Oleh: Prof. Subanindyo Hadiluwih, SH. Ph.D. Membaca catatan ‘kecil’ dalam ‘status’-nya Prof. Darwin Sitompul, yang ditulisnya di media ‘facebook’, saya sempat terkesima. Tertulis: Minggu terakhir tahun 2013, sejak 26 Desember lalu sampai sore ini (31 Desember) berhasil menamatkan 3 buku yang berbeda. Buku pertama, sebuah novel dari John Grisham, The Confessions.
Buku ke dua dari Ahmad Tohari, kumpulan cerpen, Mata Yang Enak Dipandang, dan buku yang ke tiga, novel karya Paulo Coelho, berjudul Ziarah (The Pilgrimate). Lumayan, seminggu menamatkan 3 buku yang berbeda nuansa. Satu buku lagi belum selesai, baru separuh, dari Marah Rusli, Memang Jodoh. Ketika ditanya, yang mana laik direkomendasikan, jawabnya: Kalau mau kasus hukum bukunya John Grisham bagus sekali, tentang hukuman mati orang yang tak bersalah di Texas, 600-an halaman aja. Mau yang berat, Paulo Coelho, Ziarah.
Kumpulan cerpen Ahmad Tohari juga sangat bagus, menyentuh sekali. Kumpulan cerita tentang gelandangan, pengemis, rakyat kecil, yang dikisahkan dengan narasi tanpa menggurui atau menghakimi, Cuma sekitar 200-an halaman.
Kalau mau cerita pertentangan adat di Minangkabau masa lalu, bacalah bukunya Marah Rusli, yang judulnya Memang Jodoh. Buku ini ditulis sebelum beliau meninggal dunia, tetapi diwasiatkan kepada cucunya sebelum semua tokoh dalam tulisan itu meninggal dunia, belum boleh diterbitkan. Makanya baru diterbitkan di tahun 2013 ini.
Lebih seru dari Siti Nurbaya. Tercenung juga saya mencermati catatan itu. Betapa tidak, Guru Besar USU yang seorang insinyur ini ternyata mempunyai minat yang sangat besar pada buku-buku yang terkesan buku sosial, bahkan budaya. Setidaknya mengingatkan saya juga tentang sobat Ir. Jaya Arjuna, seorang insinyur yang juga dikenal sebagai budayawan. Buku-buku yang dibacanyapun bukan ‘main-main’.
Bukan hanya karena ketebalan halamannya yang ‘hanya’ 600-an aja, akan tetapi juga substansi permasalahannya. Bayangkan, kalau dalam waktu seminggu, habis ‘dilalapnya’ 3 buku, berapa buku lagi yang sudah, sedang dan akan dibaca selama sebulan, setahun, bahkan berpuluh tahun karirnya sebagai seorang cendekiawan.
Catatan ini juga mengingatkan saya pada tokoh lain yang saat ini sedang jadi pembicaraan ramai, seorang Hakim Agung – mantan pengacara di LBH Jogyakarta - yang dianggap kontroversial, Artijo Alkostar. Mungkin ia lebih ‘reader maniac’. Konon baik di kantor maupun di rumahnya berserak buku-buku yang sudah, sedang dan akan dibacanya.
Seluruh anggota keluarganya, demikian pula anak buahnya di kantor, termasuk asistennya yang ‘galak’, Mariana Sondang Panjaitan, takkan berani menggeser, merapikan, apalagi memindahkan buku-buku yang berserak tersebut, meski dengan maksud baik, menyusun dan membersihkannya. Hal yang hampir serupa dengan beberapa cendekiawan lain yang sempat saya kenal.
Prof. Dr. Usman Pelly, MA misalnya, yang pernah menjadi penguji luar saya ketika saya menuntut ilmu Program Philosophy of Doctor di Jurusan Antropology dan Sains Sosial, Faculty Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, KL, Malaysia, juga seorang readers maniac, bahkan menyusun buku-bukunya dalam sebuah perpustakaan pribadi yang selain kaya dengan substansi materinya, juga dalam jumlah yang luar biasa banyaknya. Banyak para yuniornya yang pasti pernah diajak untuk ‘meninjau’ perpustakaannya tersebut di lantai dua rumahnya.
Demikian pula mantan Rektor USU yang kini sudah almarhum, juga seorang notaris dan penulis buku yang amat produktif, disamping seorang budayawan Mandailing yang mengasuh lembaga kesenian Gunung Kulabu, Prof. Dr. Adi Putera Parlindungan.
Mungkin perpustakaan pribadinya kini dikelola oleh salah seorang puterinya, Tapi Teta Rondang Ni Bulan, M.Si, Ph.D, yang kini juga mengajar di Perguruan Tinggi Harapan. Tokoh lain yang rasanya juga sulit diabaikan adalah Prof.Dr. M.Solly Lubis, SH, Guru Besar Emiritus ini bahkan sempat menjadi anggota DPRD Sumatera Utara, sampai kemudian back to campus, dan mengajar sampai sekarang, bahkan di usianya yang lebih dari 80-an tahun.
Buku dan Nuansanya
Tahun 70-an, ketika awal saya menginjakkan kaki di Medan, saya mengalami kesulitan manakala harus belanja buku. Betapa tidak, saat itu toko buku yang ada – dan satu-satunya – adalah toko buku Deli di Kesawan. Manajernya, pak Lukman, adalah seorang yang tahu buku. Juga sangat tahu akan ‘selera’ para pelanggannya. Setiap kali saya akan ditelepon manakala ada buku baru yang diperkirakan cocok dengan selera saya.
Buku-buku yang kemudian sering menjadi referensi – termuat dalam daftar pustaka pada setiap karya ilmiah, meski seringkali saya meragukan apakah penulisnya benar-benar membaca buku-buku tersebut – baik berbentuk kamus, jurnal ataupun ensiklopedi, seringkali sudah dianggap standar bagi suatu penulisan ilmiah.
Buku-buku dengan beragam konsentrasi kini sudah semakin banyak. Sedikit banyak hal itu memenuhi minat dan hasrat para cendekiawan yang tak selalu berkutat dengan bidang ilmunya belaka. Prof. Darwin Sitompul adalah salah satu contoh unik. Saya sendiri mempunyai perbendaharaan buku yang sebagian terbilang tua.
Buku Babadipun Pandawa, ditulis oleh seorang Belanda, J. Kats, diterbitkan oleh Commissie voor de Volkslectuur, tahun 1917. Ditulis dalam huruf dan bahasa Jawa. Demikian juga dengan buku Serat Damarwulan. Saya juga membaca buku tebal karya trio Heru S. Sudjarwo, Sumari dan Undung Wiyono, berjudul Rupa & Karakter Wayang Purwa. Buku ini tebalnya 1169 halaman.
Mungkin buku saya yang paling tebal disamping Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1680 halaman, atau De Wetboeken.
Wetten en Verordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, Engelbrecht, diterbitkan oleh PT Ichtiar Baru bekerjasama dengan Van Hoeve, 1461 halaman. Buku lain adalah yang bertajuk : Kurik Kundi Merah Saga, Kumpulan Pantun Lisan Melayu, diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1990, 1093 halaman.
Buku tentang Bali, ternyata ditulis oleh Walter Spies (Inggris) dan dokter Murdowo (Jawa) keduanya sama sekali bukan orang Bali. Seorang ethnomusicology Amerika, Prof Mantlehood justru menulis buku berjudul Javanese Gamelan in the world of Music. Tentu dapat dirasakan betapa buku-buku ini mempunyai nuansa yang berbeda-beda.
Ada pula serial buku menarik, yang merupakan program penerbitan khusus dari Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang dipimpin oleh Myra Sidharta dengan judul Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Ternyata bukan hanya mencari penerbit saja yang sulit, akan tetapi mencari bahan untuk diterbitkan juga bukan mudah.
Ternyata, sekarang proyek tersebut sudah menerbitkan lebih banyak dari buku yang direncanakan. Saya sendiri sudah mempunyai buku lebih dari pada jumlah tulisan yang diperkirakan. Tulisan awal berjudul: Cerita Nyai Soemirah Atawa Peruntungan Manusia (1917), Cerita Nyai Soemirah, Pembalasan yang Luput (1917); Dengen Duwa Cent Jadi Kaya Jilid 1 dan 2 (1920). Keempatnya ditulis oleh Thio Tjin Boen.
Berikutnya Ruma Sekola Yang Saya Impiken (1925), Bunga Roos Dari Cikembang (1927) dan Drama Dari Krakatau (1929). Ketiganya ditulis oleh Kwee Tek Hoay. Masih ada lagi, yaitu Peniti-dari Barlian (1922), ditulis oleh Tan King Tjan, Kota Medan Penu Dengen Impian atawa Nyai Tertabur Dengen Mas (1928) dan Harta yang Terpendem (1928), keduanya ditulis oleh Juvenile Kuo, Nyai Isah (1931) penulis Sie Lip Lap dan Gadis Lobang Kubur (1953) ditulis oleh Kwee Khee Soei.
Terkait dengan hal ini masih ada beberapa buku yang layak disajikan. Antara lain buku yang ditulis oleh Ann Wan Seng, Rahasia Bisnis Orang China, Kunci Sukses Menguasai Perdagangan, Secrets of the Dragon, Rahasia Bagaimana mengumpulkan Kekayaan dan menjadi Pemimpin Besar, yang tersembunyi Dalam Simbol Naga Tionghoa.
Buku lain yang juga menarik ditulis oleh Stephen Skinner, berjudul Feng Shui, Ilmu Tata Letak Tanah dan Kehidupan China Kuno, serta karya bersama Master Philip Cheong dan SL Ang yang berjudul Ajaran Leluhur Tabu-tabu China. Dua buku berikut mulai bernuansa sejarah - meski kelam – ditulis oleh Prof. Hembing Wijayakusuma dengan judul Pembantaian Massal 1740 Tragedi Berdarah Angke dan buku berjudul Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa –Jawa Melawan VOC ditulis oleh Daradjati. Buku berikut mengisahkan tokoh-tokoh Jawa dari Ken Arok-Ken Dedes, para wali (sanga) sampai Jaka Tingkir, Untung Surapati, Trunajaya dan lain-lain. Catatan tentang Raden Patah (Jin Bun) mungkin menarik juga untuk disajikan.
Ada silang pendapat di antara berbagai buku. Menurut Babad Tanah Jawi, ibu Raden Patah adalah seorang puteri China yang merupakan selir Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Karena permaisuri merasa cemburu dengan selir China tersebut, akhirnya Prabu Brawijaya memberikan selir tersebut kepada putera sulungnya, Arya Damar. Selir China tersebut diboyong ke Palembang dalam keadaan hamil, kemudian melahirkan seorang bayi diberi nama Raden Patah atau Jin Bun.
Sedang menurut Kronik China dari Kuil Sam Po Kong di Semarang, nama asli Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-Ta bu-mi (alias Bhre Kertabumi) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir China. Kemudian selir tersebut diberikan kepada seorang peranakan bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San.
Dalam Serat Kanda dinyatakan bahwa setelah Raden Patah berhasil menaklukkan Majapahit, ia diwisuda sebagai Penembahan Jin Bun. Baik Babad Tanah Jawi maupun Serat Kanda sama-sama menceritakan kalau Raden Patah diasuh oleh Arya Damar di Palembang. Panembahan Jin Bun (Serat Kanda) atau Senopati Jin Bun (Babad tanah Jawi) sama dengan Jin Bun dalam kronik di klenteng Semarang. Jadi, Arya Damar sama dengan Swan Liong.
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir China yang merupakan ibu Raden Patah adalah Siu Ban Ci, puteri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syech Bantong. Kisah ini mendekati tulisan Sumanto Al-Qurtubi, sebuah buku yang sangat fenomenal berjudul Arus China-Islam-Jawa, Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI.
Dan buku Iwan Santosa, berjudul Peranakan Tionghoa di Nusantara yang berlandaskan bacaan-bacaan tersebut, saya mencoba membuat penelitian di Medan tentang masalah Tionghoa dan keturunannya.
Laporan dari pada penelitian tersebut berbentuk buku dengan judul Studi Tentang Masalah Tionghoa di Indonesia (Studi Kasus di Medan). Buku tersebut kini sudah sampai pada tahap edisi revisi dan menghuni Library of Congress di Amerika, Instituut Sinology of Leiden, Belanda, Monash University Australia dan National University of Singapore (NUS) Singapura.
Karya Tulis
Selain buku, beberapa artikel – lebih dari dua ribu – dimuat di berbagai media di Indonesia. Selain harian Analisa, terbanyak, artikel juga dimuat di Waspada, Mimbar Umum, Republika, Sinar Harapan dan Jayabaya, Surabaya.
Sementara beberapa buku antara lain berjudul Sosiologi Hukum, Pengantar Filsafat, Pisau Analisis Seorang Kolumnis, Dor Di Dom, Haru-Hura, Huru-Hara, Bayang-Bayang Wayang, Ibadah Haji, Perjalanan Spiritual 40 Hari, Nafas, Nafsu, Erotika, Sensualitas, dan Seksualitas dalam Tinjauan Filsafat Hukum dan lain-lain. Buku yang terakhir ini sempat di bedah buku oleh Program Pasca Sarjana UMN-AW di Medan dengan pembahas Prof. Syaifuddin, Prof Siman dan Nelvitia Purba SH (Cand Dr).
Pada sisi lain mungkin ada bacaan yang menarik juga, yaitu Arus Bawah, Titik Nadir Demokrasi, yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib dan Pantat Bangsaku, ditulis oleh Islah Gusmian. Buku-buku yang sinis itu tetap menarik untuk dibaca. ***
Penulis adalah seorang budayawan dan Guru Besar Filsafat UMSU Medan.