Idris Pasaribu. JOGAL tertembak? Ah... mana mungkin. Aku sudah beberapa kali melihatnya ditembak polisi, tapi peluru tak pernah mampu menembus tubunya. Jangankan tubuhnya, kulitnya sedikit pun tak lecet. Demikian salah seorang pengikut Jogal berkomentar.
Warung ekcil di sebuah sudut desa yang dirimbuni pepohonan, berkumpul beberapa orang begundal-begundal. Mereka kebanyakan adalah pengikut Jogal. Siapa yang tak kenal pada Jogal. Dia seorang penjahat, bukan saja antar kampung. Bahkan sudah antar kecamatan. Ada yang mengatakan sudah antar kabupaten.
Jogal tinggal duduk di kedai atau warung mana saja. Pemilik warung akan datang tersipu dan dengan nada sopan bercampur tubuhnya berdetar dan bertanya ramah.
"Mau makan apa, Bang? Satai, gado-gado atau pecel?"
Jogal dengan ketampanan wajahnya, akan lebih dahulu tersenyum dan sedikit merayu dengan kata-katanya yang sangat lembut.
"Ah kau ni, Yem. Tau saja kau apa yang kumai. Gado-gado sajalah. Biasanya kalau kau yang membikin, pasti enak kurasa," Jogal pun selalu menghadiahi Iyem dengan kedipan mata genitnya.
Tubuhnya atletis. Tinggi semampai, senyumnya sangat indah dan tutur katanya sangat sopan. Rambut ikal kasar mendekati sebahu, membuatnya demikian anggun, bukan sangar. Jarang pengikutnya yang belum mengenalnya, merasa tak yakin, kalau itulah Jogal pimpinan mereka. Mana mungkin Jogal yang terkenal preman itu, kulitnya mulus, besih, berpakaian rapi dan wangi? Tak mungkin.
Beberapa orang pun diutus untuk mengetahui duduk kejadian sebenarnya. Empat orang penduduk kampung disuruh menuju rumah sakit. Kabarnya Jogal sudah berada di ruang ICU.
"Ruang ICU iku, opo toh?" Tarjo salah seorang pengikutnya bertanya polos.
"Oooalaaah. Ruang ICU itu tempat penjahat kalau mau mati, di rawat di sana," jawab Ponimin yang selalu diangap pintar menjawab pertanyaan apa saja.
Dua buah sepeda motor meluncur dengan cepatnya menuju rumah sakit. Diperkirakan, rumah sakit itu dapat ditempuh berkisar satu jam dari tempat mereka berkumpul. Tentu saja naik kreta atau sepeda motor.
Kreta yang satu tanpa plat nomor polisi. Yang satu lagi memiliki plat nomor yang berbeda depan dan belakang. Di depan, platnya BK dan di belakang tertulis BL. Yang penting ada nomor plat polisi. Di depan plat BK-nya sudah mati 12 tahun dan di belakang plat BL-nya bahkan tak tertera kapan matinya. Tak seorang juga yang tahu dari mana mereka pungut plat nomor polisi itu.
Kreta yang meraung-raung karena businya kotor, melintas di jalan tak beraspal. Debu beterbangan. Dari kejauhan orang sudah mengetahui itu suara kretanya Tarjo dan Ponimin. Mereka berempat harus segera memberikan kabar, apa dan bagaimana keadaan Jogal.
* * *
Ayah jogal seorang yang terlunta-lunta ke desa itu, pada masa aksi ganyang-ganyang. Dia ditampung oleh mBah Sarijem. Setelah beberapa tahun dan cukup umur, ayah Jogal dinikahkan dengan putri tunggal mBah Sarijem. mBah Sarijem sudah janda 15 tahun.
Gubuk mungil yang asri. Berdinding gedhek (anyaman bambu) disanalah Jogal dan isterinya tinggal bersama mBah Sarijem, neneknya. Disana pula Jogal ngelmu (belajar ilmu kebathinan). Hampir setiap malam Jogal melakukan tirakat pada amben yang ada di depan rumah.
Saat gerombolan bersenjata datang dari Deliserdang mau merampok ke kampung, saat itulah Jogal tampil. Jogal harus membela keluarganya. mBah Sarijem yang sudah tua harus diselematkan. Isterinya yang baru sebulan melahirkan harus dibela. Jogal keluar rumah, saat gerombolan menggedor-gedor gubuk mereka. Isteri dan mertua Jogal serta mBah Sarijem mati ketakutan mendengar bentakan-bentakan gerombolan. Jogal mengintip dari celah-celah dinding gedhek. Dia tahu persis kekuatan lawan di luar gubuknya.
Begitu membuka pintu, Jogal langsung menikam orang yang paling dekat dengan pintu. Dua tusukan pisau yang sangat tajam, membuat usus terburai. Jogal langsung melompat ke arah kirinya dan dengan cepat perut seorang gerombolan lainnya sudah tertusuk beberapa kali dan Jogal mengejar yang satu lagi.
Senjata laras panjang jenis LE sudah terkokang. Letusan terjadi saat pisau Jogal sudah tertusuk memasuki perut si pembawa senjata. Suara letusan itu terdengar membahana di hening malam ke seantero kampung. Begitu cepatnya gerakan Jogal.
Tiga orang gerombolang, mati sekaligus malam itu. Kepala Kampung pun segera melaporkan kejadian itu kepada polisi. Polisi Perintis pundatang menyelidiki. Benar mereka adalah kelompok gerombolan yang sudah lama dicari-cari polisi.
Penduduk kampung justru mati ketakutan. Semua berprediksi, kalau kawan para gerombolan akan mendatangi kampung mereka. Pasti akan kejadian seperti kampung sebelah utara, semua rumah dibakar oleh gerombolan. Ternak mereka dibunuhi dan padi yang sedang bunting hijau kekuningan mereka babat habis pada malam hari.
Siang terik, para perwakilan keluarga dan kepala kampung mendatangi rumah Jogal. Mereka meminta pendapat Jogal untuk pindah kemana. Lama mereka menunggu jawaban Jogal yang terus kelihatan merenungi. Tak seorang yang tau apa yang sedang dipikirkan oleh Jogal. Suasana rumah jadi hening dan banyak warga menahan nafas. Tiba-tiba Jogal berkata pelan; Kampung tak boleh ditinggalkan.
Warga saling memandang dan diam. Itu keputusan Jogal dan warga kampung yang mengetahui kehebatan Jogal melawan gerombolan mengiktu apa yang dikatakannya.
* * *
Sehari, dua hari, gerombolan tak ada yang datang kekampung mereka. Justru yang ada, empat pemuda desa diminta oleh Jogal mengikutinya untuk menjemput mayat gerombolan yang sudah terkena tikaman. Hal seperti itu bukan sekali dua kali kepala kampung harus melaporkan kejadian kepada polisi dan polisi perintis datang dan membenarkan kalau yang terbunuh itu adalah gerombolan.
Ketika situasi sudah aman, Jogal mulai menata kampung. Kepala kampung tak berani berbuat apa-apa, bila Jogal yang sudah melakukannya. Rakyat justru mengikut, apa yang dikatakan Jogal ketimbang kepala kampung.
Jogal terus berjuang, membangun irigai tanpa bantuan pemerintah. Melakukan pengerasan jalan, hingga pemerintah tak berkutik saat diminta harus dijalan, karean pengerasan sudah dilakukan oleh rakyat. Dia pun menjadi penguasa tandingan bagi kepala kampung bahkan camat.
Dengan kekuatannya dan otoriternya, kampung dan kecamatan justru membaik. Rakyat senang. Sawah dan ladang serta kebun rakyat takterusik oleh penjahat lain. Perasaan senang itu, membuat rakyat tak segan-segan memberikan upeti kepada Jogal. Sebaliknya, Jogal yang terkenal sebagai preman itu, semakin banyak pengikutnya. Bukan hana di kampungnya, juga dikecamatannya saja. Pengikut Jogal sudah ada di berbagai kampung dan kecamatan lainnya. Di ibukota kabupaten juga sudah menyebar yang mengenal nama Jogal, walau belum pernah bertatapan langsung.
Bila pemerintah setempat kesulitan membebaskan tanah untuk pelebaran jalan, tenaga Jogal dipakai. Dengan sopan Jogal akan mengatakan,: "Maaf ya. tanah bapak/ibu terpaksa kita potong untuk pelebaran Jalan,. Ssya yang jamin, harga tanah bapak/ibu akan mengalami kenaikan."
Masyarakat tak berani mengatakan apa-apa. Benar setelah tanah mereka dipotong dan jalan dilebarkan dan diaspal, harga tanah langsung melambung. Bila ada pemotongan tanah untuk pelebaran jalan oleh pemerintah, rakyat tak bersedia. Panggil Jogal dulu. Kalau Jogal bilang tanah kami dipotong, kami bersedia, kata rakyat. Jogal pun akan datang turun tangan.
Bila politi kesulitan mencari seorang pembunuh atau penjahat besar, Pak Kmandan Pos Polisi cukup meminta tolong pada Jogal untuk mencarikannya. Biasanya tak sampai seminggu penjahat itu sudah sampai ke kantor pos polisi.
* * *
Malam itu, Jogal dibawa polisi ke rumah sakit dalam keadaan terkulai. Wajahnya pucat pasi, tatapannya kosong dan dia menggigil. Dia sudah setahun lebih dicari-cari polisi, karena terlibat perampokan sebuah bank di ibukota kabupaten. Jogal bnerlari dan bersembunyi di dalam hutan.
"Piye keadaan ne? Tarjo menanyakan seseorang yang beru keluar dari ICU. Bertanya secara berbisik, karean takut di dengar oleh petugas polisi yanhg berdiri dekat pintu ICU dengan senjata lengkap.
"mBuh. Ora ngerti aku," jawab yang ditanya atas ketidakmengertiannya. Tarjo pun menyuruh Ponimin masuk ke ruang ICU itu. Biasanya Ponimin, mampu memberikan keterangan setelah melihat secara langsung. Dengan menyamar sebagai saudara sepupu, Ponimin yang berpura-pura menangis sedih, diberikan izin olehpolisi yang menjaga. Ponimin pun masuk, melihat keadaan Jogal. Melihat keadaan itu, tangis pura-pura Ponimin, berubah menjadi tangis betulan.
Tak tahan menyaksikan penderitaan Jogal komandan sekaligus bos mereka, Ponimin keluar dengan airmata meleleh di pipinya. Ponimin menceritakan di sebuah warung saat mereka pualng ke kampung.
"Dia sudah dijarum gantung. Satu botol di tangan kiri dan satu botol di tangan kanan. Ada lagi botol kaca yang sengaja dibuat polisi untuk menyedot darah pak Bos," katanya menjelaksan berapi-api.
Ponimin membahasakan, menyedot darah, bukan menambah darah. Mereka yang mendengarkan keterangan Ponimin jadi marah. Darah mereka mendidih. Kok darah bos mereka harus disedot. Biar cepat matikah?
"Mereka harusmelakukan itu. Sebab bos kita kan tahan peluru, tahan tikam. Bahkan ditembak pakai meriam juga pasti tak mempan. Jadi cara untuk mematikan pak Bos, ya harus disedot darahnya," Ponimin mengagitasi.
Tarjo terkenang peristaiwa beberapa hari lalu, ketika dia disuruh ke kampung membeli obat demam di warung Bik Inah. Tarjo meninggalkannya, di dangau sawah. Ketika pulang, Tarjo sudah melihat Polisi mengepung tempat itu. Jogal dan dua pengikutnya tertangkap polisi dan dua orang lainnya berhasil melarikan diri dengan membawa uang rampokan. Jogal yang kondisi lemah, terpaksa menyerah, untuk dibawa polisi.
Satu malam, tak seorang pun yang tahu, kalau malaikat maut datang menghampiri Tarjo. Malaikat maut sudah bosan mau menjemput Jogal. Jogal tetap saja menolak untuk dijemput. Terpaksa malaikat maut mengutus rekannya yang sangat mungil dan genit, bernama aedes aegypti.
Ciiit...! Hanya beberapa detik saja. Dua hari kemudian tubuh Jogal demam tinggi dan demam itu naik-turun, sampai lemas dan tertangkap polisi.
* * *
Sore ini, ambulance meraung-raung memasuki kampung. Penduduk kampung tertunduk sedih. Pahlawan mereka Jogal terbujur kaku dalam ambulance. Seorang polisi yang masuk bertugas ke kawasan itu menurunkan jenazah Jogal dan menyerahkannya kepada keluarganya. Dengan sninis polisi itu bergumam dalam hatinya. Kau hanya seorang preman lontong.
Sibolga, Jan 2014.