mendengar bagaimana sederhananya keluarga Lopa yang mencoba menambah penghasilan dengan mengelola wartel, di samping rumah tinggal mereka.
Presiden harus bisa menemukan Jaksa Agung seperti Lopa, yang tidak takut hidup sepi dari glamour sebagaimana layaknya pejabat lain tetapi berani hidup di sarang penyamun. Ingatlah model pejabat yang hidupnya suka bermewah-mewah akan sangat disukai oleh koruptor dan mereka yang tak ingin negara ini memiliki bangunan hukum yang sakral.***
Penulis adalah Alumnus Fakultas Hukum UGM