Oleh: Ferisman Tindaon. Pencantuman gelar Guru Besar (Professor) untuk penyanyi dan raja dangdut Rhoma Irama bebera hari terakhir ini banyak mengundang komentar dan reaksi negatif di berbagai media. Sebagian besar mempertanyakan keabsahan dan penjelasan resmi dari pemakaian gelar tersebut.
Masyarakat Indonesia sedang memiliki keinginan besar pencantuman gelarnya untuk memperoleh pengakuan jati diri dan meningkatkan rasa percaya diri serta keperluan pencitraanya. Sayangnya keinginan yang baik tersebut bukan disertai upaya memperolehnya dengan baik . Terkadang justru berakibat merusak tatanan sosial dan norma yang ada. Sebuah degradasi dan etika pencatuman gelar akademik, dan kegalauan masyarakat yang perlu kita pertanyakan.
Disamping pemakaian gelar guru besar (Prof) tersebut, masih banyak dipersoalkan tentang penggunaan gelar akademik lainnya misalnya. Dr (HC: honoris causa), Dr (Cand) atau gelar MSc, M.Eng yang tidak dikenal dalam penulisan dan penyebutan resmi jika gelar tersebut diperoleh di perguruan tinggi dalam negeri. Kegalauan sosial dengan adanya pelecehan, degradasi nilai dan tidak sesuai dengan norma ini terjadi terutama jika dikaitkan dengan lembaga pendidikan tinggi resmi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pihak yang berwenang mengeluarkannya.
Bahkan dalam masyarakat kampanye calon legislatif, pemilihan presiden dan kepala daerah saat ini, kita sering melihat adanya pencantuman gelar Dr(C), baca : canditate pada nama peserta pemilihan. Berarti seandainya penulis yang telah mendaftar diri pada program S3 (stratum tiga) di salah satu perguruan tinggi dengan serta merta keesokan harinya atau pada saat itu jua dapat langsung menuliskan dan mencantumkan gelar akademik untuk melengkapi namanya namanya menjadi Dr (c).Ir. Ferisman Tindaon, MS.
Jika demikian halnya, berapa puluh atau ratusan ribukah peserta program pasca sarjana S3 yang ada di Indonesia saat ini? Atau berarti semua mahasiswa yang telah mendaftarkan diri di perguruan tinggi dapat mencantumkan gelar akademiknya dengan menambahkan kata “candidate” sesuai dengan strata yang diambilmya.
Penulisan dan penyebutan gelar akademik yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di Indonesia sebenarnya telah diatur dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan No. 036/U/1993 Tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi. Meskipun penyebutan gelar-gelar akademik sebelum dikeluarkanya Kepmen ini nya masih dapat digunakan misalnya Ir(Insinyur untuk Teknik, Pertanian, Peternakan, Perikanan), SH (Sarjana Hukum), Drs/Dra (doktorandus, doktoranda) dan gelar akademik lainnya. Artinya gelar akademik yang diberikan oleh perguruan tinggi di dalam negeri sebelum Keputusan ini berlaku dapat tetap dipakai sebagaimana adanya.
Khusus untuk penyebutan gelar dari perguruan tinggi luar negeri dapat ditulis sesuai dengan gelar yang dikeluarkan perguruan tinggi yang bersangkutan. Ijazah yang diperoleh dari luar negeri tersebut harus dilakukan penyetaraan dan pengakuannya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Menjadi pertanyaannya adalah perlukah anggota legislatif memikirkan dan menelurkan aturan hukum yang pasti untuk mengatur pelanggaran ini?
Pada pasal 14, Surat Keputusan Menteri ini jelas disebutkan bahwa syarat pemberian gelar akademik, sebutan profesional dan sebutan profesi tersebut dapat dilakukan apabila (1) Telah menyelesaikan semua kewajiban dan/atau tugas yang dibebankan, dalam mengikuti suatu program studi baik untuk pendidikan akademik maupun pendidikan profesional sesuai dengan ketentuan yang berlaku;(2). Telah menyelesaikan kewajiban administrasi dan keuangan berkenaan dengan program studi yang diikuti sesuai ketentuan yang berlaku;(3). Telah dinyatakan lulus dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional.
Dengan demikian seharusnya dan sebenarnya tidak dikenal penulisan, penyebutan, pemakaian atau pencantuman gelar yang berembel-embel “candidate” atau berarti “calon”. Sebab pada dasarnya semua orang bisa disebutkan sebagai canditate atau calon untuk gelar apapun.
Kemudian. gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dapat diberikan kepada seseorang yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan,teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan. Pemberian gelar inipun masih memiliki beberapa syarat di antaranya harus memiliki gelar akademik sekurang-kurangnya Sarjana dan Berjasa luar biasa dalam pengembangan suatu disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.
Profesor (atau prof secara singkat) adalah seorang guru senior, dosen dan/atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi ataupun universitas.
Di Indonesia, gelar Profesor merupakan jabatan fungsional akademik dosen di perguruan tinggi negeri yang penetapan dan pemberiannya diatur oleh peraturan menteri. Lain halnya di luar negeri seperti di Amerika gelar “Profesor” dapat digunakan (utamanya oleh para pelajar di Amerika) sebagai istilah yang lebih sopan untuk seseorang yang memegang gelar kesarjanaan PhD (S3) dari perguruan tinggi, tanpa memperhatikan tingkatan/rating dari perguruan tinggi tersebut. Sehingga sering orang-orang yang bekerja sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi dipanggil Profesor ( sebagian negara Asean).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, menegaskan, untuk memberikan gelar guru besar kepada seseorang ada aturan yang harus dipenuhi. Sebelum dinobatkan sebagai guru besar, seseorang harus terlebih dahulu bergelar doktor (S3). Lazimnya, seorang guru besar merupakan dosen yang mengajar di perguruan tinggi tertentu.
Bisa dipastikan, guru besar yang dicetak di Indonesia memiliki riset dan karya tulis. Bagi guru besar yang ditetapkan di luar negeri, kata Mendikbud, agar bisa dipakai di Indonesia harus disetarakan terlebih dahulu.
“Sama halnya seperti sarjana atau insinyur dari luar negeri, guru besar juga harus melewati yang namanya penyetaraan (Kemdikbud, 27/2/2014)
Respons Negatif Masyarakat
Secara tidak langsung masyarakat diduga telah ikut berperan dalam mengurangi nilai (degradasi) pencantuman gelar dari perguruan tinggi ini.Bahkan secara terang-terangan telah mengkesampingkan etika sosial.Sebagian besar masyarakat Indonesia,khususnya para akademisi, pendidik,guru dan insan peguruan tinggi merasa sangat terpukul dan terhina dengan adanya degradasi dan merosotnya etika masyarakat dalam hal penulisan dan pencatuman gelar akademik ini. Tidak adakah hal lain yang lebih dapat diterima akal untuk dapat diperolok-olokkan demikian?
Bagi masyarakat yang mengerti akan etika dan aturan, maka sesaat ini juga mereka akan meresponse dengan menggolongkan orang-orang yang berbuat tersebut sebagai “orang yang bukan terhormat (nista), bahkan diduga sebagai “terlibat, terdakwa perusak tatanan dan norma sosial atau setidaknya tindakannya dalam berupaya meruntuhkan norma dan etika akademik di perguruan tinggi”. Sebagian besar masyarakat Indonesia,khususnya para akademisi, pendidik,guru dan insan peguruan tinggi merasa sangat terpukul dan terhina dengan adanya degradasi dan merosotnya etika masyarakat dalam hal penulisan dan pencatuman gelar akademik ini. Tidak adakah hal lain yang lebih dapat diterima akal untuk dapat diperolok-olokkan demikian?
Bagi masyarakat yang mengerti akan etika dan aturan, maka sesaat ini juga mereka akan meresponse dengan menggolongkan orang-orang yang berbuat tersebut sebagai “orang yang bukan terhormat (nista), bahkan diduga sebagai “terlibat, terdakwa perusak tatanan dan norma sosial atau setidaknya tindakannya dalam berupaya meruntuhkan norma dan etika akademik di perguruan tinggi”.
Coba kita bayangkan, setelah mengikuti kuliah minimum delapan semester bersusah payah, atau telah kuliah bertahun-tahun, menulis tugas akhir (skripsi), tesis, disertasi dan ujian akhir, kemudian pada hari yang ditentukan diwisuda sebagai alumni. Diiringi oleh mars akademik yang universal di seluruh muka bumi ini “Godeamus Igitur” dan adanya barisan prosesi senat perguruan tinggi lengkap dengan jubah, toga, stolanya dan diakhiri peresmian dengan memindahkan rumbai toga dari kiri ke kanan dan wisudawan dinyatakan resmi menyandang gelar yang diperolehnya.
Masyarakat kita sedang dilanda krisis pengakuan dan jati diri , sehingga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dengan bangga dan ingin disebut dengan gelar “Ketua”, “Bos” Dalam percakapan seharihari terlihat limat orang sedang berdikusi dan terdengar masing-masing memanggil satu dan yang lain dengan kata Ketua atau Bos. Pendengar pembicaraan ini tentu akan heran sebab dalam sebuah diskusi atau panitia atau pertemuan, organisasi yang normal seharusnya jika ada Ketua tentu memiliki anggota.
Dalam kehidupan organisasi kemasyarakat, masyarakat ini juga menginginkan pencantuman semua gelar yang dimilikinya dalam penulisan namanya. Bahkan gelar-gelar akademis sering dicampur baurkan dengan gelar-gelar kegiatan keagamaan, meskipun gelar-gelar tersebut telah memiliki wilayah pengakuan .
Sebuah pengupayaan pengakuan yang “maya” dimaksudkan untuk pencitraan. Namun seharusnya memperhitungkan adanya respons masyarakat bahwa tindakan itu “pelanggaran norma dan etika sosial”. Akhir dari sebuah upaya memperoleh pencitraan baik ternyata hanya memperoleh sebuah “hukuman sosial’ sebab sang pencari citra telah kami golongkan sebagai orang yang haus pengakuan, dan perusak norma dan etika sosial.
Kita seharusnya hidup dengan norma dan etika yang wajar sesuai dengan tatanan sosial dan aturan yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak memperoleh respons negatif dari masyarakat luas.***
Penulis adalah : Akademisi dan Guru Besar Tetap di Fakultas Pertanian Universitas HKBP Nommensen Medan.