Oleh: Fahrin Malau
PERAYAAN Natal merupakan momentum bagi umat kristiani di seluruh dunia, untuk melakukan intropeksi diri, apa yang sudah diperbuat dalam kehidupan sehari-hari. Nuansa Natal sudah terlihat selama bulan Desember.
Umat Kristiani melakukan serangkaian perayaan Natal di berbagai tempat. Tergabung dalam satu organisasi, perkantoran, marga dan sebagainya. Begitu juga perayaan Natal berbagai daerah di Indonesia, dibungkus dalam nuansa kedaerahaan juga dapat terlihat dengan memakai pakaian adat.
“Tak banyak yang melakukan perayaan Natal dengan nuansa kedaerahan,” ujar salah satu tokoh mayarakat Karo, Nabari Ginting, yang dihubungi Analisa melalui telepon saluler, Kamis (18/12).
Tergerusnya nuansa keadaerahaan dalam perayaan Natal tidak terlepas dari derasnya arus modernisasi. Masyarakat banyak yang sudah melupakan atau malu memakai identitas kedaerahannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagai masyarakat Batak misalnya, banyak yang sudah melupakan atau malu memperkenalkan identitas dirinya sebagai orang Batak. Ada empat yang menentukan identitas kedaerahan. Pertama marga, kedua kesenian, ketiga adat dan keempat bahasa. Keempat identitas kedaerahan secara perlahan sudah mulai hilang. Orang sudah malu untuk memasukkan marganya ke dalam namanya. Orang tidak paham lagi kesenian daerahnya. Sudah malu untuk ikut dalam melakukan kegiatan adat. Orang sudah banyak tidak bisa berbahasa daerah. Jika keempat identitas kedaerahan sudah tidak melekat lagi pada diri seseorang, maka akan jauh dari nilai-nilai kebudayaan kedaerahan.
Hilangnya nilai-nilai kebudayaan berinplikasi pada kehidupan sehari-hari, termasuk pada perayaan Natal. Tidak saja di kota-kota besar, perayaan Natal tidak lagi menampakkan nuansa kedaerahan. Kondisi yang sama juga terjadi di daerah. Walau diakui nilai-nilai kebudayaan kedaerahan banyak yang sudah pudar. Gereja Batak Karo Prostestan (GBKP) tetap mengangkat nuansa kedaerahan Karo dalam menyambut perayaan Natal.
Sebagai gereja yang pengikutnya masyarakat Batak Karo, nuansa budaya Karo tetap diusung pada perayaan Natal. Pada perayaan Natal yang dilaksanakan GBKP, tetap memakai pakaian adat Karo. Ini sangat kental terasa pada perayaan Natal di Kabanjahe yang dilakukan Mambre (kaum bapak) dan Moria (kaum ibu). Selain memakai pakaian adat Karo pada perayaan Natal, juga dilakukan berbagai kegiatan seperti koor, festival makanan, kesenian dan sebagainya, dibungkus dalam nuansa Karo. Kegiatan ini dilakukan oleh Permata (muda-mudi). Tujuannya untuk memperkenalkan dan mempertahankan budaya Karo.
Nabari Ginting yang pernah menjadi Camat di Simpang Empat Kabanjahe tahun 1979 mengakui, secara khusus makanan khas Karo tidak ditampilkan pada perayaan Natal. Hanya beberapa keluarga saja yang menyediakan makanan khas Karo seperti Pagit-pagit, juga lomok-lomok. Berbeda pada acara Tahunan yang dilaksanakan masyarakat Karo, makanan khas banyak dijumpai. Pada perayaan Natal lebih ditekankan pada kerohanian daripada adat istiadat.
Menurutnya, nilai-nilai budaya kedaerahan, harus tetap diperkenalkan dan diturunkan kepada generasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pada perayaan Natal. Memudarnya nilai-nilai kebudayaan sangat disayangkan. Banyak orang tua tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kebudayaan kepada anak-anaknya. Contoh paling sederhana membudayakan bahasa daerah dalam lingkungan keluarga. Orang tua lebih cenderung dan bangga mengajarkan anaknya bahasa asing, walau harus membayar uang lebih. Padahal dengan mengajarkan bahasa daerah kepada anak di dalam keluarga, berarti tetap melekatkan identitas kedaerahan. Begitu juga marga. Banyak orangtua yang tidak mencantumkan marga di dalam nama anak. Dengan mengikutkan marga ke dalam nama anak, secara otomatis menunjukkan identitas anak asal daerahnya. Misalnya marga Ginting orang langsung mengetahui seseorang berasal dari Karo.
Perayaan Natal yang tidak memasukkan nuansa kedaerahan, menurut Nabari Ginting karena nilai kerohanian yang lebih ditekankan. Pada malam Natal, seluruh umat Kristiani melakukan kebaktian ke gereja. Sama halnya di GBKP. Sebelum melakukan kebaktian pada malam Natal, Sabtu (20/12) Moria se-GBKP melakukan perayaan Natal. Pada perayaan Natal yang dilakukan GBKP, nuansa budaya Karo akan terlihat jelas dengan ditandai pakaian adat yang dipakai dan bahasa daerah.
Simalungun
Perayaan Natal di Simalungun tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Suasana Natal selama bulan Desember sangat terasa. Bahkan bila dibandingkan di perkotaan, suasana perayaan Natal di daerah jauh lebih bersemarak.
Ngiahken Ginting, putra daerah dari Simalungun menuturkan, perayaan Natal di Simalungun seperti di kampung, desa lebih semarak. Kalangan anak-anak, muda-mudi membuat perayaan Natal. Pada perayaan Natal hampir di seluruh lingkungan, desa membuat pentas hiburan. Masyarakat yang datang dari berbagai lingkungan dan desa.
“Pentas hiburan perayaan Natal di kemas bersifat umum. Kalau ada nuansa kedaerahan tidak menonjol,” sebut Ngiahken.
Perayaan Natal di Simalungn, khususnya Siantar juga menyiapkan hidangan untuk Tahun Baru. Dodol, Kembang Loyang, Lemang, makanan yang banyak dihidangkan. Makanan dan kue-kue yang disediakan untuk Tahun Baru tidak saja untuk tamu yang datang. Hubungan kekerabatan di daerah yang masih kuat, kue-kue dan makanan yang disajikan pada Tahun Bagu juga diberikan kepada masyarakat muslim.
“Pada lebaran mereka (umat muslim) juga membagikan makanan kepada masyarakat kristiani,” jelasnya.
Kekerabatan yang masih kental di tengah-tengah masyarakat salah satu bukti toleransi beragama masih kuat. Masing-masing masyarakat saling menghargai satu sama lain.
Selama bulan Desember nuansa Natal terlihat jelas. Ornamen-ornamen Natal mengihiasi gereja, rumah. Pada perayaan Natal katanya tidak ada secara khusus masyarakat memakai pakaian adat. Pada umumnya memakai pakaian jas dan batik. Sebelum pakaian batik populer, masyarakat melakukan perayaan Natal memakai pakaian kemeja putih dan celana hitam.
Permainan tradisional yang dilakukan anak-anak pada perayaan Natal tidak dilakukan. Anak-anak, Muda-mudi larut dalam perayaan Natal.