Oleh: Dr. Ferry A. Suranta,SH., MBA., MH. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, negara tidak diperbolehkan untuk (secara langsung) memperoleh keuntungan. Negara sejatinya berfungsi semata-mata untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya. Namun, agar kekayaan alam yang melimpah di Indonesia ini dapat dikelola dengan baik, maka negara juga membutuhkan cara yang lebih profesional. Apalagi untuk mengelola kekayaan alam tersebut belum bisa dilakukan sendiri oleh bangsa Indonesia, maka dibutuhkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing.
Selain itu, agar tidak hanya mengandalkan penerimaan pajak untuk meningkatkan sumber pendapatan negara, negara juga harus memaksimalkan keuntungan dari pengelolaan kekayaan negara. Untuk itulah kemudian, dibutuhkan kehadiran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam melaksanakan fungsi perekonomian nasional seiring dengan amanat Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
BUMN sebagai perusahaan, tentu tidaklah semata-mata berfungsi untuk mencari laba layaknya perusahaan non BUMN. Tetapi juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam melaksanakan public service obligation (PSO). Public Service Obligation (PSO) dapat dimaknai bahwa selain berupaya mencari laba dalarn bentuk deviden, BUMN juga memiliki kewajiban dalam melayani kebutuhan publik. Karena bagaimana pun, segala aktivitas ekonomi yang dilakukan pemerintah muaranya adalah sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) merupakan salah satu BUMN yang paling banyak berperan dalam kehidupan masyarakat. Selain mencari laba, PLN juga merupakan pelaksana PSO. Sebagai pelaksana PSO, PLN memiliki fungsi yang amat penting. Karena bagaimana pun, ketersediaan tenaga listrik adalah salah satu prasyarat mutlak demi keberlangsungan pembangunan kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, secara konstitusional, usaha penyediaan tenaga listrik harus dikuaslu serta dijamin oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan dalam jumlah yang cukup, merata dan bermutu yang pada akhirnya dapat menumbuhkan perekonomian seluruh daerah di Indonesia.
Artinya, sebagai pelayan masyarakat sekaligus juga sebagai perusahaan yang harus mendapatkan laba, PLN memiliki beban yang sangat berat. Dengan status sebagai pelayan kepentingan umum dalam bidang kelistrikan, PLN harus mampu menyediakan listrik yang harganya terjangkau atau semurah mungkin. Padahal di sisi lain, ada upaya untuk pengurangan anggaran subsidi listrik, seperti halnya yang dilaukan secara bertahap terhadap subsidi energi secara keseluruhan. Hal ini semakin parah dengan maraknya pencurian listrik akhir-akhir ini. Oleh karena itulah kemudian, dalam praktiknya saat ini, tugas pelayanan publik alias public service obligation (PSO) yang dibebankan ke BUMN saat ini lebih banyak dijalankan dengan tidak maksimal.
Maka tidak perlu heran kalau dari tahun ke tahun, PLN sering menderita kerugian. Pelayanan PLN terhadap masyarakat juga sering tidak memuaskan. Hingga ada sindiran baru bahwa PLN sebagai perusahaan lilin negara. Pemadaman listrik semakin menjadi-jadi dan bahkan sudah seperti makan obat, tiga kali sehari. Bahkan ada istilah di masyarakat, kalau PLN tidak lagi melakukan pemadaman listrik bergilir, tetapi justru penyalaan listrik bergilir. Memprihatinkan sekali bukan?
Memang harus diakui, agar penugasan PSO bisa dijalankan BUMN dengan sepenuh hati, Kementerian Negara BUMN telah mengadakan adanya kontrak kerja PSO antara pemerintah sebagai pemberi tugas dan BUMN sebagai penerima tugas. Namun hal ini juga belum juga secara signifikan bisa membantu perbaikan kinerja PLN.
Korupsi di PLN?
Seiring dengan memburuknya kualitas pelayanan PLN, akhir-akhir ini muncul pula banyak dugaan kasus korupsi di PLN. Terutama di PLN Wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut). Salah satu contohnya adalah kasus pengadaan material dan jasa LTE PLTGU GT21 dan GT22 Belawan Medan yang diduga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2 trilyun. Walaupun setelah dianalisis, ternyata banyak hal yang harus diluruskan dalam kasus tersebut, terutama menyoal metode penghitungan kerugian negara oleh BPKP.
Dalam persidangan, JPU menggunakan alat bukti perhitungan kerugian negara yang dihitung dan dinyatakan oleh BPKP dimana kerugiannya adalah kerugian total loss sebesar Rp 237,4 miliyar yaitu sejumlah pembayaran yang sudah dilakukan oleh PLN kepada kontraktor dianggap sebagai kerugian negara ditambah kerugian berupa kehilangan pendapatan PLN yang tidak terealisir pada periode 20 November 2012 sampai dengan 24 September 2013 (309 hari atau 7416 jam) sebesar Rp 2 triliyun.
Terlepas dari apakah para tersangka terbukti atau tidak melakukan perbuatan melawan hukum itu nantinya, namun perlu adanya perbaikan-perbaikan ke depan demi keadilan hukum, terutama mengenai penghitungan kerugian negara akibat mark up di PLN yang sesungguhnya tidak boleh dipersamakan dengan pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintahan seperti biasanya.
Dalam perhitungan kerugian keuangan negara, setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi yakni, pertama, ketepatan data yang digunakan dan; kedua, ketepatan metodologi perhitungan kerugian keuangan negara. Sebagai PSO, sumber pendapatan PLN adalah dari hasil penjualan listrik kepada pelanggan dan pembayaran subsidi dari pemerintah. Lalu bagaimana perhitungan margin keuntungan yang diperoleh PLN? Karena tarif jual (tarif dasar listrik) ke pelanggan masih di bawah biaya pokok penyediaan listrik (BPP) maka jelas margin keuntungan PLN bukan berasal dari pendapatan hasil penjualan kepada pelanggan, tetapi berasal dari pendapatan subsidi pemerintah dimana oleh pemerintah PLN diberi keuntungan margin 7 persen.
Dengan demikian, kerugian negara sebagai pemegang saham PLN agar terjadi kalau PLN kehilangan kesempatan untuk mendapatkan margin keuntungan sebesar 7 persen tersebut. Maka dari sisi perhitungan, BPKP sudah melakukan kesalahan metodologi perhitungan yang tepat. Dengan demikian, seharusnya dalam kasus di atas, tidak terjadi kerugian negara tetapi justru ada keuntungan negara berupa pendapatan PLN.
Kesimpulannya, jika negara sebagai pengguna jasa BUMN untuk melayani masyarakat, maka kerugian yang dianggap kerugian negara negara adalah tindak pidana yang mengakibatkan biaya subsidi pemerintah tidak digunakan dengan semestinya. Bukan kerugian yang dialami terhadap pendapatan atau potensi pendapatan PLN. ***
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Medan Area (UMA) Medan) dan Praktisi Hukum.