Ris Pasha. GUNUNG SINABUNG kalau dua minggu lalu, penulis meninjau buku antologi puisi tentang Gunung Toba yanbg meletus 74.000 tahun lalu, hingga terjadi Tao (Danau) Toba, kali ini Gunung Sinabung meletus.
Melihat judul buku ini, Gunung Sinabung terbngun dari tidur panjangnya. Menurut para geolog, Sinabung pernah meletus lebih dari seratus tahun lalu. Setelah itu dia tertidur pulas dibuai oleh mimpi-mimpi indahnya.
Masyarakat yang tinggal di sekelilingnya, ikut merasakan betapa nikmatnya mimpi indah Sinabung dengan hidup dan kehidupan mereka. Budaya yang tertanam di dalamnya, kesenian dan serta adat istiadatnya terbentuk oleh alam di sekitar Sinabung.
Ibarat manusia, bila kita personifikasikan, Sinabung terbangun dari tidur panjang dan mimpi indahnya. Saat dia terbangun, dia pun mengeliat. Dalam usianya yang demikian renta, dia pun terbatuk-batuk mengeluarkan abu panas dan lava merah darah dari batuknya itu.
Seniman dan budayawan, adalah saksi zaman. Kini jurnalis juga sudah mengikuti jejak para seniman-budayawan, sebagai saksi zaman, sejak berkembangnya warta-sastra. Artinya dalam reportasenya, wartawan juga sudah menuliskan laporannya seperti seniman sastra. Demikian juga dalam mewartakan foto, jurnalis juga sudah memakai bingkai (frame) seni-sastra. Semua berpijak pada frame.
Kalau film juga tak melepaskan frame sebagai pusat memandang, lukisan, tari, teater, juga sastra, memiliki frame-nya masing-masing. Dalam sebuah fram, karya seni bisa berbicara banyak. Sejuta kata, bisa disingkat dengan beberapa bait puisi. Sejuta kalimat bisa disingkat oleh beberapa gerak tari dan senirupa. Beberapa juta kalimat dan luasnya dunia, bisa disingkat oleh sebuah frame teater dan film. Semuanya memiliki estetika yang baik.
Ayi kita buka lembar demi lembar buku, Sinabung Bangun dari Tidur Panjang, yang karya fotonya dikumpulklan sendiri oleh pemotretnya Irsan Mulyadi. Sebuah gunung yang angkuh megah bernama Sinabung nun di belakang sana, dilatar depannya ada sebuah Geriten (tempat tulang b elulang, khas karo. Walau atap geriten tersebut sudah terbuat dari seng gaya genteng -tidak lagi dari ijuk- namun kita sudah diajak dan otak kita dipaksa mengerti, kalau kawasn itu adalah Karo. Di wilayah Karo itulah bertengger Sinabung. Tanpa teks, banyak orang sudah mengerti, kalau di belakang geriten itu adalah Sinabung, karena hanya di tanah Karo-lah ada geriten tempat tulang-belulang (tengkorak) manuysia sebagai penghormatan terhadap leluhur mereka. Apakah geriten itu di dalamnya ada tenghkorak manusia, bisa iya bisa tidak. Atau itu hanya sebuah temp;at berteduh dan arsitektur geriten saja. Kita melihat sebuah frame dengan komposisi letak yang cukup baik. Andai deiatas konvas lukisan, penulis juga akan membuat komposisi lukisan landscape seperti ini.
Irsan Mulyadi mulai mengelus-elus rasa pembaca buku, saat melihat foto kedua. Gumpalan debu vulkanik yang menggelora. Menggumpal, menerjang dan melanda kian kemari. Siapapun yanbg melihat ini, pasti dadanya ikut menggemuruh. Sebuah gelora revolusi debu vulkanik yang luar biasa ditangkap oleh sebuah lensa dengan memontum yang cukup baik. Irsan memang pintar memanfaatkan memontum itu. (foto Desa nDokum Siroga).
Ayo kita lihat halaman 7 dan halaman 8. Ada foto Mesjid (atau musalla) dengan bulan bintang di puncak atapnya yang berkubah. Ada salib berwarna merah dengan pintu merah pada gereja (kapel) bercat putih sedang di belakang gereja itu ada gumpalan debu vulkanik sedang bergelora.
Ketika melihat ke dua foto ini, di hati penulis, ada sesuatu yang amat menggetarkan. Coba lihat loadspeaker pada mesjid itu. Penulis merasakan foto ini diambil saat dzuhur. Coba rasakan debu yang menggelora di belakang mesjid, tapi terasa ada suara adzan dari loadspeaker. Pengeras suara itu sedang memanggil-manggil orang untuk menunaikan sholat. Allahuakbar... Alllahuakbaaaarrr... Gumpalan debu tak mampu membendung suara adzan.
Demikian juga salib merah dan pintu berwarna merah pada gereja. penulis ingat dalam Alkitab, kalau darah domba harus disapukan pada semua pintu orang beriman agar tidak terkena tulah pada zaman Nabi Musa. Tidak akan ada tulah dan bahaya apapun akan menerjang, jika semua pintu rumah sudah disapu dengan darah domba, karena semua tulah dan mara bahaya akan tersingkir. Demikian juga pada salib merah yang kecil sementara debu di belakang begitu kelihatan ganas. Semua pasti selamat, karena darah Yesus Kristus sudah menjadikan salib menjadi merah darah. Gereja mungil yang teduh dikejar debu vulkanik yang ganas dan buas.
Sejuta pendapat bisa kita dengar dari kedua foto yang sangat menarik ini. Sayangnya, kenapa foto gereja, demikian kecil?
Hanya ketiga foto ini yang bisa kutuliskan dari sekian foto yang ada dalam buku ini, karena sempitnya ruang untuk menuliskannya. Apa yang tertera dalam sebuah buku mungil ini, dia telah menjadi sebuah kesaksian abadi yang ditampilkan oleh seorang saksi zaman bernama Irsan Mulyadi kepada kita semua dan buku ini terasa sangat perlu untuk dikoleksi.