Oleh: Erond L. Damanik. Secara historis, sejumlah destinasi wisata seperti Brastagi, Parapat dan Nias di Sumatera Utara telah digarap dengan serius ke mancanegara di era Belanda yakni sejak tahun 1927. Promosi wisata Sumatera Utara dilakukan setelah promosi wisata Pulau Bali tahun 1923 sukses dipopulerkan ke mancanegara dengan mendatangkan sejumlah turis ke Bali.
Pada awalnya, wisata Bali dirintis sejak tahun 1914 dengan mendirikan Vereeniging Toeristenverkeer in Netherland Indie (Official Tourist Bureau) di Bali. Hingga kini, Bali tetap menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dan domestik. Namun, entah mengapa, dibanding dengan Pulau Bali, kepariwisataan di Sumatera Utara sejak tahun 1942 justru terus merosot hingga saat ini. Bahkan, wisatawan mancanegara sudah sangat jarang berkunjung ke Parapat, Nias maupun Brastagi. Jika pun ada, jumlahnya sangat kecil.
Berbeda dengan Pulau Bali, dimana kepariwisataan di pulau Dewata tersebut semakin berkembang dan ramai di kunjungi oleh turis mancanegara. Kini, Bali tidak hanya dikenal oleh Indonesia saja, tetapi justru hampir seluruh masyarakat dunia telah mengenal Bali. Sejumlah bintang film Hollywood bahkan pemain bola internasional telah berkunjung ke Bali. Tidak hanya itu, beberapa even internasional telah di gelar di Bali seperti SSEASR Conference, KTT APEC, Miss World, dan lain-lain. Bahkan tidak sedikit kepala negara telah berkunjung ke Bali. Singkatnya, Bali telah berhasil menjadi destinasi MICE (meeting, incentive, conference and exhibition) di Indonesia dan dunia yang sangat paradoks dengan Sumatera Utara.
A Beautiful Detour: For Your Next Vacation Trip
Upaya promosi wisata Sumatera Utara pertama-tama dilakukan oleh Vereeniging Toeristenverkeer in Netherland Indie sejak tahun 1919 dengan melakukan pameran kolonial (exposition coloniale) dengan menampilkan tarian dan artefak budaya masyarakat Sumatera Utara seperti Karo, Toba dan Simalungun di Batavia. Kemudian dilanjutkan dengan promosi keindahan alam yang terdapat dibeberapa kawasan di Sumatera Utara. Promosi wisata kawasan ini secara serius mulai dilakukan sejak tahun 1927 oleh KPM Line, yaitu perusahaan pelayaran dan perjalanan milik kerajaan Belanda.
Langkah promosi tersebut terlihat pada sebuah iklan promosi yang diterbitkan tahun 1935 yang menggambarkan akses dan destinasi wisata di pulau Sumatera. Daerah yang dipromosikan adalah Medan, Brastagi, Parapat, Nias dan Padang yang disebut dengan: A Beautiful Detour: For Your Next Vacation Trip. Pada iklan tersebut tampak rute menuju Sumatera Utara dan Padang yang dapat ditempuh dengan kapal laut dari Eropa melalui selat Malaka langsung ke Belawan. Ataupun dengan pesawat udara dari Eropa dan Penang maupun Singapore ke Medan. Kemudian, rute lainnya adalah dari Batavia (Jakarta) dengan mengunjungi Bengkulu, terus ke Bukit Tinggi (Padang highlands) dan selanjutnya ke Nias, Parapat, Brastagi dan Medan.
Promosi wisata di era kolonial ini cenderung mempromosikan keindahan alam (natural tourism) maupun keunikan budaya (culture uniqly) yang terdapat di beberapa kawasan yang dijadikan sebagai destinasi wisata. Brastagi misalnya, mendapat porsi besar dalam promosi wisata di era kolonial karena memiliki iklim khas tropis yang dingin (minimum 14 derajat celcius diera Belanda), ditambah keindahan Brastagi dan Gundaling yang diantarai oleh gunung Sibayak dan Sinabung. Dengan iklim yang dingin (mirip di Eropa) itu, maka sejumlah pengusaha asing di Medan seperti Harrison and Crossfield, SIPEF, Deli Batavia Company, Deli Company, Deli Railway, Deli-Amsterdam Company, Medan-Langkat Plantations, BPM, Medan Municipality, Wingfoot dan lain-lain membangun sejumlah bungalow, hotel, kolam renang, sekolah, bioskop, rumah sakit, bahkan lapangan terbang di Brastagi.
Beberapa objek yang dipromosikan adalah seperti native village di Lau Simomo, Lingga, Dokan, Peceren, dan lain-lain, maupun pemandian air panas Lau Debuk-debuk. Hingga tahun 1937, sejumlah bungalow di Gundaling, Brastagi, Lau Debuk-debuk maupun Bandar Bahru telah dibangun dan ramai dikunjungi. Upaya menjadikan Brastagi sebagai destinasi wisata dimulai oleh J.T.Cremer yang menggagas pembukaan jalan dari Medan menuju Brastagi sejak tahun 1906 dan terus berkembang hingga tahun 1942.
Demikian pula dengan pulau Nias (terutama Nias Selatan saat ini) telah dicoba oleh pemerintah Belanda menjadi destinasi wisata secara internasional. Keindahan alam pantai Nias ditambah dengan keunikan budaya omo hada, hombo batu, tari perang, tradisi megalit, perkampungan, maupun gadis Nias telah dicatatkan Belanda dalam arsipnya sebagai daya tarik wisata.
Dalam Ouvenkundig Verslaag (Laporan kepurbakalaan) Belanda, tradisi batu berupa arca, dolmen maupun sarkofagus telah diinventarisasi oleh dinas Kepurbakalaan Belanda. Rupanya, tradisi litik ini juga telah memacu derasnya wisatawan dan penelitian ke pulau Nias. Demikian pula halnya dengan olah raga air berupa selancar ternyata telah dipromosikan oleh Belanda ke mancanegara. Untuk mendukung pariwisata Nias, maka pemerintah Belanda melalui KPM Line, telah membuat brosur penerbangan maupun jalan laut yang dapat tempuh menuju pulau Nias.
Kepariwisataan di Pulau Nias pada saat itu didukung oleh zendeling yang bekerja di Nias dan memiliki hubungan yang intensif dengan dunia luar terutama Eropa. Oleh karena itu, promosi wisata yang dilakukan oleh biro perjalanan seperti KPM Line pun cukup efektif. Beberapa bungalow dan hotel yang terdapat di Nias Selatan pada awalnya adalah peninggalan era kolonial Belanda. Hanya saja, banyak diantaranya telah dirombak dan diganti dengan bangunan baru sehingga jejak-jejak pariwisata era kolonial itu sudah hampir tidak ditemukan lagi. Pariwisata Nias mengalami stagnasi pada tahun 1942 dan hingga kini terus merosot.
Parapat dan Danau Toba juga tidak kalah menariknya dalam catatan Belanda. Danau ini pertama sekali dilihat langsung oleh H.N. van der Tuuk tahun 1844 yang mengunjungi kawasan 'Batak' ini. Ahli filologi berkebangsaan Belanda ini ditugasi oleh RMG untuk misi khusus mempelajari masyarakat dan bahasa Batak. Van der Tuuk menjadi orang pertama yang membuat kamus Batak-Belanda dan dicetak pertama sekali tahun 1849 di Belanda. Sebelumnya, catatan tentang masyarakat yang mengitari Danau Toba ini telah dilakukan oleh Franz Wilhelm Junghun tahun 1840.
Catatan perjalanannya dirangkum dalam dua jilid buku dengan judul: Die Battalander auf Sumatra. Buku ini merangkum keadaan topografi dan masyarakat serta menjadi buku yang pertama yang menjelaskan detail masyarakat di Battalander (Negeri Batak). Catatan ini telah mempengaruhi masyarakat di Eropa sehingga ingin melihat langsung keadaan sebagaimana yang tercatat dalam buku tersebut. Adanya catatan Junghun dan van der Tuuk tersebut pulalah yang mendorong RMG terjun ke Sumatera Utara yang disusul oleh sejumlah ahli antropologi untuk melakukan kajian tentang suku-suku Batak.
Sejak publikasi itu di Eropa, sejumlah etnograf, antropolog maupun filolog datang ke Sumatera Utara untuk mempelajari budaya dan masyarakat yang menghuni pegunungan itu. Beberapa tulisan dipublikasikan seperti Hutagalung (1926) maupun Vergouwen (1935). Tulisan-tulisan tersebut terus menginspirasi orang Eropa untuk datang ke kawasan ini hingga tahun 1942 dan sejak tahun ini, pariwisata kawasan inipun terus melempem hingga saat ini.
Di Parapat, sejumlah pengusaha kolonial membangun bungalow dan akomodasi lainnya. Hotel Grand Parapat yang berlokasi di sekitar bungalow tempat pengasingan Bung Karno di Parapat, menjadi hotel pertama yang terdapat di Parapat. Kawasan hotel ini adalah berupa tanjung yang pada saat ini selalu digunakan sewaktu pagelaran Festival Danau Toba (FDT), yaitu open stage Parapat. Berdasarkan arsip yang dimiliki Belanda, kawasan Danau Toba lainnya yang dipromosikan adalah kawasan 'Toba Pulo' disekitar Tuktuk sekarang ini. Ditempat itu terdapat beberapa bungalow milik maskapai perusahaan Belanda dari Medan. Bahkan makam tugu Sidabutar pertama sekali dipotret oleh pemerintah Belanda masih terdapat dalam album pemerintah kolonial Belanda. Akses berupa jalan telah dibangun oleh pemerintah Belanda sejak awal tahun 1910-an yaitu dari Siantar ke Parapat. Pada saat itu, Siantar telah diproyeksikan dan ditata oleh pemerintah Belanda menjadi kota perkebunan (plantation city) yang pada tahun 1917 ditetapkan sebagai 'Kota Praja' (gemeente). Dikota ini terdapat hotel transit yaitu Hotel Grand Siantar yang berhadapan dengan kebun bunga Siantar.
Selain kawasan diatas, Medan juga memiliki daya tarik tersendiri sebagai kota perkebunan. Sejumlah akomodasi seperti Hotel De Boer, Hotel Grand Medan dan sejumlah bank maupun kantor pos yang merupakan fasilitas penting bagi masyarakat pada saat itu telah dibangun. Dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1869, Medan telah ditata menuju kota metropolitan yang sangat maju di seantero Indonesia dan ramai dihuni oleh masyarakat yang multikultur seperti orang Eropa, Tionghoa, India, Jawa, Minangkabau, dan 'Batak' lainnya. Sejak era itu, Medan menjadi kota dengan komposisi etnis yang sangat beragam di Indonesia. Pada saat ini, city tour bangunan bersejarah masih memiliki potensi yang tinggi. Namun demikian, intensitas demolished bangunan bersejarah kian mereduksi potensi wisata yang ada itu.
Sangat menarik pada saat itu, bahwa promosi wisata Sumatera Utara juga didukung oleh jalur kereta api yang telah tersambung ke beberapa daerah dipesisir timur Sumatera Utara. Gagasan Cremer sejak tahun 1883 tersebut dimulai dengan rintisan membangun jalur kereta api dari Medan menuju pelabuhan Belawan sehingga mempermudah akses ke Medan. Dari Medan, jalur kereta api telah tersambung ke Siantar, Bangun Purba, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Langkat dan bahkan hingga ke Aceh.
Disamping jaringan kereta api, juga terdapat pelabuhan Belawan yang dibangun sejak tahun 1889 dan puncaknya adalah tahun 1923. Sejak saat itu, kapal-kapal barang dan penumpang telah berlabuh di Belawan. Demikian halnya dengan bandara Polonia yang mulai dibangun sejak tahun 1928 dan selesai tahun 1933. Hal ini menambah daya tarik pariwisata di Sumatera Utara dimana akses menuju Sumatera Utara sudah sangat mudah dilakukan.
Promosi wisata yang dilakukan oleh Belanda terhadap Sumatera Utara dinyatakan berhasil dan berkembang hingga tahun 1942. Kemudian, peralihan dari Belanda ke Jepang membuat stagnasi pariwisata di Sumatera Utara. Bahkan, pasca kemerdekaan Indonesia, kepariwisataan di Sumatera Utara kian terus merosot hingga saat ini. Ironisnya, Danau Toba dan Bahorok yang menjadi destinasi wisata Unggulan Nasional dari Sumatera Utara oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tidak dapat mengangkat citra pariwisata di Sumatera Utara.
Lebih dari itu, kealpaan adanya ikon pariwisata di Sumatera Utara, seperti tidak adanya monumen tembakau, souvenir shop maupun objek yang tertata dengan baik, menjadi salah satu faktor kemerosotan kepariwisataan di Sumatera Utara. Pertanyaanya adalah, ada apa dengan pariwisata di Sumatera Utara? apakah benar bahwa sektor pariwisata belum menjadi prioritas pembangunan?
Lantas bagaimana kita menghadapi wisata postmodern yang kian diminati oleh wisatawan mancanegara? Pertanyaan ini sekaligus sebagai perenungan yang harus dijawab bersama, tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat di sekitar daerah wisata maupun oleh penggiat wisata. Kira-kira, persoalan apa yang menjadi alasan utama sehingga kepariwisataan yang telah dirintis oleh KPM Line akhir tahun 1920-an itu mengalami stagnasi hingga saat ini?.
Belajar dari Bali
Dalam buku 'Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata' (2006), Michel Picard menegaskan bahwa: 'citra pariwisata Bali sesungguhnya adalah hasil buatan, bahkan dapat dikatakan ia lahir dari persekongkolan objektif antara pemerintah kolonial, antropologi budaya serta badan promosi wisata'. Ditegaskan juga bahwa, 'Bali sebelum disanjung-sanjung karena kekayaan budayanya, masyarakat Bali pada awalnya dikenal karena keganasan para prajuritnya dan kekejaman penguasanya dan baru kemudian oleh kecantikan perempuannya'.
Kontribusi seorang dokter kebangsaan Jemran yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bali yakni Gregor Krause, adalah awal promosi wisata Bali yang pada tahun 1920 menerbitkan buku berisi hampir 400 foto tentang Bali. Kemudian langkah dokter ini menginspirasi pelukis Meksiko, Miguel Covarrubias dan pengarang Austria, Vicki Baum untuk mengunjungi Bali. Pada tahun 1937, keduanya menerbitkan buku yang sangat kesohor tentang Bali yaitu Island of Bali dan A Tale from Bali.
Promosi wisata Bali kemudian semakin melejit manakala pelukis dan musikus Jerman, William Spies yang terinspirasi oleh foto Gregor Krause menetap di Bali sejak tahun 1927. Ia sangat menguasai Bali dan pengetahuan luas segala hal tentang Bali menjadikan Spies sebagai pemandu bagi para seniman, penulis dan tokoh yang berkunjung ke Bali. Kemudian sejumlah pelukis asing menetap di Bali seperti Rudolf Bonnet (Belanda), Roland Strasser (Austria), Theo Meier (Swiss), Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres (Belgia), dan William Hofker (Belanda).
Disamping seniman, sejumlah antropolog pada awal tahun 1930-an tiba di Bali. Mereka yakni antropolog yang paling terkenal adalah seperti Jane Belo, Margareth Mead dan Gregory Bateson. Mereka menemukan Bali yaitu 'sebuah pulau dimana budaya dan alam saling berpautan erat, tempat tinggal sebuah masyarakat mapan dan harmonis yang secara berkala digairahkan oleh ritus-ritus yang amat memesona' dan pada akhirnya, Bali tampil sebagai destinasi wisata internasional.
Sebagaimana ditegaskan oleh Michel Picard (2006:294), bahwa: 'pariwisata internasional bukan merupakan sesuatu yang asing pada kebudayaan Bali, melainkan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu proses perekaan kultural. Proses tersebut harus ditempatkan dalam konteks pembukaan ruang sosial Bali'. Ia melanjutkan bahwa: 'kebudayaan Bali adalah hasil dari hubungan timbal balik dialogis antara orang Bali dengan aneka lawan bicaranya yaitu wisatawan, pelaku pariwisata, seniman, orientalis, dan antropolog yang telah membentuk citra Bali.
Demikian pula pemerintah kolonial yang telah berupaya mewujudkan suatu masyarakat Bali sesuai dengan khayalan mereka yang kini ditiru oleh pewaris Indonesia dan Bali'. Jadi, upaya 'Balinisasi' pulau Bali oleh sejumlah pihak seperti wisatawan, penggiat wisata, seniman, orientalis, antropolog dan pemerintah kolonial telah berhasil menjadikan Bali sebagai destinasi wisata internasional.
Oleh karena itu, bila ingin memajukan pariwisata Sumatra Utara sebagaimana yang telah khayalkan dan dicitrakan oleh pemerintah kolonial sejak tahun 1919 itu, maka harus ada upaya semacam 'Balinisasi' di Sumatera Utara, yaitu bagaimana orang Sumatera Utara memandang dirinya dan diri orang lain yaitu wisatawan dan penggiat wisata. Lebih dari itu, sejumlah seniman maupun antropolog budaya seyogianya memberikan kontribusi positif untuk membentuk citra pariwisata di Sumatera Utara. Selanjutnya, pemkab maupun pemko terkait maupun pemprovsu senantiasa melanjutkan pembangunan sarana dan prasarana sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemerintah kolonial dahulu dalam memajukan kepariwisataan di Sumatera Utara. Dengan sinergi seperti itu, maka kepariwisataan di Sumatra Utara dapat tumbuh kembali setelah lebih dari 50 tahun mati suri. Semoga!
Penulis adalah Pengajar Tetap di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Kandidat Doktor (S3) Unair Surabaya