Renungan HUT Bidan, 24 Juni 2014

Peran Bidan Desa bagi Masyarakat Desa

Oleh: Rosmalum. Bagi masyarakat desa, peran dan keberadaan bidan desa sangatlah besar. Manakala terjadi hal-hal buruk menyangkut kesehatan masyarakat desa, maka pihak pertama yang memberikan pertolongan adalah bidan desa. Maklum, umumnya rumah sakit atau puskesmas tidak selalu tersedia di desa. Namun sering juga muncul kasus bidan desa tidak berada di tempat.

Meski sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil, mendapatkan tunjangan daerah, hingga fasilitas rumah dinas, di beberapa kasus sang bidan malah memilih tinggal di desa lain. Berbagai alasan mereka kemukakan soal keengganan tinggal di rumah dinas yang ada di tempat dia bertugas. Mulai dari alasan hanya tinggal sendiri, hingga desa tempat mereka bertugas jauh dari ‘peradaban’.

Keengganan beberapa oknum bidan desa tinggal di wilayah tugasnya, membuat warga geram. Pasalnya, hanya sang bidanlah tempat mereka bergantung saat terjadi masalah darurat kesehatan. Bidan desa yang tinggal di tempat mereka seperti ‘dewa penolong’. Tak hanya untuk memberikan layanan kesehatan kepada ibu dan bayi, terkadang juga diminta memberikan pengobatan untuk berbagai penyakit umum. Tapi, apalah jadinya kalau bidan yang diharapkan bisa menyembuhkan berbagai penyakit tersebut tidak tinggal 24 jam di tempat mereka. Alternatifnya, tentu warga akan mencari bidan terdekat dari kampung mereka.

Masalah tentu tak semudah itu, pindah ke bidan di desa tetangga. Akses jalan menuju desa tetangga jangan disamakan dengan jalan di kota yang bisa dilewati secara mudah. Jalan rusak, jembatan penghubung tak layak dilalui mobil, hingga tak adanya penerangan jalan, menjadi masalah umum di desa-desa pelosok. Wajar, untuk menempuh perjalanan ke desa tetangga yang hanya beberapa kilometer diperlukan waktu hingga beberapa jam. Belum lagi kondisi jalan yang tidak layak, membuat ibu hamil atau orang sakit yang dibawa menjadi lebih merasa kesakitan.

Wajar kalau pasien seperti kasus melahirkan sebelum mendapat pertolongan bidan desa tetangga. Saat kasus seperti ini terjadi, siapa yang patut disalahkan? Jawabannya bisa kepada bidan desa yang meninggalkan tempat kerjanya. Namun bisa juga kepada pemerintah setempat yang tak tanggap memperbaiki fasilitas jalan penghubung antardesa.

Kasus yang terjadi seperti itu bukan tanpa sebab. Misalkan andai desa tempat warga tinggal bukan masuk kategori tertinggal, tentu sang bidan tak akan meninggalkan tempat kerjanya. Dan orang-orang seperti mereka yang tinggal di pelosok bisa nyaman mendapat layanan kesehatan. Tak perlu memvonis bidan desa atau bidan di desa tetangganya bersalah. Musibah yang menimpa ibu-ibu melahirkan di desa tidak berdiri sendiri. Beberapa faktor yang ada di desa tersebut bisa turut disalahkan.

Fasilitas

Sebut saja fasilitas bagi bidan desa yang bertugas di sana. Kelengkapan dan suasana kampung yang mungkin tak akrab bagi bidan tersebut, membuat dia lebih memilih pulang ke tempat lain. Juga fasilitas jalan penghubung antardesa bisa menjadi penyebab musibah itu.

Andai jalan penghubung desa layak dilewati mobil, seorang ibu yang akan melahirkan atau seseorang yang sakit bisa cepat mendapat pertolongan dari bidan desa tetangga. Warga yang diangkut menggunakan mobil bak terbuka pun, tak perlu merasakan kesakitan saat mobil melalui jalan desanya. Bidan di desa tentangga juga tak perlu menunggu lama seorang pasien tiba di rumahnya.

Kasus-kasus seperti tersebut diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi para pengambil kebijakan agar segera memberikan kemudahan bagi semua pihak, baik bidan, ibu hamil, hingga warga yang memerlukan layanan kesehatan.

Sejak tahun 1989 kebijakan penempatan bidan di desa merupakan upaya terobosan Departemen Kesehatan untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Melalui kebijakan tersebut, sampai tahun 2006 sudah sekitar 40.000 bidan bertugas di desa yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Keadaan ini menempatkan bidan di desa sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu, neonatal, bayi dan anak balita.

Namun demikian, kualitas pelayanan yang diberikan oleh bidan di desa masih perlu ditingkatkan. Bidan di desa membutuhkan pembinaan, baik secara klinis profesi bidan maupun dalam hal manajemen program KIA agar dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan standar.

Bidan baik yang bertugas di desa maupun di puskesmas memiliki kemampuan dan keterampilan yang bervariasi, sehingga menjadi beban kerja tersendiri dalam pembinaannya. Oleh karena itu diperlukan adanya tenaga khusus dalam pembinaan bidan di desa, di puskesmas , bidan praktek swasta maupun bidan yang bekerja di Rumah Bersalin (RB) yang selanjutnya disebut bidan koordinator (Bikor). Selain itu, Bikor juga berfungsi membantu pengelola program KIA dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya baik di tingkat puskesmas maupun Dinas Kesehatan kabupaten/kota.

Bila dikaji secara umum, maka ada beberapa tugas pokok bisa, yaitu melaksanakan asuhan kebidanan kepada ibu hamil (antenatal care), melakukan asuhan persalinan fisiologis kepada ibu bersalin (postnatal care), menyelenggarakan pelayanan terhadap bayi baru lahir (kunjungan neonatal care), mengupayakan kerjasama kemitraan dengan dukun bersalin di wilayah kerja puskesmas, memberikan edukasi melalui penyuluhan kesehatan reproduksi dan kebidanan, melaksanakan pelayanan keluarga berencana ( KB ) kepada wanita usia subur, melakukan pelacakan dan pelayanan rujukan kepada ibu hamil resiko tinggi, mengupayakan diskusi Audit Maternal Perinatal (AMP) bila ada kasus kematian ibu dan bayi serta melaksanakan mekanisme pencatatan dan pelaporan terpadu.

Para bidan diharapkan mampu melakukan dan memanfaatkan pertemuan berkala di puskesmas bersama bidan di desa sebagai sarana pembinaan dan penyampaian informasi dua arah. Pertemuan ini sebaiknya dihadiri oleh Kepala Puskesmas, pengelola program KIA dan petugas program terkait lainnya. Bahkan pada waktu tertentu sebaiknya mengundang pengelola program KIA dan Bikor Kabupaten / Kota.

Pertemuan ini harus mempunyai agenda dengan tujuan yang jelas, merekam seluruh proses dan kesepakatan yang dicapai serta mempunyai langkah tindak lanjut yang jelas dengan penanggung jawab dan target waktu pencapaian. Dengan demikian pertemuan berkala di puskesmas ini akan memberi manfaat bagi kemajuan program para bidan.

Pada akhirnya kita berharap fasilitas yang baik di tiap desa dapat mencegah terjadinya kasus keterlambatan dalam menangani pasien. Jangan malah mencari kambing hitam saat kasus serupa terjadi. Mencegah memang lebih baik daripada mengobati. Namun, apabila akses untuk mendapatkan layanan pengobatan diperbaiki, tentu semua akan merasakan manfaatnya.***

Penulis, pernah menjadi seorang bidan desa.

()

Baca Juga

Rekomendasi