Medan, (Analisa). Prilaku sebagian masyarakat yang masih berpedoman pada “Wani Piro” (berapa uangnya) merupakan suatu pembodohan bagi masyarakat itu sendiri. Sehingga dengan istilah tersebut, sudah dapat dipastikan nilai jual harga diri masyarakat dapat diukur dengan uang.
"Masih banyak pola pikir masyarakat kita yang mengharapkan belas kasih seseorang. Ini bisa menjebak masyarakat itu sendiri, terutama pada saat menjelang Pemilihan Legislatif. Sebab, calon-calon anggota legislatif itu memanfaatkan keluguan masyarakat untuk membeli suaranya," jelas Ketua NGO Komite Peduli Keadilan Rakyat Indonesia (KPK RI) Sumut, Ferdinan Ghodang SE SH MH, kepada wartawan, Minggu (6/4)
Ghodang mejelaskan, istilah “Wani Piro” menjelang Pileg semakin ngetren di kalangan masyarakat kecil. Hal tersebut datang beriringan ketika salah satu calon legislatif melakukan sosialisasi atau kampanye, dengan embel-embel atau janji-janji, sehingga masyarakat menjadi ketagihan.
"Terbukti, ketika salah satu calon legislatif mengunjungi suatu daerah pemilihannya, dia sudah dihadang pertanyaan 'Wani Piro'. Nah, secara sistematis, masyarakat sudah dimanjakan oleh Wani Piro. Siapa lagi yang memanjakan masyarakat itu, kalau bukan Caleg beserta timnya," imbuh Wakil Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Kota Medan ini.
Oleh sebab itu, dirinya berupaya memberikan kesadaran politik kepada masyarakat, bahwa istilah “Wani Piro” itu berbahaya. Bisa dibayangkan, seorang caleg yang menggunakan politik uang untuk membeli suara rakyat itu, tentu mempunyai tujuan dan ambisi yang jelek. Seandainya dirinya menang, tentu 5 tahun ke depan, dia berupaya mengembalikan modalnya.
"Alhasil, caleg yang terpilih tersebut tidak akan bisa konsentrasi dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya, karena dia harus mengembalikan modal dan melunasi hutang-hutangnya yang sudah terpakai selama menjadi caleg," tandas mantan Walikota LIRA Medan, yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen Hubungan Antar Lembaga DPD PDI Perjuangan Sumut. (sug)