Fatmin Prihatin Malau. MEMBACA puisi DI Tanah Kakmi Kau Jajah Kami, karya Ria Sitorus yang diterbitkan di halaman Ruang Budaya Analisa (Rebana 1), Minggu 13 April 2014 membuat saya maklum dan itu realita yang pernah saya rasakan hampir lima belas tahun. Realita itu sampai hari ini tetap menjadi realita sebelum dicarikan solusinya.
Puisi begitu universal dan sastra merupakan ilmu yang sangat terbuka, sehingga masuk pada semua sendi-sendi kehidupan manusia di dunia dan bahkan di akhirat. Puisi menjadi milik semua orang, milik orang yang punya hati nurani. Bagi yang pernah merasakan realita itu, puisi Ria Sitorus akan langsung maklum dan bagi yang tidak merasakan realita itu akan berimajinasi, tanah atau negara mana di dunia ini yang belum merdeka.
Puisi itu ditulis di Medan, Desember 2012. Tanah manakah yang masih terjajah itu? Ria Sitorus menulis puisinya, “kau berdiri gagah dan angkuh//di tanah kami – desa kecil bernama Sosor Ladang//” Bila dilihat dalam peta pemerintahan di Toba tidak ditemukan desa kecil bernama Sosor Ladang, karena dalam puisi itu Ria Sitorus, “kau hembuskan dari cerobong-cerobong setan-mu//pada nafas-nafas kehidupan toba//.”
Ria Sitorus, berarti Si Ria bermarga/boru Sitorus yang di Toba daerahnya di daerah Porsea. Siapakah kau yang menjajah di tanah kami, tanahnya Ria Sitorus? Puisinya dengan jelas menggambarkan aktivitas pabrik dan apakah pabrik itu yang menjajah?
Kau Jajah Kami dalam puisi itu adanya aktivitas pabrik yang merusak tanah. Membuat tanah tidak bisa memberikan kehidupan lagi bagi manusia. Tanah tempat manusia hidup di bumi Tuhan Yang Maha Esa ini dan semua isi bumi ini kembali ke asalnya, tanah. Hari Bumi setiap tahun diperingati pada 22 April. Di bumi yang ada dalam puisi Ria Sitorus beberapa tahun lalu, selalu diperingati Hari Bumi para pencinta lingkungan hidup dan mungkin tahun ini sepi.
Puisi Ria Sitorus adalah realita dan realita akan tetap menjadi realita sebelum dicarikan solusinya. Daerah bumi Tano (tanah) Batak akan terus terjajah oleh kau. Berdiri gagah dan angkuh dan daerah tanah-tanah lain di bumi ini juga akan dijajah oleh kau yang berdiri gagah dan angkuh. Sebagaimana puisi Tempat Aasl, karya Hidayat Banjar yang diterbitkan pada halaman Ruang Budaya Analisa (Rebana 1), Minggu 13 April 2014.
Bicara Bumi dan Manusia
Ada lima judul puisi dari tiga orang penyair yang terbit puisinya pada halaman Ruang Budaya Analisa (Rebana 1), Minggu 13 April 2014. Ria Sitorus puisi Di Tanah Kami Kau Jajah Kami dan Kau dan Aaku. Hidayat Banjar puisi Tempat Asal dan Riduan Situmorang puisi Paus Fransiskus 1 dan Berkelana deengan Harga.
Kelima puisi ini berbicara tentang bumi dan manusia, Ria Sitorus dengan kerusakan bumi di Toba dan menakutkan hujan asam dalam puisi Di Tanah Kami Kau Jajah Kami, menulis; “derita kemarau mengabarkan hujan asam//akan melanda – negeri kecil kami, toba//.”
Hujan asam dalam dunia pertanian sangat menakutkan, sebab dapat membunuh berbagai jenis tanaman karena pH tanah akan tinggi tingkat keasamannya. Butuh teknologi pertanian untuk menetralkan pH tanah. Hujan asam bukan saja akan membunuh tanaman, karena pH tanah tinggi keasamannya. Juga terjadi korosi atau tingkat karat yang tinggi pada bangunan/benda yang terbuat dari besi dan seng dan mengganggu pernafasan makhluk hidup, terutama manusia.
Pada hal hujan sangat dibutuhkan semua makhluk hidup, terutama manusia dan Ria Sitorus dalam puisinya Kau dan Aku bertutur, “hujan selalu bernyanyi merdu//nyanyikan rindu yang mendudu//.”
Tentunya hujan yang dibutuhkan manusia dan semua makhluk adalah hujan yang alami dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, bukan hujan yang terkontaminasi dengan berbagai elemin emisi beracun yang akan merusak tanah dengan segala yang ada di dalam dan di atasnya.
Semua makhluk hidup, termasuk manusia dan bahkan makhluk hidup yang sudah berubah bentuk masih mencintai tanah, bumi tempat asalnya. Hal ini dengan terang benderang Hidayat Banjar merekam dialog Si Perokok dengan Rokok dalam puisi Tempat Asal. Petikan dialog dalam puisi itu, “ketika akan diambilnya//rokok jatuh itu berkata//sabar tuan, isap saja yang sudah ada//nanti kau kotor, jawabnya//sebentar saja tuan aku ingin melepas rindu dengan bumi tempat asalku sebelum berubah wujud jadi asap setelah tuan isap, pinta rokok//.”
Pinta si Rokok ini luar biasa karena si Rokok makhluk hidup yang sudah berubah bentuk akan tetapi wujudnya masih bernama daun tembakau. Meskipun daun tembakau itu tidak lagi melekat pada tangkai batang tanaman tembakau, tetapi masih ingat bentuk dan asalnya dari tanaman tembakau yang tumbuh di tanah.
Secara botani di dalam ilmu pertanian, sel-sel dalam daun tembakau yang diracik dan dibalut dengan kertas bernama rokok itu masih sama meskipun sel-selnya sudah mati. Ketika ingin berubah wujud menjadi asap, maka si Rokok atau sel-sel daun tembakau yang sudah mati itu masih rindu dengan tanah tempatnya hidup.
Tempat asal semua makluk di bumi ini adalah tanah, Nabi Adam AS, manusia pertama di bumi ini berasal dari tanah, bukan saja daun tembakau tetapi semua makhluk hidup dan makhluk tidak hidup berasal dari tanah.
Pertanyaan penyair Ria Sitorus dalam judul puisinya Di Tanah Kami Kau Jajah Kami. Jawabnya ada juga dalam puisi itu, “kau berdiri gagah dan angkuh” kemudian disadarkan penyair Hidayat Banjar dengan pinta sebatang rokok, “aku ingin melepas rindu dengan bumi tempat asalku sebelum berubah wujud jadi asap setelah tuan isap”
Memeringati Hari Bumi setiap tahun pada 22 April sesungguhnya bukan sekadar peringatan, bukan sekadar serimonial, akan tetapi implementasinya. Jangan ada lagi kau berdiri gagah dan angkuh akan tetapi ingatlah akan pinta sebatang rokok sebelum dirinya berubah wujud menjadi asap.
Dua penyair ini berbicara tentang bumi. Tentang tanah dan tidak menyalahkan siapapun yang bersalah terhadap kerusakan tanah. Kerusakan bumi ini, memberikan penegasan, jangan ada lagi kau berdiri gagah dan angkuh serta meskipun sudah berubah bentuk. Tetap ingat selalu akan bumi, tanah tempat asal semua makhluk hidup dan makhluk tidak hidup. Ingat pula manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah.
Penulis Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, penikmat karya sastra