Pasal 56 Ayat (1) KUHAP: Hak Tersangka dan Kewajiban Polisi

Oleh: Uratta Ginting SH

Seorang tersangka dihadapan penyidik Polisi membuat surat pernyataan yang intinya tidak bersedia didampingi penasihat hukum (advokat) bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Akibatnya, semua produk penyidik seperti BAP; "Berita Acara Pemeriksaan" adalah ilegal (tidak sah) menurut hukum.

Pasal 54 KUHAP menentukan untuk kepentingan pembelaan, tersangka berhak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum menurut pilihannya sendiri (pasal 55 KUHAP). Berdasarkan hal tersebut penyidik pada awal pemeriksaan sesuai dengan pasal 114 KUHAP harus diyakini telah memberitahukan hak-hak hukum tersangka untuk didampingi penasihat hukum (advokat).

Namun, tersangka saat menjawab tidak ada penasihat hukum (terlepas apakah ada arahan penyidik atau tidak), yang jelas hak tersangka jika diganti dengan surat pernyataan untuk menolak penasihat hukum tidak dapat dibenarkan apapun alasannya.

Jika Jaksa Penuntut Umum dalam membuat dakwaan atas dasar produk penyidik yang ilegal kemudian dakwaan selanjutnya dijadikan dasar pemeriksaan di pengadilan, maka dakwaan juga tidak sah (tidak dapat diterima), sebagai konsekwensi hukumnya tersangka/terdakwa diputus bebas karena pelanggaran pasal 56 ayat (1) KUHAP (Putusan Mahkamah Agung RI No. 1565 K/Pid/1991, tanggal 16 September 1993).

Bersifat Imperatif

Kewajiban penyidik timbul manakala tersangka diduga melanggar tindak pidana yang ancaman hukumannya tinggi, misalnya tindak pidana mengedarkan uang palsu diancam pidana 15 tahun (pasal 145 KUHP).  Untuk kasus ini, bagi penyidik tidak ada pilihan lain, harus menerapkan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP. Karena pasal tersebut bersifat imperatif (wajib) dipatuhi oleh setiap penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan.

Pasal 56 ayat (1) KUHAP lengkapnya berbunyi : "Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka  yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima belas tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka."

Pada akhir kalimat pasal tersebut, kata wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka, jelas penunjukan penasihat hukum untuk mendampingi tersangka merupakan suatu keharusan.

Akan tetapi, dalam praktek, bukan rahasia kehadiran penasihat hukum justeru belum mendapat tempat yang wajar karena selalu dicurigai sebagai pihak yang mengganggu kelancaran pemeriksaan.

Munculnya pemahaman hukum yang berbeda di kalangan penegak hukum justeru lahir dari bunyi pasal 115 ayat (1) KUHAP yang memberi arti ganda tentang kehadiran penasihat hukum atau  lengkapnya pasal tersebut dapat disimak berbunyi, "Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan."

Klausula "dapat didampingi" bisa juga diartikan "tidak dapat didampingi" seolah-olah tergantung belas kasihan pejabat penyidik. Meskipun ditafsirkan kata "dapat" sebagai "hak" tidak mungkin hal tersebut berdampak akan mempersulit proses pemeriksaan. Sebab kehadiran penasihat hukum dalam proses pemeriksaan bersifat pasif. Penasihat hukum hanya diperkenankan melihat dan mendengar saja. Sehingga kesulitannya paling hanya sekedar menyediakan tempat duduk penasihat hukum itu, tidak lebih.

Dua Sisi

Dengan demikian jika pasal 54, pasal 55 dan pasal 114 KUHAP lalu dikaitkan dengan pasal 56 ayat (1) KUHAP, ada dua sisi kehadiran penasihat hukum untuk mendampingi tersangka :

1. Kepada tersangka diberi kebebasan untuk menunjuk penasihat hukum menurut pilihannya sendiri. Kebebasan ini murni hak tersangka yang diberikan oleh hukum, dengan syarat : pertama, tersangka dianggap mampu untuk itu. kedua, ancaman tindak pidananya dibawah 5 tahun.

2. Tersangka diancam pidana 5 tahun atau lebih, penasihat hukum mendampingi tersangka bukan semata-mata hak tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi kewajiban penyidik untuk diberi kepada tersangka baik diminta atau tidak diminta oleh tersangka. Penasihat hukum  mendampingi dan memberi bantuan hukum jenis  ini diberikan cuma-cuma.

Oleh karena itu, surat pernyataan tentang tersangka tidak bersedia didampingi penasihat hukum tidak dapat menghapus kewajiban penyidik untuk menunjuk penasihat hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh pasal 56 ayat (1) KUHAP. Sebab bagaimanapun juga KUHAP adalah UU Negara tidak mungkin dilemahkan/ dikesampingkan begitu saja oleh sebuah pernyataan.

Metode penegakan hukum di era reformasi sekarang ini kiranya praktek pada jaman HIR dengan prinsip inquisitoir yang menempatkan tersangka dalam setiap pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang, sudah waktunya segera diakhiri.

Bukan lagi jamannya sekarang seorang penasihat hukum atau keluarga tersangka dilarang bertemu dengan tersangka. Apalagi peristiwa memilukun terjadi, tersangka digebuki bahkan ada yang cacat seumur hidup hanya untuk mengejar sebuah pengakuan semata.

Perlu diketahui, KUHAP tidak lagi menempatkan pengakuan tersangka sebagai salah satu alat bukti untuk mencari kebenaran materil dalam perkara pidana, bahkan tersangka sendiri tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), karena tersangka terikat dan melekat azas "praduga tak bersalah" yang harus dihormati oleh siapapun.

Prinsip pemeriksaan kini yang dianut oleh KUHAP  adalah accusatoir dengan menempatkan kedudukan tersangka sebagai subjek (manusia) yang mempunyai harkat dan martabat.

Akhirnya, Socrates seorang filsuf ternama, ratusan tahun lalu pernah berseru, lebih baik melepaskan seribu orang penjahat daripada menghukum seorang tidak bersalah. ***

Penulis adalah advokat, tinggal di Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi