Oleh: Fatimahhakki Salsabela M. TIGA tahun lalu, penulis mengikuti Ujian Nasional (UN) dan ketika usai mengikuti UN, penulis dengan semua teman satu kelas, satu sekolah tidak ada seorang pun yang melakukan aksi corat-coret baju seragam sekolah. Tak ada masalah, tak ada yang kurang, berjalan perasaan lega karena telah selesai mengikuti UN dan berdoa semoga berhasil dengan nilai yang baik. Hanya itu yang dilakukan ketika usai mengikuti UN.
Aksi corat-coret baju seragam sekolah usai mengikuti UN sudah seperti keharusan, tren di kalangan para siswa-siswi yang baru selesai mengikuti UN. Kabarnya aksi corat-coret baju seragam sekolah ini telah ada sejak zaman Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) sampai kini zaman Ujian Nasional (UN).
Aksi corat-coret baju seragam sekolah sudah ada pada tahun 80-an dan terus turun temurun yang sampai hari ini belum diperoleh apa manfaat dari aksi corat-coret baju seragam itu. Belum ada data penelitian yang menunjukkan manfaatnya. Sebaliknya, aksi itu jelas merugikan, baju yang dicorat-coret tak bisa dipakai lagi untuk baju seragam sekolah. Bila tak dicorat-coret tentunya bisa dipakai orang lain sebagai baju seragam sekolah, hanya mengganti papan nama di baju sudah bisa dipergunakan.
Baju seragam sekolah penulis dan teman-teman tidak dicorat-coret waktu itu diberikan kepada orang yang membutuhkan. Boleh jadi dipergunakan orang yang membutuhkan itu, jelas bermanfaat. Sementara baju seragam yang sudah dicorat-coret itu apa ada manfaatnya?
Kata sebagian siswa-siswi, melakukan aksi coret-coret baju seragam dan membubuhi dengan tanda tangan para teman merupakan wujud kebahagiaan. Di mana bahagianya? Sementara banyak yang tak mengetahui asal muasal adanya aksi corat-coret baju seragam sekolah itu. Banyak yang tidak mengetahui maknanya akan tetapi ikut aksi karena sudah menjadi tradisi, yang penting jangan dibilang tidak gaul maka ikut-ikutan corat-coret baju seragam sekolah.
Bila memang ikut-ikutan saja, sama artinya tak punya pendirian, sama dengan tidak memiliki kepribadian dan akhirnya remaja atau pelajar seperti ini tak punya jati diri, tak bisa percaya diri dengan dirinya sendiri.
Aksi corat-coret baju seragam sekolah seusai mengikuti UN katanya mengekspresikan kegembiraan? Di mana gembiranya? Apa yang menyebabkan gembira? Tak jelas karena ketika usai mengikuti UN sudah pasti hasil dari UN belum diketahui, berapa nilai UN yang diperoleh. Mendapat nilai UN bagus atau buruk, lulus atau tak lulus UN, semuanya belum diketahui maka apa dasarnya bergembira usai mengikuti UN? Seharusnya usai mengikuti UN adalah berdoa semoga mendapat nilai yang baik dan lulus.
Merugikan diri sendiri dan orang lain
Aksi corat-coret baju seragam sekolah menyenangkan secara semu, tak jelas karena tidak ada atau belum ada yang berhasil. Kegembiraan semu ini perlu dikaji ulang, buat apa kegembiraan semu yang sudah pasti tak ada manfaatnya. Keberhasilan yang belum jelas, kegembiraan semu dirayakan dengan euforia coret-coret baju seragam sekolah. Banyak di antara mereka suka wajah, tubuh hingga rambutnya dicoretin dengan cat pilox. Tak jadi soal, katanya senang. Apanya yang senang? Bagaimana kalau nanti pengumuman hasil UN tak lulus atau nilainya tidak baik?
Sedangkan lulus UN, masih belum berhasil karena lulus UN, lulus SMA tidak mudah masuk perguruan tinggi. Namun, semua itu tak dipikirkan, hanya menikmati kegembiraan semu. Bila ditanya apa yang mereka cari dengan aksi corat-coret baju seragam sekolah itu, jawabannya tak ada yang jelas dan tegas. Semuanya tak jelas dan bahkan ada yang mengaku aksi coret-coret itu hanya ikut-ikutan saja, ada yang bilang untuk bentuk melampiaskan kekesalan selama sekolah yang dinilainya mengekang kebebasan maka usai mengikuti UN itu dijadikannya sebagai sebuah kebebasan.
Dari sikap para remaja atau pelajar ini jelas apa yang mereka lakukan adalah kegembiraan semu yang merugikan diri mereka sendiri dan juga masyarakat sekitar karena aksi corat-coret itu dilakukan di tempat umum, dilanjutkan dengan konvoi mengendarai sepeda motor dan mobil yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas yang sudah pasti membahayakan diri para siswa-siswi itu dan pengguna jalan lainnya.
Aksi corat-coret baju seragam sekolah ini lebih banyak mudaratnya atau tidak baiknya daripada baiknya, maka aksi itu bukan budaya pelajar yang terpelajar. Seharusnya budaya para pelajar itu adalah budaya yang terpelajar sebagaimana makna dari budaya itu sendiri yakni sangat berkaitan erat dengan akhlak, tingkah laku, perilaku.
Hal ini sesuai dengan arti budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pikiran; akal budi. Sedangkan kebudayaan artinya hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, adat istiadat, kesenian atau antara keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Jelaslah bahwa aksi corat-coret baju seragam sekolah oleh para siswa SMP dan SMA seusai UN tak sesuai dengan budaya dan lebih tak sesuai lagi dengan norma atau nilai-nilai agama yang mengajarkan kecerdasan, kesederhanaan, kepedulian dengan sesama manusia. Corat-coret itu hanya kegembiraan semu sesaat yang bisa menyesatkan, maka itu buat apa dilakukan kegembiraan semu? Percuma saja, kan?
* April 2014
* Penulis, mantan siswi SMA Plus Al Azhar Medan, kini mahasiswi Fakultas Psikologi UMA