Oleh: Rosni Lim
Seorang ibu mampu melahirkan, mengasuh, dan merawat 10 anak dengan hati ikhlas tanpa mengharapkan balasan; sedangkan 10 anak belum tentu sanggup menjaga dan merawat seorang ibu dengan sepenuh hati hingga akhir hayatnya. Setuju?
Teman, pernyataan di atas penulis kutip dari kata-kata seorang ibu yang memiliki banyak anak. Bagi sebagian orang mungkin tak setuju, tapi sebagiannya lagi bisa saja setuju. Kenapa? Mari kita lihat ilustrasi berikut ini dan pikirkan kembali, benarkah pernyataan tersebut?
Pagi itu, seorang wanita berusia 30 tahun terbangun karena merasa perutnya sakit dan mulas. Dipegangnya perutnya yang telah membesar 9 bulan; ini adalah bayi pertama yang dikandungnya. Sesuai dengan cerita yang didengarnya, ini tanda-tanda akan melahirkan, yaitu terjadi kontraksi tiap beberapa menit sekali. Dengan segera dibangunkannya suaminya dan si suami pun segera membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, dia dibaringkan di atas ranjang dan setelah suster memeriksanya ternyata masih bukaan 1, jadi dokter yang ditelepon pun tak segera datang.
Selama berjam-jam wanita itu merasa tak nyaman karena perutnya yang mulas ditambah perasaan berdebar. Mulai dari pukul 08.00 dia sudah ada di rumah sakit menahan perutnya yang sakit. Kadang dia mondar-mandir di dalam gedung rumah sakit karena gelisah. Hingga menjelang magrib—puncak dari rasa mulas—setelah melalui proses perjuangan panjang yang menguras keringat, lahirlah seorang bayi mungil dari rahimnya.
Tak terkira betapa bahagia hati wanita itu yang kini telah menjadi seorang ibu. Segala jerih-payahnya selama 9 bulan ditambah seluruh keringat yang mengucur deras, teriakan kesakitan, dan perasaan khawatir, plus sejumlah darah yang terkuras selama proses melahirkan si bayi mungil, seolah hilang tak berbekas; berganti dengan airmata kebahagiaan. Sungguh setimpal dirasakan pengorbanannya hingga detik itu begitu mendengar tangisan bayinya untuk pertama kali.
Setelah tiga hari di rumah sakit, si ibu diizinkan pulang membawa bayinya. Hari demi hari, si ibu menggendong, menyusui, mengasuh, dan merawat bayi itu dengan penuh kasih-sayang dan keikhlasan. Bila bayi menangis, ibu akan segera menggendong, menggoyang-goyangkan, dan menyusuinya. Bila tiba pagi dan sore hari, ibu segera memandikannya di dalam ember plastik besar.
Hatinya cemas bukan main saat bayinya sakit pilek, mencret, atau demam. Dengan segera dibawanya ke rumah sakit untuk diperiksa dokter. Pulang dari rumah sakit, ibu terus menjaga di sisi bayi tanpa bisa memejamkan mata. Setelah bayinya sembuh, ibu baru bisa bernafas lega, dan tiap 2-3 jam sekali dia menyusui bayinya walaupun di tengah malam atau dini hari. Kelelahan yang demikian besar dirasakan ibu sama sekali bukan beban, melainkan adalah rasa ikhlas karena dilakukan dengan penuh cinta-kasih.
Hari demi hari, ibu merawat bayi hingga tumbuh besar. Saat dia memasuki sekolah TK, ibu membawanya ke sekolah. Saat pulang, ibu mengajarinya belajar dan mengerjakan PR. Tiap hari ibu memasakkan makanan bergizi untuknya agar dia tumbuh sehat dan pintar.
Setelah anak itu kelas I SD, ibu itu melahirkan lagi adik untuknya. Dua tahun kemudian dia melahirkan lagi. Dan tahun berikutnya lahir lagi 2 adik kembarnya, sehingga sekarang anaknya berjumlah 5. Sama seperti apa yang dilakukannya pada anak pertamanya, itu juga yang diulanginya hari demi hari pada keempat anaknya yang lain.
Sibuknya bukan main karena selain harus menjaga dan merawat mereka setiap hari, juga harus memasak, mencuci dan menggosok pakaian mereka, mengantar-jemput ke sekolah, sampai memeriksa pr dan ujian mereka. Hingga ibu itu tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya terkuras habis untuk kelima anaknya.
Pakaiannya jarang yang bersih, setiap hari berbau keringat dan bau minyak. Rambutnya disisir ala kadarnya bahkan kadang tak disisir. Makannya sendiri tak teratur karena dia makan sambil kerja, dan banyak sudah hobinya sejak remaja dulu yang ditinggalkannya karena ketiadaan waktu. Bila menginginkan suatu barang, dia urung membelinya karena yang diutamakan adalah barang-barang yang diinginkan oleh kelima anaknya.
Tahun demi tahun berlalu, anak-anak itu sudah tamat SMA. Ada yang kuliah dan ada yang bekerja. Ibu itu tiap hari—sama seperti saat mereka masih TK, SD, dan SMA—membekali mereka dengan bekal/bontot untuk dimakan di sekolah. Tujuannya supaya jangan memboroskan uang untuk membeli makanan di luar, di samping dia merasa masakan sendiri lebih bersih dan terjamin.
Tiga anak yang sedang kuliah minta dibelikan laptop, maka si ibu pun berusaha keras mencari pekerjaan sampingan untuk mendapatkan uang, sedangkan uang kuliah mereka setiap tahun ditanggung oleh ayah mereka yang bekerja keras setiap hari dengan bercucuran keringat.
Kedua anak yang sudah bekerja, tak mau lagi membawa bontot masakan ibunya karena merasa malu. Mereka lebih suka beli makanan yang dijual di tempat kerja ataupun singgah ke plaza makan fast-food. Ibu itu sedikit merasa sedih karena setelah anak-anaknya bekerja dan memiliki uang sendiri, masakannya yang sejak kecil digemari mereka menjadi tak laku.
Setamat kuliah, mereka berpacaran dan menikah, lalu melahirkan anak-anak sendiri. Satu persatu yang telah bekerja dan memiliki banyak uang, membeli rumah masing-masing lalu pindah keluar rumah karena istri mereka tak mau tinggal serumah dengan mertua. Sedangkan anak-anak yang perempuan ikut suaminya. Tinggallah ibu itu seorang diri di rumah tua karena suaminya telah meninggal.
Tiga anaknya membiayai hidupnya, sedangkan yang dua lagi malah masih sering meminta uang. Mereka kadang datang melihat, sebentar singgah, lalu pulang. Tinggallah ibu tua itu sendiri melewati hari-harinya yang sepi di rumah tua. Seiiring dengan usianya yang semakin menua, ibu itu pun sakit-sakitan tanpa ada seorang pun anak yang menjaga dan merawat di sampingnya. Bila sakit, dia makan obat sendiri dan seringkali ketika malam seorang diri, dia meneteskan airmata.
Teman, setelah membaca ilustrasi fiktif di atas, apakah kalian setuju dengan pernyataan pada paragraf pertama tadi? Sebenarnya, banyak lagi pengorbanan yang dilakukan oleh ibu sepanjang hidupnya pada kita—anak-anaknya—pengorbanan yang sangat luhur dan tak akan habis diceritakan dalam sebuah buku. Yang di atas hanyalah contoh kecil saja.
Ibu adalah orang yang telah mengandung dan melahirkan kita dengan susah-payah dan perjuangan keras, berkorban airmata darah dan jutaan keringat. Bila kita berbakti dan merawat ibu sepanjang hidupnya, rasanya masih belum bisa membalas seluruh budi baik dan jasa beliau yang tanpa pamrih. Ingatlah, bahwa ketika melahirkan kita, ibu telah mempertaruhkan nyawanya sendiri. Berapa banyak keringat, rasa sakit, darah, airmata, pengorbanan, dan rasa khawatir yang diderita ibu selama melahirkan dan mengasuh kita? Tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Pengabdian dan pengorbanan ibu yang begitu luhur dan tanpa pamrih, tak akan mampu kita bayar tuntas di kehidupan ini, karena itu sebagai anak janganlah membuat hati ibu sedih, khawatir, atau kecewa. Bila memang kita tak memiliki uang untuk membeli barang kesukaan beliau, mungkin kita bisa meluangkan waktu untuk menemaninya, menghibur, membantu pekerjaan, atau mendengarkan ceritanya. Itu akan bisa meringankan bebannya dan membuatnya tersenyum.
Apa pun yang dilakukan oleh ibu, percayalah itu adalah demi kebaikan anak, walaupun kadang dirasa anak bertentangan atau tidak sesuai dengan keinginannya. Doa ibu sangat manjur dan menjadi obat penyembuh bagi anak; sebaliknya kata-kata cacian yang dikeluarkan ibu pada anak juga bisa menjadi senjata yang membahayakan anak. Karena itu, supaya senantiasa mendapat doa baik dari ibu, selalulah berbakti dan buat hatinya senang, jangan buat dia sedih atau marah ya?
Bagi teman-teman yang sudah remaja, bila keluar malam, maka pulanglah tepat waktu dan jangan terlalu larut, karena ingat di rumah masih ada ibu yang belum tidur menunggu kepulangan kita. Bila menyadari di dunia ini masih ada seorang ibu yang begitu baik dan mengasihi kita dengan tulus dan tanpa pamrih, maka kita pantas hidup dengan baik untuk membahagiakannya.
Selamat menyambut Hari Ibu.
* Mei 2014