BAHKAN pada malam hari kerja, bar-bar di distrik lampu merah area Wanchai Hong Kong ramai pengunjung. Karena itu tidak heran kalau para “mama-san” yang berwajah ketat mengawasi para perempuan muda berbusana rok mini yang menggoda calon klien dengan ucapan “Hey handsome” (Hai ganteng) dan “Let’s party” (Ayo pesta).
Di sebuah apartemen elite tidak jauh dari distrik prostitusi berpenerangan lampu neon, Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih -- dua wanita Indonesia berusia 20-an tahun -- dibunuh secara brutal.
Jasad mereka yang dimutilasi ditemukan pada Sabtu (1/11) di apartemen bankir Inggris Rurik Jutting, 29, yang kini telah dijerat dengan dua pasal pembunuhan. Polisi masih terus menyelidiki apakah kedua korban bekerja di industri seks tersebut.
Pembunuhan itu sangat menggemparkan sehingga, di salah satu kota teraman di Asia tersebut pun, para wanita yang bekerja di luar bar Wanchai kini sangat rentan.
“Polisi datang ke sini dan menunjukkan gambar-gambar kedua wanita untuk mengetahui apakah kami mengenal mereka. Tidak seorang pun kenal, tapi kejadian yang menimpa mereka jelas mengerikan,” ujar Maria dari Pilipina yang mengaku bekerja di Wanchai untuk mendapatkan penghasilan yang digunakan membiayai putrinya berusia tiga tahun dan satu orangtua yang kini sakit.
Maria umumnya mendapatkan sebagian besar uangnya dari sebuah “girlie bar”, tempat para perempuan mendapatkan komisi setiap klien membelikan mereka minuman dengan harga mahal atau meminta tarian lap dance, yang diawasi para bos perempuan berusia lanjut yang dikenal sebagai mama-san.
Banyak perempuan bekerja di sebuah bar, meneken kontrak dengan pemilik untuk masa enam bulan dan tinggal di akomodasi padat penghuni tak jauh dari sana.
Prostitusi terorganisasi atau mengelola bordil merupakan perbuatan melawan hukum di Hong Kong, tapi seseorang yang menjual layanan seks tidak ilegal. Jika seorang perempuan setuju dengan transaksi itu maka dia akan pergi keluar dari ban dan biasanya membayar “denda” kepada pemilik tempat tersebut sebagai kompensasi waktu yang dihabiskan di luar.
Banyak pekerja seks independen di Wanchai melayani klien ketika mereka minum, tapi bar-bar itu sendiri tidak dapat menjual seks di tempat mereka karena itu perempuan tidak mendapat banyak perlindungan bila mereka pergi keluar bersama langganan.
Pembunuhan kedua WNI itu memberikan pesan jelas tentang fakta tersebut kepada Maria dan para rekan sejawatnya -- namun mereka merasa tidak punya pilihan.
“Saya tidak boleh takut... Saya mesti kerja. Saya harus cari duit untuk keluarga saya,” terang Maria kepada AFP.
Tempat Aman?
Kawasan lampu merah itu dulu merupakan area rawan kejahatan dan kekerasan. Kawasan itu dikenal luas sebagai tempat bersenang-senang bagi para pelaut Amerika Serikat dan Inggris. Wanchai kini merupakan distrik perdagangan yang pesat dipenuhi perkantoran dan restoran trendi.
Namun zona lampu merah itu, yang terletak di Lockhart Road baratlaut, terus menggeliat dan merupakan magnet bagi para pria ekspat kaya raya dan turis Barat.
Para pekerja di sana pada umumnya adalah wanita asal Pilipina, Thailand, Vietnam dan Indonesia. Kebanyakan dari perempuan yang bekerja di bar-bar adalah wanita yang mengais rezeki untuk mengatasi kemiskinan di tanah air -- dan kerap tertarik datang ke Hong Kong dikarenakan keadaannya yang cukup aman.
Pihak kepolisian umumnya tak mengusik para pekerja seks komersial dan angka kejahatan dengan kekerasan di sana tercatat sebagai salah satu yang paling rendah di Asia. Hanya 14 kasus pembunuhan dilaporkan dalam paruh pertama tahun ini.
Hingga kini masih belum diketahui apakah Sumarti dan Seneng merupakan PSK profesional, atau cuma mencoba pacar ketika mereka bertemu dengan Jutting.
Banyak dari perempuan yang mendatangi bar-bar di Wanchai tak menganggap diri mereka sebagai bekerja dalam perdagangan seks, papar sebuah yayasan amal setempat yang membantu para PSK.
“Mereka umumnya pergi keluar bersama pacar atau mencoba menjalin hubungan intim dengan orang asing,” urai seorang wanita bermarga Lee di yayasan tadi, Zi Teng.
“Kadangkala mereka mencari uang, terkadang tidak.”
Membeli seks di Wanchai sering dianggap sebagai area abu-abu, tutur seorang profesional ekspat yang rutin minum di sana, tanpa mau disebutkan namanya.
“Bagi kebanyakan gadis itu, mendapatkan suami asing adalah tujuan utama,” ujarnya.
“Jika mereka menyukai Anda dan berpikir ada peluang Anda bisa menjadi materi pacar, maka seks sering gratis. Namun jika mereka curiga apa yang anda semua cari bukan seks melulu maka mereka bisa saja cari duit pada waktu yang sama.”
Korban
Kini terkuak tentang status Sumarti, ibu satu anak asal keluarga petani miskin. Wanita itu berada di Hong Kong menggunakan visa turis yang sudah berakhir masa berlakunya dan sebelumnya bekerja sebagai pembantu. Keluarganya mengatakan pada AFP, mereka mengira Sumarti bekerja di restoran.
Konsulat Indonesia mengatakan Seneng, rutin terlihat di Wanchai, berada di Hong Kong menggunakan visa tenaga kerja sampai 2012 namun statusnya setelah itu tidak diketahui.
Menurut Lee dari Zi Teng, para pembantu biasa terjun ke perdagangan seks atau bekerja di sekitar dunia itu, jika mereka kehilangan pekerja. “Mereka bisa saja memulainya dengan bekerja di bar dan memasuki perdagangan seks dari sana,” ujar Lee.
Pembunuhan kedua WNI membuat sejumlah perempuan yang bekerja di luar bar Wanchai terhenyak dan berpikir.
“Saya dapat memperoleh uang lebih banyak di Hong Kong. Kota ini lebih aman. Tapi kini saya takut setelah terjadinya pembunuhan ini. Mungkin saya akan pulang kampung,” aku Noon, 27, yang membagi waktunya antara negara asalnya Thailand dan Hong Kong. Namun bagi Cherry, ibu dua anak berusia 25 tahun asal Pilipina, pulang ke tanah air bukan sebuah pilihan.
“Saya adalah satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga saya dan kontrak saya masih tersisa dua bulan lagi,” tuturnya.
“Saya merasa saya barangkali akan baik-baik saja. Namun setiap kali saya memperhatikan gambar-gambar kedua perempuan yang dibunuh tersebut saya terus terpikir bahwa di antara kami bisa saja jadi korban. Mungkin juga saya.” (afp/bh)