Oleh: Elfa Suharti Harahap. Mengenal Laskar Pelangi, berarti mengenal Bangka Belitung. Keindahan alamnya membuat siapa saja menaruh iri. Dikenal sebagai pantai berpasir putih dan memiliki batu- batu granit besar, dimana Ikal dan teman- temannya bermain riang saling kejar mengejar. Begitulah gambaran yang ditunjukkan Riri Riza sebagai sang sutradara kawakan.
Lewat film ini pula, Kepulauan Bangka Belitung yang terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan ini menjadi tersohor. Wisatawan yang berkunjung ke provinsi Bangka Belitung meningkat hingga 800 persen semenjak film Laskar Pelangi di tayangkan. Tentu ini menjadi potensi besar untuk memajukan pariwisata di Indonesia.
Sedikit ulasan tentang Bangka Belitung diatas bukan tidak memiliki tujuan. Batu granit besar dengan pasir putih tidak hanya ada di pulau yang sering disingkat dengan Babel tersebut. Ya, Laskar Pelangi tidak hanya ada di Bangka Belitung! Masih diseputaran Sumatera. Tepatnya di Sumatera Utara (Sumut). Pulau yang dimaksud biasa disebut sebagai Pulau Pandang. Letaknya di Selat Malaka, di sebelah Utara Kecamatan Tanjung Tiram, Desa Bogak, Kabupaten Batubara. Kurang lebih lima jam dari Kota Medan.
Waktu menunjukkan pukul 05.10 WIB saat kami sampai di Pelabuhan Tanjung Tiram, Batu Bara. Pelabuhan ini terlihat tak asing dengan waktu yang masih sangat pagi. Banyak terlihat para nelayan yang baru saja pulang dari laut. Wajar. Mengingat, Pelabuhan Tanjung Tiram memiliki Dermaga dan TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang dikenal sebagai BOM. Nama BOM mengacu pada sejarah ketika Jepang masuk ke Sumatera bagian timur melalui dermaga ini. Dan untuk memuluskan jalan masuk Jepang membom wilayah tersebut. itulah sebabnya mengapa disebut BOM.
Sambil menunggu kapal yang akan menyebrangkan kami ke Pulau Pandang, seorang masyarakat setempat terlihat ingin menawarkan jasa penyebrangan. “Kalau mau menyebrang ke Desa sebelah, ongkosnya murah saja. Cuma dua ribu rupiah,” kata laki- laki paruh baya berlogat melayu pesisir, Apis.
“Kalau mau nyebrang ke Pulau Pandang cukup mahal. Kapal kecil bermuatan 20 orang bisa mencapai satu sampai satu juta setengah untuk rute pulang pergi. Kapal besar bisa sampai tiga juta. Biasanya yang mau kesana pasti pergi rombongan biar ongkos kapal bisa patungan,” tambahnya.
Tanjung Tiram sendiri menjadi pelabuhan penting dan memiliki potensi untuk menjadi salah satu sentral perikanan terbesar di kawasan pesisir timur Sumut. Potensi tersebut didukung letak geografis kawasan pesisir Tanjung Tiram yang berhadapan langsung dengan perairan Selat Malaka. Dari pelabuhan ini, masyarakat juga dapat menyebrang ke negara tetangga, Malaysia via Port Klang.
Sebelum matahari menyapa pagi dan sebelum air laut semakin surut, kami memulai perjalanan selanjutnya. Kami menyebrang dengan kapal bernomor GT. 6 No. 3470/ S.5 bermuatan hingga 30 orang. Perjalanan laut ini akan memakan waktu dua jam. Tak banyak yang bisa dilakukan diatas kapal. Mendengar musik, bercerita atau bersenda gurau setidaknya bisa mengalahkan suara mesin kapal.
Kurang lebih melakukan lima jam perjalanan darat dan laut, Pulau Pandang ‘menyapa’ dengan pasir putihnya. Dari kejauhan, pulau ini terlihat dipenuhi oleh hutan hijau. Hanya ada mercusuar putih menjulang dari kejauhan. Lelah langsung terbayarkan. Istirahat bukan agenda yang tepat. Yang mau bersantai menikmati semilir angin, bisa langsung mengambil posisi duduk dibawah pohon kelapa sambil memandang laut.
Dilihat dari depan, pulau ini seperti kebanyakan pulau lainnya. Mencerminkan laut biru, pohon kelapa yang mendominasi, pasir putih berkilauan. Sangat dianjurkan kepada wisatawan untuk melihat dari sisi lain. Keindahan alamnya terletak dibagian belakang pulau. Saat melihat batu- batuan granit besar berdiri diatas pasir putih, barulah kita menyadari mengapa pulau ini bisa memberikan harmoni alam Laskar Pelangi.
Saat air surut, tempat yang dipenuhi batu granit mudah dijangkau hanya dengan berjalan kaki sambil melewati ratusan tripang terdampar. “Biasanya orang- orang kesana pagi hari. sekitar pukul sepuluh. Waktu pagi air pasti sudah surut. Jika tidak, wisatawan harus berenang untuk sampai disana,” kata salah satu gaet, Haris, saat menemani kami menuju lokasi.
Sebenarnya, tempat tersebut tidak terpisah dari pulau. Lokasi batu granit berdiri hanya berstruktur lebih tinggi daripada kawasan menuju kesana. Jadi, saat pasang tiba, tempat tersebut tergenang air laut hingga dua meter. “Biasanya tempat ini disebut juga dengan pulau Hiu. Para nelayan yang menamainya. Nelayan sering sekali mendapat anak Hiu saat memancing. Selain tempatnya seperti kawasan syuting Laskar Pelangi, disini juga menjadi tempat favorit para pemancing. Banyak ikan bagus disini, seperti ikan GT, Tenggiri, Talang,” tambah Haris dengan semangat.
Setidaknya ada dua kawasan untuk menikmati keindahan batu granit. Satunya lagi berada tepat dibelakang mess. Bedanya, batu granit disini tidak berdiri diatas pasir putih. Batu- batu yang ada langsung terendam air laut. Bisa dibayangkan, wisatawan harus berenang untuk mencapai tempat ini. “Mau menikmati batu granit yang nggak jauh dari belakang mess juga bisa. Harus melewati air laut, meski air sedang tidak pasang. Kira- kira sampai pinggang orang dewasa dalamnya,” lanjunya.
Jangan buru- buru puas karena sudah disuguhi dengan harmoni alam Laskar Pelangi. Harmoni alam Pulau Pandang masih memberikan wisatawan tempat indah lainnya. Masih dengan keeksotisan batu. Ada satu tempat dengan sebutan Batu Belah. Dua batu berukuran sangat besar terletak diatas bukit. Jalan kesana melewati tanjakan bukit dengan anak tangga yang sudah mulai dipenuhi lumut.
Dari batu belah kita bisa menikmati pemandangan laut tanpa batas. Pun kapal- kapal yang sedang berlayar di kawasan Selat Malaka. Posisinya yang berada lebih tinggi membuat sinyal untuk jaringan smartphone yang biasanya berstatus SOS bisa berubah setidaknya menjadi EDGE. Lumayanlah untuk berkomunikasi sebatas SMS atau BBM-an. Jangan heran kalau selama di pulau, kita menjadi orang yang lost communication dengan dunia luar.
Tempat ini juga digunakan masyarakat Tionghoa untuk berdoa. “Katanya, dahulu ada seorang masyarakat Tionghoa yang ingin menjalankan sebuah usaha. Saat dia berkunjung ke Pulau Pandang, dia berdoa di Batu Belah. Usahanya berhasil dan dia sering mengunjungi pulau untuk berdoa. Sejak itu, masyarakat Tionghoa yang datang kesini selalu berdoa terlebih dahulu di Batu Belah,” kata Haris.
Lainnya, masih banyak aktivitas yang bisa dilakukan. Bukan wisata Batu melulu pastinya. Namanya juga pantai, snorkeling jadi agenda wajib. Bermain volley atau olahraga pantai lainnya yang dianggap seru bukan hal yang dilarang. Sore hari, kami memilih untuk bermain dam batu di sebuah pendopo yang sudah tersedia.
Bercerita tentang kondisi, Pulau Pandang tergolong pulau tak berpenghuni. Mencapai luas hingga 15 Hektar, pulau ini berada langsung di bawah naungan Departemen Perhubungan dan Kelautan, Distrik Navigasi. Hanya ada lima orang petugas Distrik Navigasi di pulau ini. kelima anggota juga tidak dapat dikatakan penghuni tetap karena mereka akan dipindah- pindahkan setiap satu bulan sekali ke beberapa pulau lainnya. Lebihnya, hanya ada para wisatawan.
Bukan berarti tidak dapat bermalam. Wisatawan yang berkunjung lebih dari satu hari dapat menggunakan tenda atau menyewa mess milik Distrik Navigasi dengan tarif Rp. 150.000/malam. Ada enam mess, lengkap dengan dapur dan kamar mandi di setiap ruang. Yang perlu diperhatikan, di pulau ini tidak terdapat bahan baku makanan ataupun yang menjual makanan siap saji. Dengan kata lain, stock makanan harus sudah tersedia sebelum menyeberang ke pulau ini.***
Penulis adalah alumnus FKIP UMSU dan Sekretaris IKM-LPM Teropong UMSU (2009-2010)