Ketika Okinawa Ingin Lepas Dari Jepang

REFERENDUM Skotlandia seolah membuka mata dunia betapa separatisme tidak hanya milik negara berkembang, tapi juga persoalan tersembunyi di banyak negara maju.

Di negeri matador Spanyol, Basque Country dan Catalan telah sekian puluh tahun berusaha melepaskan diri. Di Italia, Venezia dan South Tyroll tak lelah berupaya pisah.

Greenland ingin lepas dari Denmark, karena yakin kelak wilayah berselimut salju itu akan kaya rasa ketika pemanasan global terjadi. Di Belgia, wilayah Flanders yang dihuni pemukim berbahasa Belanda  tidak ingin seumur hidup memberi makan Wallonia, wilayah berbahasa Prancis yang miskin.

AS tidak hanya menghadapi gerakan separatisme tertua di Texas, tapi juga upaya pisah Alaska wilayah Paman Sam yang dibeli dari Kekaisaran Rusia. Sedangkan Jerman punya persoalan separatisme di Bavaria, wilayah yang dihuni pemukim Katolik.

Terakhir, mungkin ini yang paling menarik, adalah separatisme Okinawa.

Masaki Tomochi, profesor ekonomi di Universitas Internasional Okinawa dan anggota gerakan kemerdekaan Okinawa, dikabarkan bertolak ke Glasgow untuk melihat dari dekat mengenai referendum Skotlandia.

Dia tidak sendiri, tapi ditemani seorang wartawan dan sekelompok juru kampanye Okinawa Merdeka yang ditempatkan di pulau-pulau kecil di selatan Jepang.

Sampai 1879, Okinawa adalah bagian dari wilayah Kerajayaan Ryukyu, atau Ryukyu Han. Pemerintahan Meiji menaneksasi seluruh wilayah Ryukyu, menghapus kebudayaan termasuk bahasa, agama, dan praktek budaya.

Shato Tai, raja terakhir Ryukyu direlokasi paksa ke Tokyo dan kerajaannya diberi nama baru Prefecture Okinawa.

AS merebut Okinawa dari tangan Jepang lewat pertempuran paling berdarah. Setelah menguasai sekian lama, AS lewat perjanjian rahasia mengembalikan Okinawa ke Jepang.

Okinawa mencakup 0,6 persen dari seluruh wilayah Jepang. Saat AS masih bercokol, perekonomian Okinawa sangat tergantung pada serdadu Paman Sam.

Demi kampanya pro-kemerdekaan, aktivis Okinawa Merdeka mendesak AS menarik pasukannya. Tokyo menuduh aktivis mengorbankan perekonomian rakyat untuk mencapai tujuannya.

Setelah AS pergi dan Okinawa kembali ke tangan Jepang, muncul kebencian terhadap Tokyo di kalangan orang Ryukyu. Situasi ini dipersulit oleh fakta bahwa Okinawa adalah satu dari 47 wilayah Jepang yang paling miskin.

Tomochi mengatakan kontrol perekonomian Tokyo atas ekonomi tidak lebih dari perpanjangan praktek kolonial. Investasi Tokyo di Okinawa tidak pernah memakmurkan, karena ditarik kembali ke pusat oleh perusahaan-perusahaan raksasa Jepang.

“Kekhawatiran Tokyo bahwa Okinawa akan jatuh ke tangan Tiongkok juga tidak berdasar,” ujar Tomochi. “Tiongkok tidak pernah menyerang Okinawa, tapi Jepang menganeksasi kami.”

Okinawa, masih menurut Tomochi, juga berbeda dengan Jepang; dari segi budaya, bahasa, dan etnis.

Saat ini populasi Okinawan, atau orang Okinawa mencapai 1,3 juta jiwa, dan tersebar secara merata di Okinawa, Jepang, dan Hawaii.

Tomochi membayangkan Okinawa menjadi negara merdeka, dan membangun diri seperti Singapura. Budaya dan agama Okinawa berkembang lagi, dan dunia tahu bahwa seni bela diri Karate bukan berasal dari Jepang, melainkan  Okinawa. (ic/bh)

()

Baca Juga

Rekomendasi