Agung Suharyanto. JAVID NAMAH, Ziarah Abadi (Asrari Khudi) adalah karya porsa liris Allamah Muhammad Iqbal. Seorang Penyair dan Bapak Bangsa Pakistan. Dia sang penyair, juga seorang filosof Pakistan. Dia menggambarkan pencarian jati dirinya dalam tiga babak. Panteisme Platonis, creator of values dan perjalanan spiritual imaginer dengan Rumi.
Tanaka Manalu, sedemikian terinspirasi dari karya tersebut. Sebuah karya musik kontemporer dalam format komposisi musik Barat dengan judul sama. Tanaka Manalu juga menggambarkannya dalam tiga babak, Titik Koma (Javid Nama III), Life Time Memories (Javid Nama II), dan Tu Udean (Javid Nama I).
Tanaka mulai berkecimpung dalam dunia musik sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, berproses dalam dunia musik gereja. Selanjutnya mengukuhkan minat musiknya di universitas HKBP Nommensen Medan dan. Selesai pada tahun 2010 dengan Minat Bidang Musik Study Komposisi. Program Magister Seni diselesaikannya tahun 2012 di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sekarang aktif sebagai staf pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas HKBP Nommensen dan Sekolah Tinggi Theologi Pelita Kebenaran Medan.
Dua tahun kemudian, Tanaka Manalu mempersembahkan karya musik kontemporer “Trilogy Javid Nama” yang tersaji di antara beberapa karya musik lainnya di Taman Budaya Sumatera Utara. Karya “Trilogy Javid Nama” memang tidak tersaji utuh dalam satu garis linear yang bisa sekaligus dinikmati secara berkesinambungan di Taman Budaya Sumatera Utara. Satu karya pada hari pertama 26 Juni di Panggung Terbuka dan 2 karya pada hari kedua 27 Juni 2014 di Auditorium. Selama 2 hari pertunjukan dan sehari sarasehan (26-28 Juni 2014). Tergelar beberapa karya musik dan pemusik juga mendukung event “Seremonialita Javid Nama (Ziarah Abadi) Tanaka Namalu”.
Saya berusaha mencoba menyambung, menarik benang merah dan membahasnya dalam inspirasi dan ide penggarapan “Trilogy Javid Nama” karya Tanaka Manalu. Ada kesulitan dan kenikmatan tersendiri, karena trilogynya tidak dalam satu kesatuan utuh, akan tetapi terpisah-pisah di hari yang berbeda. Ditambah lagi dengan tidak adanya booklet pertunjukan sebagai sebuah buku panduan pertunjukan. Sepertinya membuat saya dan mungkin juga audience dibebaskan untuk menikmati dan meraba-raba sendiri sajian pertunjukan.
Musik Kontemporer
Istilah musik kontemporer memang sedemikian universal dan sedemikian bebas. Kebebasan mengartikannya, seringkali diterjemahkan menjadi “musik baru” atau “musik masa kini”. Hal ini justru membuat persepsi yang bebas juga dan cenderung ngawur.
Jenis musik apapun yang dibuat pada saat sekarang, dapat disebut sebagai musik kontemporer. Jika digali kembali, istilah kontemporer yang ada pada kata musik itu, tidaklah mengartikan tentang jenis (genre), aliran atau gaya musik. Kontemporer itu sifatnya lebih kepada cara pandang dan sikap sang senimannya yang berisi konsep karya musiknya itu memiliki nilai-nilai kekinian.
Nilai-nilai kekinian, yang berada pada karya tersebut, tidak saja hanya asal kontemporer, tapi memuat referensi, intelektualitas dan tentu saja historis. Apabila sang pekarya maupun sang penikmat kurang atau bahkan tidak memilikinya, maka akan sedemikian rumit untuk mengapresiasi musik kontemporer. Dengan memilikinya, paling tidak hal tersebut menjadi sebuah modal yang berharga dalam berkreasi, mengapresiasi dan memahami aspek kekinian/kebaruannya.
Jika dilihat dari musik kontemporer itu memuat referensi, intelektualitas dan historis, maka akan lebih dekat dengan perwujudan ekspresi individual. Sampai dimana seniman sebagai seorang yang sngat individual dalam memahami kehidupan yang diekspresikan dalam musik. Melalui pendekatan karya musiknya, rasanya bisa menjadi salah satu untuk memahami karya musik secara kompositoris sekaligus sosok senimannya secara individual. Ada beberapa yang menyebutkan, justru karena tuntunan ekspresi individual para seniman-lah, fenomena musik kontemporer muncul ke permukaan.
Trilogy Javid Nama Tanaka Manalu
Tidak heran, ketika seorang Tanaka, menginterpretasikan sebuah karya prosa liris Javid Nama milik Muhammad Iqbal, secara individual melalui medium musik. Ada keunikan tersendiri jika mendengar karyanya, seperti diombang-ambingkan dalam suasana yang luas tak terhingga. Alunan nada-nada yang terkadang tidak dia bangun secara harmonis, tapi membawa kita pada suasana meditative bahkan terkadang bergejolak. Pilihan alunan musik yang tersusun kontradiktif dan distorsif, walaupun terkadang menjemukan juga, akan tetapi membuat dinamika tersendiri.
Muhammad Iqbal pada Trilogy I Javid Nama, mengungkapkan sebuah perjalanan hidup pada taraf pencarian jati diri. Pencarian jati diri melalui ‘bersemadi’ dengan alam semesta atau dalam istilah beliau adalah panteisme platonis. Tanaka Manalu mewujudkannya dalam karya musik yang berjudul Titik Koma (Javid Nama III). Sebuah awal dari perjalanan Ziarah Abadi dengan format musik brass dan perkusi. Merupakan salah satu titik dalam kehidupan dan koma sebagai penghubung akan satu titik dengan titik lainnya.
Segala perbedaan ruang dan waktu yang berbeda tapi Tanaka mempunyai keyakinan tersendiri. Bahwa waktu yang berbeda sebenarnya sama di hadapan sebuah kuasa.
Trilogy II Javid Nama dari Muhammad Iqbal, saat dia studi ke Heidelberg, Jerman. Nietzche berpengaruh kuat dalam dirinya. Di tahap kedua ini, mulai mendapat penguatan jati dirinya, untuk menjadi ‘creator of values’. Tanaka Manalu menerjemahkannya dengan judul Life Time Memories (Javid Nama II), dengan instrument Violin dan Piano.
Karya komposisi dengan instrumen Violin dan Piano ini, menginterpretasikan sebuah siklus perjalanan dalam ruang dan waktu yang berbeda di dalam perjalanan hidup. Bentuk Tema dan variasi adalah penggambaran tentang sebuah pilihan dan hidup adalah pilihan. Segala sesuatu apa pun itu ada masanya ‘ada kalanya kita diijinkan untuk dipertemukan dengan sesuatu atau hal yang salah sebelum kita dipertemukan dengan sesuatu atau hal yang tepat, sebagai pembelajaran dalam hidup. Violin dan piano pada karya ini, mempunyai fungsi yang sama sebagai dua hal berbeda. Berusaha menyatu dalam ruang lingkup yang berbeda.
Trilogy III Javid Nama dari Muhammad Iqbal adalah sebagai tahap terakhir, sejak pulang dari Jerman dan bergulat dengan kondisi politik di anak benua India. Di tahap ini, Muhammad Iqbal secara imaginer mengangkat Jalaludin Rumi dari Persia sebagai guru spiritualnya.
Padahal Jalaludin Rumi sudah meninggal ratusan tahun lalu, akan tetapi dalam spiritual dia, hal ini terjadi.
Untuk mengenang Rumi, pada prosa lirik ‘Javid Nama’, belaiau gambarkan seluruh perjalanan spiritualnya dengan Rumi. Tu Udean (Javid Nama I), Tanaka Manalu meginterpretasikannya, segala sesuatu dalam kenangan, sebuah ingatan terhadap peristiwa, pribadi, ataupun hal-hal yang lain. Tu Udean mempunyai arti ke makam. Setiap kita pasti akan berangkat ke tempat ini untuk mendapat gelar terakhir dan menjadi sebuah kenangan.
Sebuah Ziarah Abadi oleh Tanaka Manalu, dengan penggarapan musik kontemporer, Format Komposisi Orchestra Musik Barat didukung oleh ensemble string, brass dan perkusion. Karena itu, semua pemusik dengan cermat dan konsentrasi memainkannya dengan membaca notasi dan mengikuti arahan Tanaka Manalu sebagai dirigen.
Pada proses latihannya, dialog antara pemain dan pengkarya dengan tanpa beban untuk berkomunikasi. Pemain musik bisa bebas menginterpretasikan permainan alat instrumennya, tapi tetap mengikuti arahan dan dalam koridor sang creator.
Kesuksesan event “Seremonialita Javid Nama (Ziarah Abadi) Tanaka Namalu” adalah atas usaha Tanaka Manalu dan juga berkat kerja keras tanpa kenal lelah dari tim produksi serta pendukungnya. Sebagai pengajar musik dan tanggung jawabnya sebagai seorang seniman di dunia kesenian Medan, Tanaka Manalu berkeyakinan, hari ini (menjadi) lebih berwarna dan teraih. Sebuah usaha dan cita-cita positif bagi perkembangan dunia musik di Medan, agar lebih berwarna dan bergairah. Perlu didukung dan dijadikan semangat bagi pemusik muda yang lain untuk berbuat…
Penulis Pemerhati Seni dan Budaya yang berdomisili di Medan