Medan, (Analisa). Komponis Nasional, Nahum Situmorang telah jadi legenda lewat lagu-lagu yang diciptakan pada era keemasannya. Selain menginspirasi, Nahum dinilai sebagai musisi cerdas yang mampu membuat syair puitis.
“Melihat lirik-lirik ciptaan Nahum, kita serasa dihadapkan pada puisi. Unsur puitik dalam syair lagu Nahum membuat pendengar tidak sekadar menikmati musik dalam rangkaian nada, namun juga teks yang berbumbu rima, bunyi, makna dan persajakan,” kata Budayawan Batak, Idris Pasaribu ketika didaulat jadi pembicara Mengenang Guru Nahum Situmorang di TBSU, Sabtu lalu.
Turut hadir sebagai pembicara antara lain, Peneliti Musik Etnis Junita Batubara dan Dosen Musik Universitas HKBP Nommensen, Harry Dikana Situmeang. Diskusi panel itu dimoderatori, Etnomusikolog, Irwansyah Oemar Harahap.
Diskusi soal Nahum turut digelar di pelbagai daerah di Indonesia. Mengenang Nahum disetiap tanggal lahirnya, 14 Februari jadi satu agenda rutin seniman dan budayawan sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi Nahum di dunia musik.
Lebih jauh, Idris Pasaribu menjelaskan dari sekian banyak komposer musik Batak, Nahum adalah salah satu yang jenius. Sebab ia bisa meramu persajakan dalam liriknya sekaligus melahirkan nada-nada yang enak didengar.
“Jangankan dinyanyikan, dibaca saja lirik lagu Nahum sudah indah. Barangkali ini dilakukannya karena ia begitu dekat dengan dunia sekitar berikut dengan persoalan di dalam karya yang diciptakannya,” ujarnya.
Selain itu, Idris juga menyinggung proses kreatif Nahum dalam mencipta lagu. Yaitu dengan menggunakan batang-batang korek api sebagai partitur. “Luar biasa kecerdasan Nahum, lewat batangan korek api ia mampu melahirkan lagu-lagu yang kini melegenda,” ujar pengarang novel Acek Botak dan Pincalang itu.
Perpektif lain dikemukakan Junita Batubara yang pernah meneliti lagu-lagu Nahum, salah satunya Pulau Samosir. Menurut Junita, bait lagu Nahum jarang berulang. Bahkan sesudah refrain, dilanjutkan dengan bait baru. “Mungkin bagi Nahum, menulis lagu adalah cara lain dalam menyampaikan sesuatu. Jadi harus jelas dan lengkap,” katanya.
Demikian juga dengan Harry Dikana, yang dalam kesempatan itu, tampil membawakan beberapa lagu Nahum. Menurutnya tidak sedikit musisi yang menggubah lagu-lagu Nahum dalam banyak genre musik. “Lagu Nahum menginspirasi banyak musisi. Tidak heran jika ada musisi yang mengaransemen lagu-lagu Nahum dalam bentuk jazz maupun keroncong,” kata dosen gitar di Universitas Nommensen itu.
Untuk menghargai karya-karya Nahum, serta ketokohannya, para peserta diskusi pun sepakat untuk membentuk komunitas yang dinamakan “Lissoi” yang mengambil salah satu judul lagu Nahum. Direncanakan komunitas ini akan menggelar pertemuan rutin, membahas hal-hal yang berkaitan dengan seni dan budaya. (br)