Oleh: Toba Sastrawan Manik. Dalam dunia sekalipun, secara umum kita mengakui hukum yang berlaku adalah hukum yang ditetapkan Tuhan, tapi keberadaan hukum alam dalam kehidupan masih terasa. Hukum secara sederhana sebagai hubungan sebab akibat, kausalitas.
Demikian juga sejak peradaban manusia dimulai, alam selalu menunjukkan benar-benar memiliki urusan dan butuh perhatian serius dari manusia. Jika hukum alam berbicara, bencana dan masalah kehidupan manusia akan terganggu.
Hukum alam berbeda dengan Hukum Tuhan. Hukum Tuhan sebagaimana kita yakini masih ada kata maaf atas segala kesalahan-kesalahan manusia. Sedangkan hukum alam sama sekali tidak toleran, tidak mengenal batas. Hal ini karena hukum alam bersifat pasif dan penegakannya hanya sebatas dihormati dan menjaga keseimbangan.
Jika melihat dari waktu-waktu silam, terkhusus pada masa manusia masih belum mengenal aksara dan teknologi seperti saat ini, manusia menggantungkan hidupnya pada alam, bahkan menuhankan alam. Seperti meyakini petir memiliki kekuatan spiritual, hujan dan juga mengeramatkan pohon-pohon di antaranya.
Demikian juga sejak nenek moyang kita mengenal kebudayaan dan kepercayaan, baik animisme dan dinamisme, mulai dikembangkan budaya-budaya yang sifatnya selaras dengan alam. Misalnya melarang menebang Pohon di hutan karena dianggap berpenghuni. Hasilnya pohon-pohon di hutan tumbuh subur dan hijau. Percaya atau tidak, sistem demikian mengantarkan para nenek moyang kita bersahabat dengan alam. Bahkan membangun kepercayaan suatu wilayah hutan yang tidak bisa disentuh siapapun.
Bagaimana dengan Kehidupan kita sekarang? Tentu kita tidak harus seperti para pendahulu yang mendewakan dan menuhankan alam termasuk pohon di antaranya. Sebab dulu penjelasan-penjelasan yang logis dan ilmiah masih sulit, sehingga memilih penjelasan tertinggi dan ditakuti. Hasilnya dapat bersahabat dengan alam.
Harusnya dengan penjelasan ilmiah dan logika yang ada pada perkembangan saat ini yang tidak sehebat penjelasan nenek moyang dahulu menjadikan penghormatan dan upaya menjaga keseimbangan alam tidak luntur, bahkan semakin menguat. Sebab, untuk menjelaskan fungsi alam, udara, pohon dan tumbuhan-tumbuhan lain sudah ada ilmu pengetahuan untuk menjelaskannya, atau teknologi untuk meyakinkan secara detil.
Nyatanya semakin cerdas manusia saat ini dianalogikan semakin kuat menguasai alam. Sebenarnya alam bukan untuk dikuasai, melainkan untuk dikelola dan dimanfaatkannya untuk kelangsungan hidup. Sampai kapanpun, manusia tidak akan bisa menguasai alam, sebab manusia sangat bergantung pada alam. Setinggi apapun ilmu manusia, alam tetaplah semesta.
Pertanyaannya ialah, bagaimana hukum alam itu terjadi? Kembali dengan menggunakan ilmu dan pengetahuan kita, alam merespon dan memberikan tanggapan atas segala yang kita perbuat di muka bumi ini.
Menebang pohon sembarangan menyebabkan lingkungan mudah terkena banjir, tanah longsor, dan berkurangnya kadar air. Mencemari udara lewat gas-gas yang merusak menyebabkan lapisan ozon menipis dan menimbulkan berbagai penyakit, di antaranya penyakit kulit. Mencemari air, merusak daerah aliran sungai, sehingga kemurnian sungai dan kesehatan manusia terganggu. Contoh kerusakan alam lainnya serta dampak yang kita rasakan saat ini, semua adalah hukum alam.
Terlalu serakah kita terhadap alam, semakin mudah musibah menyertai manusia. Merawat alam, menghormati alam selain karena kita memang tinggal di dunia alam kita saat ini, sebagai manusia yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa harus pula merawatnya. Mencintai Tuhan tanpa mencintai ciptaan-ciptaanNya sebuah ketimpangan.
(Penulis adalah mahasiswa PPKn FIS Universitas Negeri Medan, Aktif di I-Pena PPKn Unimed)