Oleh: Rosni Lim. Legenda Hakim Bao (Bao Zheng/Bao Gong/Bao Qing Tian/Bao si “Langit Biru”) adalah legenda yang sangat terkenal dari negeri Tiongkok. Hakim Agung Bao (999-1062M), seorang hakim sangat jujur, adil, bijaksana dan tegas. Memegang jabatan di kehakiman pada masa pemerintahan Kaisar Song Ren Zhong dari Dinasti Song Utara.
Dilahirkan di Propinsi Anhui, pada masa kecilnya Bao Gong banyak bergaul dengan kaum jelata di kampungnya. Bao Gong mengetahui beban hidup mereka, memahami masalah mereka, mendengar cerita-cerita mereka. Seputar ketidakadilan yang terjadi di kerajaan, sampai cerita-cerita begitu membekas di hatinya dan tersimpan di otaknya. Membuatnya bercita-cita terjun ke dalam lingkungan istana untuk bisa menegakkan keadilan.
Setelah lulus ujian kerajaan tingkat tertinggi yang diuji langsung oleh Kaisar, Bao Zheng diangkat sebagai pejabat kehakiman di Kabupaten Jian Cheng. Tak lama kemudian dia pulang kampung untuk merawat orangtuanya yang sudah tua dan lemah selama 10 tahun. Setelah mereka meninggal, Hakim Bao kembali lagi ke kota dan diangkat sebagai pejabat kehakiman di Propinsi Tian Cheng.
Dia memegang jabatan dengan penuh keadilan. Karena bakat dan kecerdasannya, Kaisar Song Ren Zhong kemudian mempromosikannya sebagai hakim di Pengadilan Kai Feng, ibukota Dinasti Song (1037-1062). Selama masa jabatannya, sebanyak 30 orang petinggi istana/pejabat telah diturunkan jabatannya, dimutasi, bahkan dipecat atas tuduhan korupsi, kolusi, melalaikan tugas, dan lain-lain. Dia sangat berani dan berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama apa yang dipertahankannya itu dianggapnya benar. Dia tidak mengenal toleransi ketika memutuskan perkara/hukuman, walaupun terpidana adalah kerabat dekat dari Kaisar. Tidak ada pelaku kejahatan yang bisa luput dari kecerdikan Hakim Bao dalam menyelidiki setiap perkara.
Kaisar menghadiahkan 3 buah guillotine kepada Hakim Bao untuk menghukum para terpidana. Ketiga guillotine (pemenggal kepala) itu adalah:
1. Guillotine kepala naga untuk menghukum bangsawan jahat. 2. Guillotine kepala macan untuk menghukum pejabat korup. 3. Guillotine kepala anjing untuk menghukum rakyat jelata.
Selain itu, Hakim Bao juga dianugerahi sebuah tongkat emas kerajaan oleh Kaisar untuk menghukum Kaisar sendiri bila bersalah dan pedang pusaka kerajaan tanda berhak untuk menghukum anggota kerajaan tanpa perlu melapor atau mendapat persetujuan Kaisar.
Dalam legenda opera dan drama di film/TV, sosok Hakim Bao sering didramatisir. Hakim Bao dilukiskan sebagai seorang pria berjenggot, bermuka hitam dan memiliki tanda lahir bulan sabit di dahinya. Dalam melaksanakan tugasnya, Hakim Bao dibantu oleh pendekar Zhan Zhao, sekretaris/ahli pikir Gong Sun dan para ksatria Wang Chao, Ma Han, Zhang Long, Zhao Hu, yang sering bertindak sebagai eksekutor ketika Hakim Bao melemparkan plakat hukuman ke atas lantai. Terpidana pun akan dipenggal kepalanya di bawah salah satu guillotine.
Dalam novel “Pedang Bao Zheng” yang diadaptasi dari film “Judge Bao”, Vanny Chrisma W. menulis kisah dua bersaudara Tan Cheng dan Tan Ping -putra kembar dari Tan Li- yang memiliki wajah persis sama tapi sifat yang bertolak belakang.
Tan Cheng -sang abang- seorang pembunuh berdarah dingin jago silat yang dengan goloknya menebas leher kiri setiap korbannya. Mayoritas para korban adalah pejabat korup dan hakim yang salah memutuskan perkara. Tan Ping -sang adik- seorang yang lemah hati dan sakit-sakitan.
Ketika Hakim Bao kembali lagi ke kota setelah 10 tahun pulang kampung untuk merawat orangtuanya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Mantan muridnya -Ce Cing- menjabat sebagai bupati di Tai Kang - ditebas lehernya oleh seorang penyelusup berjubah hitam. Pembunuh itu dikenal orang-orang bernama Tiau Liu (nama samaran dari Tan Cheng). Hakim Bao sangat murka, apalagi sebelumnya sang pembunuh juga telah membunuh seorang hakim di Hao Cou. Si pembunuh lolos dari kejaran para pengawal Hakim Bao.
Pendekar Zhan Zhao yang mengejar Tan Cheng sampai ke tempat persembunyiannya di hutan, membuat Tan Cheng yang berada di sana bersama adiknya -Tan Ping- terpaksa berpisah dan kedua bersaudara itu berjanji untuk bertemu kembali di Gazebo Lima Li.
Setelah lolos dari kejaran Zhan Zhao, Tan Cheng pun menuju Gazebo Lima Li. Tak menemukan adiknya di sana, selain sepasang sepatu anyaman milik sang adik. Rupanya Tan Ping telah pingsan di tengah perjalanan menuju tempat itu karena tubuhnya yang lemah dan radang paru-paru. Tan Ping diselamatkan oleh mantan pejabat Sing Hung Yen, yang ironisnya sang pejabat adalah musuh utama dari Tan Cheng; karena sebelumnya Sing Hung Yen yang berkedudukan sebagai hakim salah menangkap orang, Tan Li -ayah Tan Cheng dan Tan Ping- yang dikiranya sebagai perampok.
Ironisnya juga, sang adik yang diselamatkan oleh Sing Hung Yen, malah saling jatuh cinta dengan putri Sing yang bernama Sing Ming Chen. Suatu hari, Tan Cheng menerobos masuk ke kediaman Sing Hung Yen dan membunuhnya. Setelah pembunuh pergi, Tan Ping muncul dan karena wajahnya mirip dengan Tan Cheng, dia pun ditangkap dan diadili oleh Hakim Bao.
Hakim Bao hampir saja menjatuhkan hukuman penggal pada Tan Ping, untunglah di saat yang genting Hakim Bao menyadari kalau Tan Ping bukanlah pembunuh yang dicari-cari selama ini, karena Tan Ping memegang seruling dengan tangan kidal/kiri, sedangkan Tan Cheng setiap kali menebas leher korbannya dengan tangan kanan mengenai leher kiri.
Cerita ini semakin menarik ketika dua bersaudara di pengadilan, yang salah satunya hendak diadili, sama-sama mengaku sebagai pembunuh dengan maksud untuk melindungi yang satunya lagi. Hakim Bao bingung memilih mana pembunuh sebenarnya, tapi lewat kecerdikannya, Hakim Bao berhasil membuat mereka terperangkap dan Tan Cheng pun dihukum penggal kepala dengan guillotine anjing.
Novel ini cukup menarik dengan bahasa-bahasa yang ringan dan lancar, ditambah adanya kutipan beberapa syair yang amat menyentuh hati. Biasanya pengarang/penulis buku novel menggunakan imajinasinya dalam menulis, tapi karena ini adalah novel adaptasi dari film “Judge Bao”, bagaimana penulis menuliskannya dalam bentuk novel menjadi sebuah hal yang menarik untuk diikuti. Kisah si kembar Tan Cheng dan Tan Ping mendapat porsi lebih besar daripada porsi Hakim Bao dalam memutuskan perkara.
Bagi yang masih asing dengan sosok Hakim Bao Qing Tian, mungkin tidak akan menemukan banyak kelebihan Hakim Bao, karena itu saya membuat pengantar di atas dengan sedikit cerita legenda dari sang hakim agung. Syair yang amat menyentuh dan sarat makna ada di halaman 14 dari novel ini yang bunyinya sebagai berikut:
Kaki yang baik, tidak akan terpengaruh oleh sepatu yang buruk. Jika tidak berbuat jahat, mengapa harus takut? Yang baik selalu kalahkan yang jahat. Begitulah hukum alam.
Medan, Januari 2014.