Antara Pemimpi dan Pemimpin

Oleh: Maratus Sholikhah. Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan beranggapan bahwa secara harfiyah perbedaan kata “Pemimpi” dan “Pemimpin” terletak pada huruf “n”. Jika didiskusikan lebih lanjut kedua kata ini sangat berelasi dengan visi calon-calon pemimpin negeri ini lima tahun kedepan. Semua Calon Presiden (Capres) bermimpi untuk memimpin negeri ini. Dengan harapan mampu menengahi masalah pilitik, ekonomi, budaya, kesehatan dan juga pendidikan di negeri yang tengah diambang keruntuhan ini. Semua orang pasti tidak akan pernah menolak jika semua yang bisa dicapai berawal dari mimpi. Karena saat seseorang berani bermimpi maka pasti ia sudah memiliki peta hidup yang lebih jelas.

Jika mengutip kata-kata dari Sukarno, “gantungkan mimpimu setinggi langit, maka saat engkau terjatuh akan berada di antara bintang-bintang”. Yang artinya, kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu hal jauh dari apa yang kita impikan sebelumnya. Tetapi ketika seseorang telah menjadi seorang pemimpi, maka kata pemimpin juga tidak akan pernah jauh dari dirinya. Karena mau tidak mau minimal ketika dia telah menjadi seorang pemimpi maka ia harus mampu memimpin dirinya sendiri. Mengenali dirinya untuk menuntaskan masalah yang ada dalam dirinya. Saat ia tidak mampu memimpin pribadinya maka jangan harap mimpi-mimpi yang ia bangun akan terealisasikan. Terlepas dari itu semua, kata “n” yang membedakan antara kata “pemimpi” dan “pemimpin” bermakna “nyali”. Dimana nyali ini bisa dimaknai sebagai keberanian. Saat pemimpin tidak memiliki keberanian untuk memimpin dirinya, maka ia hanya akan menjadi pemimpi yang ternina bobokkan oleh ketakutan.

Begitulah kurang lebih calon pemimpin negeri ini harus memulai strategi. Mereka harus menuntaskan ketakutan-ketakutan dan menggasak masalah-masalah yang ada dalam internal mereka untuk membangun negeri ini. Sederhananya, saat seseorang tidak mampu menuntaskan masalah internalnya bagaimana ia mampu memegang kendali eksternal? Ketika seseorang gagal memimpin pribadinya bagaimana ia mampu memimpin masyarakat pribumi? Saat pemimpin datang tidak memiliki nyali, dengan apa ia akan membangun negeri ini?

Kemerdekaan yang Termutasi

Kata “merdeka” telah di proklamasikan oleh Presiden pertama RI Soekarno di depan jutaan masyarakat Indonesia dan juga telah diakui dunia. Sayangnya, jika direfleksikan untuk dewasa ini kata merdeka sudah tidak berlaku untuk masyarakat pribumi. Karena faktanya, negeri kita tengah dijajah oleh orang yang terlahir dari dalam negerinya sendiri. Saat pagi kita membaca koran cetak ataupun menerima informasi melalui media elektronik, kita selalu disuguhkan dengan kasus korupsi di area kolom politik. Tidak jarang juga menjadi headline. Dari korupsi alat kesehatan, E-KTP, pajak sampai tugas proyek perbaikan jalan raya dan juga lain sebagainya. Lalu apa yang sebenarnya menjadi visi utama pemimpin (yang tersandung kasus korupsi) dulu saat mengajukan diri sebagai seorang pemimpin? Menyejahterakan rakyat ataukah hanya ingin menyejahterakan keluarga?

Mengangkat tangan untuk bermimpi menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara mudah. Secara gamblangnya mereka harus mempertanggung jawabkan pilihan mereka dan telah menyejahterakan internal keluarga terlebih dahulu sebelum menyatakan diri untuk siap mengayomi masyarakat. Para calon pemimpi yang ingin menjadi pemimpin negeri ini juga harus selalu terjaga (sadar) akan mimpinya. Minimal ia menjadikan visi (mimpinya) dulu untuk mengarahkan dirinya mengambil keputusan dalam bertindak di area pemerintahan. Sehingga, kecerobohan-kecorobohan akan ternetralisir dengan sendirinya.

Menyatukan Visi dan Misi

Mengaca pada realita yang terjadi saat hasil penghitungan hasil pemilihan legislatif beberapa minggu lalu, banyak sekali calon-calon legislatif mendadak memiliki gangguan jiwa saat atau gagal menjadi pemimpin tingkat daerah ataupun RI. Ada yang berteriak-teriak di jalan “kembalikan uang saya!”. Ketika mengetahui hal ini, hati penulis terasa miris sekali. Yang perlu dipertanyakan adalah, apa tujuannya mencalonkan diri memimpin negeri ini? Apakah hanya ingin menjadi pengusaha dengan membeli kekuasaan? Dan yang perlu dijadikan pelajaran untuk pilpres bulan Juli depan adalah, ketika belum menjabat sebagai pemimpin saja sudah menggunakan jalan yang tidak baik (money politik) lalu bagaimana saat ia menjadi pemimpin? Bukan fokus menyejahterakan rakyat, tetapi bisa jadi malah fokus untuk mengembalikan modalnya tatkala berorasi. Beruntung sekali saat pemilihan legislatif Tuhan masih melindungi negeri ini, sehingga orang-orang yang tidak murni bermimpi menjadi pemimpin telah ditumbangkan sebelum kejayaannya terperoleh.

Rasionalnya visi para calon legislatif dulu (dan pembelajaran untuk calon presiden mendatang) yang diusung oleh partai politik ataupun independen pastinya sama. Yaitu ingin mengubah Indonesia menjadi lebih baik dari berbagai sektor. Baik dari segi pendidikan, kesehatan ataupun ekonomi pastinya ingin disetarakan. Saat mimpi mereka yang ingin memimpin negeri ini belum bisa terealisasikan, alangkah akan lebih cepatnya negeri ini bangkit dari kegalauan saat kebersamaan dibangun. Seperti yang dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pada acara Opening Ceremony & Talkshow  festival Astrofotografi di JX Internasional Convention Hall Surabaya Sabtu 26 Maret kemarin bahwa, nilai suatu kebersamaan itu sangat luar biasa. Dampaknyapun akan ikut dirasakan dunia.

Jadi atau tidaknya menjadi seorang pemimpin bukanlah persoalan yang penting untuk Republik ini. Dan ketika sudah berhasil merealitakan mimpi jangan lupa untuk memimpin negeri. Tetapi yang paling penting adalah apa yang bisa disumbangkan untuk membangun negeri tercinta kita ini. Jika mimpi menjadi pemimpin negeri ini adalah untuk membangun Indonesia yang baru, maka saat ia gagal menjadi pemimpin, pasti ia akan menggunakan nyalinya untuk memperbaiki Indonesia dengan cara yang lain. Menjadi Capres ataupun Cawapres bukanlah jalan satu-satunya untuk memperbaiki Indonesia. Jika semua orang baik Indonesia ingin menjadikan Indonesia lebih baik, bukan hal yang buruk jika mereka menyatukan langkah untuk memulainya. Walaupun misi yang dimiliki berbeda, pastinya visi kita tetaplah sama. Memperbaiki Indonesia. Merdeka! ***

Penulis adalah mahasiswi jurusan teologi dan pemikiran Islam Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya dan aktivis Laskar

()

Baca Juga

Rekomendasi