Sai’ Bentuk Kasih Sayang Ibu Kepada Anak

SETIAP para jemaah calon haji kini sudah melebur menjadi satu kesatuan yang disebut dengan umat. Mereka tidak lagi menjadi personal tetapi sudah menjadi sebuah ikatan yang kuat yang disatukan dengan kalimat talbiyah. Menyatu melakukan thawaf menjadikan Ka’bah sebagai orbit di dunia. 

Setelah melaksanakan thawaf di Ka’bah, lalu melaksanakan salat di sekitar maqam Ibrahim, kita diharuskan pergi ke Mas’a, yakni jalan antara bukit Shafa dan Marwah (panjangnya sekitar 1/4 mil).

Lari-lari kecillah di antara dua bukit ini sebanyak tujuh kali di mulai dari bukit Shafa dan pada saat berada di bagian yang tingginya sama dengan Ka’bah engkau harus melakukan harwalah (bergegas dengan gerakan yang lebih cepat) selanjutnya berjalan seperti biasa ke bukit Marwah.

Ritual inilah yang disebut Sa’i, ia merupakan sebuah pencarian, ia merupakan gerakan yang bukan tidak mempunyai tujuan. Tetapi ini merupakan bentuk sebuah keinginan yang harus dicapai lewat sebuah aktivitas.

Sa’i ini adalah bentuk keikhlasan dari Siti Hajar untuk mencari air bagi anaknya Ismail yang menangis karena kehausan.

Betapa Allah memuliakan kaum hawa dengan simbol Hajar, di mana proses pencarian air untuk anaknya Ismail dijadikan dari ritual haji.

Dalam hal ini, Allah tidak membedakan status, siapa sebenarnya Hajar, yang merupakan salah satu budak hitam. Allah tidak memadang seseorang dari segi ras, kedudukan ataupun keindahan bentuk seseorang, Allah hanya ‘memuliakan’ orang-orang yang tunduk dan patuh hanya kepada-Nya.

Dengan segala kesabaran, Hajar menciptakan simbol ibu-ibu yang begitu sabar mendapatkan ujian. Hajar bukanlah orang yang tidak tahu bahwa negeri yang ia diami ini adalah negeri yang penuh dengan tantangan. Ia ditinggalkan Ibrahim bersama anaknya Ismail, untuk hidup.

Ibrahim bukanlah bapak yang tega meninggalkan istrinya Hajar bersama anaknya Ismail untuk tinggal di sebuah gurun yang tidak ada seseorangpun yang tinggal di daerah tersebut.

Namun, hal ini adalah setting yang sudah dari awal menjadi skenario yang harus dijalankan oleh Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar.

Hajar merupakan simbol wanita atau ibu-ibu yang tidak harus mengeluh karena ditinggalkan oleh suami-suaminya. Ia adalah simbol wanita yang tegar dan sabar dalam menghadapi semua ujian yang diberikan Allah kepadanya.

Bayangkan bagaimana pengorbanan Hajar ketika Ismail menangis karena kehausan. Hajar lalu melihat ke arah Mas’a, ia berlari ke sana ke bukit Shafa yang lebih tinggi dengan harapan untuk melihat apakah ada air ada di sekitar lembah tersebut. Lalu ia berlari menuju bukit Marwah, sama dengan yang tadi ia juga mencoba mencari mata air, karena ia masih mendengar anaknya Ismail menangis kehausan. 

Cinta kasih seorang ibu kepada anaknya, melebihi dari cinta kasih kepada dirinya sendiri. Ia merasakan kehausan, tetapi kehausannya tidak ia pedulikan asalkan anaknya Ismail tidak menangis lagi.

Hajar lagi-lagi merupakan simbol keinginan untuk ‘menyelamatkan anaknya’. Apapun ia lakukan, tanpa memikirkan kondisi dirinya sendiri. Tapi ia tetap istiqomah berjalan dengan ketentuan Allah.

Banyak sekarang ibu-ibu demi anaknya, menjual dirinya. Ia rela merendahkan dirinya untuk melakukan perbuatan maksiat. Ia tidak sabar dengan ujian dari Allah, maka dengan jalan pintas ia melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak ia kerjakan.

Dengan dalih untuk memberi makan anak-anaknya, seorang ibu rela menjual dirinya. Jelas dari sisi niat ia berada pada posisi yang benar yaitu ingin menyelamatkan anak-anaknya. Tetapi dari segi perbuatan jelas salah.

Memberi makan anak-anak dengan hal-hal yang diharamkan Allah akan memberi dampak yang tidak baik terutama kepada diri ibu itu sendiri dan anak-anaknya. Masih banyak jalan alternatif yang bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan Siti Hajar. Ia berusaha mencari ‘air kehidupan’ untuk anaknya Ismail.

Semua cara ia lakukan, tidak hanya lewat perkataan (doa) kepada Allah, tetapi ia juga melakukan aksi, mengimplementasikan keinginannya mencari ‘mata air kehidupan’ itu dengan berusaha keras.

Peluh yang membasahi sekujur tubuhnya membuktikan bahwa Hajar telah melakukan upaya-upaya untuk mencari mata air kehidupan itu.

Allah nampaknya begitu mengasihi Hajar dan anaknya Ismail. Air mata kehidupan yang dicari Hajar rupanya tidak begitu jauh dari Ismail itu sendiri. Setiap hentakan kaki kecilnya ketika menangis ke bumi ‘menciptakan’ sebuah lorong-lorong untuk menyalurkan mata air kehidupan itu.

Mata air kehidupan itu memancar dari celah-celah kaki kecilnya tersebut, tersemburlah zam-zam.

Kalaulah Hajar mengetahui skenario awal ini, tentu ia tidak akan bersusah payah untuk melakukan pencarian mata air kehidupan tersebut. Namun Allah Maha Tahu dengan segala apa yang dikehendaki-Nya.

Hajar adalah profil seorang ibu, yang tidak ingin duduk termangu, menyesali kehidupan yang harus ia jalani sendiri, untuk tinggal di gurun pasir yang tandus itu. Ia bangkit, berusaha berlari mencari mata air kehidupan, karena baginya walaupun ada sesuatu yang telah digariskan Allah, tetapi jika tidak diusahakan maka mata air kehidupan itu tidak akan muncul.

Ya Sa’i merupakan pencarian, usaha, bergerak dari satu posisi ke posisi lain. Berlari mengejar cita-cita dengan tidak melupakan jati diri sebagai hamba, sehingga terus berdoa dan berdoa, dengan harapa apa yang kita cari, usahakan dapat dikabulkan Allah. Sa’i bukan bentuk pencarian yang sia-sia, tapi ia merupakan sebuah proses untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Mari kita bersa’i bersama Hajar, berlari-lari kecil mencari jati diri sebagai seorang hamba, berlari-lari kecil menuju kepada ridho-Nya.

()

Baca Juga

Rekomendasi