Dr. Agus Priyatno, MSn. Penulis bertemu dan berbincang dengan A. D. Pirous beberapa kali di rumahnya di Bandung. Pada tahun 1998, ketika itu sedang marak-maraknya demonstrasi mahasiswa menentang penguasa Orde Baru. Hiruk-pikuk aksi demonstrasi memadati jalan-jalan dan kampus-kampus di seluruh Indonesia.
Kampus tempat penulis studi, setiap hari ramai dengan aksi demonstrasi para mahasiswa. Penulis studi senirupa di Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Dalam suasana hingar-bingar aksi demonstrasi itulah penulis berbincang tentang seni dengan seniman tersebut.
Dari perbincangan dengan A. D. Pirous, penulis mendapatkan gambaran tentang perkembangan senirupa Islam di Indonesia, juga tentang sosok pribadi seniman tersebut. A. D. Pirous bernama lengkap Abdul Djalil Pirous, putera Sumatera kelahiran Meulaboh Aceh 11 Maret 1932. Kesan yang muncul dari sosoknya adalah semangat, smart, religius, santun, dan suka humor.
Dalam sebuah perbincangan, Pirous menjelaskan tentang isi Quran. Dia menyatakan, Tuhan menjelaskan sifat-sifat-Nya dalam Quran. Surat Ikhlas, menurutnya adalah surat yang sangat utama. Dalam surat ini dijelaskan tentang ke-Esaan Tuhan. Pirous menyatakan, surat Ikhlas adalah “jantungnya” Quran.
Pirous seorang seniman sekaligus akademisi cemerlang. Setelah menyelesaikan studi di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, sejak tahun 1970 mengajar di almamaternya. Pirous memperdalam ilmunya pada bidang yang sama di Rochester Institute of Technology New York Amerika Serikat. Kariernya sebagai akademisi termasuk sukses. Dia seorang Guru Besar di bidang keilmuannya serta pernah menjabat sebagai Dekan di almamaternya.
Sebagai seniman, Pirous dikenal sebagai trendsetter senilukis kalligrafi modern di Indonesia. Karya-karyanya memberi pengaruh terhadap perkembangan senilukis kaligrafi modern pada seniman generasi berikutnya. Pirous menjadi kreator senilukis kaligrafi setelah perjalannya di Amerika Serikat. Dia terpesona menyaksikan keagungan karya seni Islam di sebuah museum di negeri adidaya itu. Setelah kembali ke Indonesia, Pirous menciptakan lukisan-lukisan kaligrafi sebagai media ekspresi seninya.
Bagi Pirous seni adalah catatan spiritual. Dalam suatu pameran dia pernah membuat sebuah tulisan, bahwa karya-karyanya bukan dakwah. Dia tidak sedang mengkampanyekan sebuah agama. Dia sekedar membuat karya seni. Apa yang terlihat pada karya-karyanya adalah lukisan catatan spriritual.
Lukisan-lukisan kreasi Pirous unik, berupa kombinasi corak abstrak dengan kaligrafi. Ada tekstur tebal dan tipis, kontur, pembagian bidang geometris, struktur warna harmonis dan kaligrafi Arab berupa ayat-ayat dari Kitab Suci Quran. Corak kaligrafinya di luar tulisan baku, dia mengkreasikan sendiri bentuk-bentuk hurufnya. Ada juga lelehan berwarna kuning emas sebagai unsur keindahan lukisan.
Pirous pun dianggap sebagai pelopor senilukis kaligrafi modern di Indonesia. Pirous dengan rendah hati menyatakan, seniman yang mengawali senilukis kaligrafi sebagai ekspresi senilukis modern adalah Ahmad Sadali, juga seorang pengajar di ITB.
Pada tahun 1969 Ahmad Sadali mulai memasukkan kaligrafi pada kreasi-kreasinya. Tahun 1970an lukisan kaligrafi modern berkembang semakin marak.
Pirous lebih jauh menjelaskan, senilukis yang bernuansa keislaman di Indonesia mencapai puncaknya pada saat Festival Istiqlal yang berlangsung selama satu bulan di Jakarta tahun 1991. Pameran lukisan yang berlangsung selama festival ini dihadiri oleh sekitar 7 juta pengunjung. Pameran yang dirancang para pakar seni dari Institut Teknologi Bandung dimuat di majalah internasional The Arts in Islamic World terbitan London sebanyak 16 halaman.
Pirous seorang seniman sekaligus akademisi, dia berkesenian tetapi juga berpikir dan bertindak akademis. Pirous juga berupaya mengembangkan senirupa Islam di negerinya. Seorang akademisi yang berpikir tentang kemajuan bangsanya, terutama dalam bidang seni lukis.
Penulis dosen pendidikan seni rupa FBS Unimed dan Pengelola Pusat Dokumentasi Seni Rupa Sumatera Utara.