Oleh: Tigor Damanik SH
Pemblokiran berasal dari kata “blokir”. Artinya, “membekukan atau memberhentikan sesuatu”. Sehingga pemblokiran pada perbankan adalah suatu proses, cara , ataupun perbuatan/tindakan memblokir terhadap “rekening nasabah bank”.
Suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh bank berdasarkan permintaan tertulis dari para pihak berwenang sebagaimana diatur di dalam perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mencegah mutasi atau perpindahan uang dalam rekening nasabah dan dapat dibuka kembali, baik oleh dan atas permintaan penyidik maupun penegak hukum lain hingga adanya putusan hakim yang menyatakan bahwa dana di rekening nasabah tersebut tidak terkait dengan kasus hukum yang sedang ditangani.
Menurut hukum positif (ius constitutum) atau hukum yang berlaku di Indonesia , para pihak yang diberi kewenangan untuk meminta pemblokiran rekening nasabahadalah : Polisi , Jaksa, Hakim , KPK , Dirjen Pajak, Bank Indonesia dan lainnya , baik dalam perkara pidana maupun perdata.
Kewenangan memblokir rekening nasabah terdapat pada UU No. 31/ 1999 tentang : “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/ 2001 (pasal 29 ayat 4), menyatakan :“Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dapat meminta bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi”.
UU No. 8/2010 tentang : “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” ( pasal 71 ayat 1 ), menyebutkan : “Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dari setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan) kepada penyidik, tersangka/terdakwa.
UU No. 19/1997 tentang : “Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa” sebagaimana diubah dengan UU No. 19 /2000 (pasal 17 ayat 1 ) , menyatakan : “Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.”
Sementara Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang : “Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank “ (pasal 12 ayat 1) mengatur :
“Pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa, atau hakim, dapat dilakukan sesuai peraturan per-UU-an yang berlaku tanpa memerlukan ijin dari Pimpinan BI.”
Pemblokiran Rekening Nasabah dan Esensi
Terdapat tiga hal esensial (penting) yang perlu untuk mendapatkan perhatian bank terkait pemblokiran rekening nasabah, yaitu :
1. Bank dilarang melakukan pemblokiran atas rekening seseorang oleh dan atas permintaan seseorang/pihak lain yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Semisal, karena ketiadaan surat permintaan pemblokiran dari pihak berwenang (Polisi, Jaksa, Hakim, dan lain-lain ).
2. Mewajibkan bank untuk mengadministrasi dan memonitoring setiap pemblokiran nasabah secara tertib. Rekening-rekening pending nasabah mana yang sudah boleh dan atau belum boleh dibuka blokirannya. Bagi yang sudah boleh , bank memintakan pembukaan blokiran kepada pihak berwenang secara tertulis.
3. Permintaan memblokir dan atau membuka blokiran hanya boleh dilakukan oleh seseorang/pihak tertentu kepada bank hanya untuk dan atau terhadap rekening milik sendiri , bukan rekening orang lain. Kecuali secara kasuistis dan atas inisiatif bank, karena pengkreditan sejumlah uang ke rekening nasabah diduga merupakan hasil kejahatan (cyber crime).
Sehingga jika dikaitkan dengan kasus rekening nasabah “Ng Siu Lan” yang diblokir Bank Mandiri (Surat Pembaca Harian Analisa 10 Nopember 2014 ), seharusnya bank perlu bertindak lebih bijaksana, fleksibel dan pro aktif menghubungi pihak kepolisian terkait, meminta (secara tertulis) agar blokiran dapat dibuka kembali jika memang sudah “bersih” dari masalah hukum.
Karena pihak bank ( juga kepolisian!) akan dinilai tidak profesional jika rekening nasabah bank diblokir hingga begitu (sangat) lama tanpa ada penyelesaian hukum (kepastian).
Tentu tidaklah kuat jika hanya beralasan tersangka terkait pemblokiran rekening nasabah belum bisa ditentukan/ditetapkan sehingga berakibat kerugian (finansial dan non finansial) bagi nasabah.
Terutama bagi Bank Mandiri, secara perdata dapat dituntut/digugat nasabah telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang (bank) yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1366 KUH Perdata menyatakan : “setiap orang (bank) bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”.
Kalau pasal 1365 mengatur pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat (positif/aktif = culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat ( pasif = culpa in ommitendo), maka pasal 1366 lebih mengarah kepada tuntutan pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian (onrechtmatigenalaten).
Kesimpulan
Setiap bank, selain melaksanakan tertib administrasi dan pengkinian (updating) data nasabah, juga wajib memonitor seluruh rekening nasabahnya yang diblokir dengan memuat alasan-alasan pemblokiran secara rinci dan harus segera diselesaikan, berkoordinasi dengan penegak hukum terkait.
Membuka blokiran rekening nasabah, berasas fleksibilitas dan layanan prima bank (excellent services/bank online), sebaiknya tidak harus dilakukan pada kantor cabang bank tempat semula pemblokiran dilakukan, tapi dapat dilakukan pada kantor cabang lain, tentu melalui konfirmasi antar para pejabat bank dengan memegang prinsip kehati-hatian (prudent ).
Berharap jangan sampai ada bank yang karena kealpaan/kelalaian dan ketidakprofesionalannya menjadi dituntut/digugat nasabahnya secara hukum (pidana maupun perdata).
Seperti gugatan perdata, yakni berupa penggantian kerugian material (finansial) dan immaterial, dimana lazimnya dalam praktik penggantian kerugian dihitung atau disetarakan dengan uang (berikut denda bunga jika ada).
Mengingat rumusan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata secara limitatif menganut asas hukum, bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan hukum adalah bersifat wajib.
Bahkan dalam berbagai kasus hukum yang mengemuka di pengadilan, seringkali hakim secara ex-officio (karena jabatannya) menetapkan/mewajibkan penggantian kerugian oleh bank , sekalipun pihak nasabah (korban) tidak menuntutnya.***
Penulis : Alumnus FHUI dan Mantan Auditor Bank BUMN, tinggal di Medan