Fikih Transaksi Daging Glonggongan

Oleh: H. Rahmat Hidayat Nasution.Harian Analisa pada Rabu (22/01) lalu pada halaman 7 menurunkan berita kunjungan Mendag RI, Gita Wirjawan ke Pusat Pasar. Beliau berbincang-bincang dengan para pedagang daging yang mengeluhkan mahalnya harga penjualan daging saat ini, dengan posisi harga Rp.95.000-100.000 per kilogram. Meski untuk menangani ini, Mendag RI merasa penting untuk adanya peningkatan sapi betina produktif sebagai solusinya.

Namun penulis malah melihat adanya kekhawatiran yang lebih berbahaya lagi di saat harga daging naik seperti ini. Yaitu, terjadinya penjualan daging “glonggongan”. Pasalnya, daging glonggongan bisa dijual dengan harga yang lebih murah dan massa dagingnya tampak kelihatan lebih banyak, padahal di dalamnya penuh dengan air. Bagaimana tidak, berat sapi yang diglonggong bertambah 30% dibanding saat masih hidup. Artinya, 30% yang dibeli konsumen adalah air, bukan daging.

Umumnya, alasan penjual daging menjual daging jenis glonggongan ini, karena mahalnya harga daging sedangkan keinginan konsumen terhadap daging juga cukup tinggi. Pedagang seperti ini tidak peduli ihwal tindakannya yang bisa berakibat fatal. Bukan saja merugikan secara finansial, melainkan juga merugikan secara kesehatan.

Kenapa Daging Glonggongan Berbahaya?

Bila dirujuk di situs Wikipedia, istilah “glonggongan” berasal dari glonggong (bahasa jawa) yang dikaitkan dengan produk daging (biasanya sapi), dipakai untuk daging yang dijual setelah melalui proses yang tidak wajar. Biasanya, beberapa jam sebelum disembelih, hewan potong diberi minum sebanyak-banyaknya secara paksa dengan maksud meningkatkan berat daging.

Di dalam buku “Panduan Belanja dan Konsumsi Halal” yang ditulis oleh Khairul Bayan dijelaskan, bahwa proses sapi “glonggongan” umumnya dilakukan dengan sapi diposisikan di suatu tempat sehingga kaki belakang lebih rendah dari kaki depan. Kemudian air dimasukkan ke dalam lambung sapi melalui selang. Tubuh sapi menjadi besar. Setelah sapi jatuh karena lemas atau mati baru dilakukan penyembelihan. Hasilnya, daging sapi lebih berat ketimbang daging sapi yang dipotong secara normal karena daging telah menyerap air secara tidak wajar.

Berdasarkan hasil uji laboratorium kesehatan, daging glonggongan tidak memenuhi syarat aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Karena daging tersebut memiliki reaksi sama dengan bangkai, daging yang diperoleh dari hewan mati. Hal ini tampak juga dari ciri-ciri dagingnya yang berwarna pucat dan berair. Jika di pasar, umumnya pedagang daging “glonggongan” tidak berani memajang daging dengan cara menggantung seperti layaknya daging segar. Melainkan hanya menaruhnya di ember. Pasalnya, jika digantung bakal mudah ketahuan bahwa daging tersebut bukan daging segar, sebab airnya akan terus menerus menetes.

Haramnya Transaksi Daging Glonggongan

Melihat adanya penipuan dalam prosesnya, maka penjualan daging “glonggongan” dapat divonis haram. Karena unsur penipuan di dalamnya jelas sangat merugikan konsumen. Tentu saja, ini melanggar hukum. Untuk membuktikan penipuannya, jika para penjual ditanya, apakah daging tersebut glonggongan atau tidak? Jika mereka menyatakan bukan daging glonggongan, namun ternyata daging glondongan, maka jelaslah ini jual-beli penipuan (ba’I al-gharar).

Rasulullah Saw. sangat melarang penipuan di dalam jual-beli. Dari Abdullah bin Umar ra, katanya: “Seorang laki-laki bercerita kepada Rasulullah SAW. bahwa dia ditipu orang dalam hal jual beli. Lalu Rasulullah SAW. bersabda, “Apabila kamu berjual beli, maka katakanlah (dengan benar) jangan menipu”. (HR. Bukhari Muslim) Demikian juga diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan pelemparan batu kerikil (bai’ al-hashah) dan dengan cara yang mengandung penipuan (bai’ gharar).” (HR. Muslim)

Sejatinya, bila dikaji di dalam al-Qur’an, Allah SWT. juga melarang penipuan yang dilakukan dengan sumpah. “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain…” (QS. An-Nahl: 92)

Selain itu, bila dirujuk SK Menteri Kesehatan RI juga melarang penjualan daging “glonggongan” karena berbahaya bagi kesehatan manusia. Daging “glonggongan” mudah busuk karena telah terkontaminasi bakteri, yang bisa menyebabkan aneka penyakit. Cacing fasciola yang ada dalam daging, sangat berbahaya bila terkontaminasi manusia, bisa menyebabkan sakit bahkan kematian.

Dari sini dapat dipahami bahwa transaksi jual-beli sesuatu yang terdapat di dalamnya ada unsur penipuan di dalamnya termasuk dalam kategori bai’ gharar (jual beli penipuan). Dan jika bercampur dengan hal-hal yang mengandung kecurangan dan penipuan, maka terlarang apalagi menggangu atau merusak kesehatan bagi orang orang yang mengonsumsinya.

Sehingga dapat dipahami juga, bahwa penjualan yang dihalalkan dalam agama adalah bai’ mabrur. Yaitu, jual beli yang dilakukan dengan cara yang benar, tidak bercampur padanya sesuatu yang membahayakan atau kecurangan yang dapat merugikan pembeli. Karena sekiranya pembeli tahu bahwa daging tersebut daging “glonggongan”, tentu tidak akan mau mengonsumsinya.

Bagi para konsumen atau pembeli, juga mesti mengetahui ciri-ciri daging segar dan ciri-ciri daging glonggongan. Pasalnya, penjualan daging saat ini cukup beragam. Bukan hanya di pasar saja dijual, tapi juga di supermarket. Karena itu, setiap membeli daging, konsumen harus mengecek kondisi daging. Jika dagingnya berair dan warna dagingnya pucat, itu adalah daging glonggongan. Janganlah membeli daging tersebut karena bisa membahayakan diri dan keluarga.

Bagi para penjual daging glonggongan, berhentilah untuk menjual daging jenis tersebut. Memang, sangat menguntungkan menjualnya, namun pada dasarnya tetap saja membawa kesengsaraan dan menjurumuskan ke dalam dosa. Untung atau hasil yang didapat pun tidak akan membawa keberkahan. Tentunya, tidak ada seorang penjual pun yang ingin menafkahi keluarganya dengan yang haram, bukan? Karena itu, hindari dan tinggalkanlah cara-cara licik meski di dalamnya ada iming-iming untung yang menggiurkan.  

* Penulis adalah Anggota Komisi Infokom dan Hubungan Luar Negeri MUI Kota Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi