Pak Arif Si Penjual Bubur

Oleh: Nur Aini

"Bubuuur! Bubuuur!" 

Teriakan khas Pak Arif selalu terdengar di komplek tempat  tinggal Dio. Murid kelas 5 SD itu pelanggan setia Pak Arif. Ia suka sekali dengan bubur Pak Arif yang lezat dan juga sehat. Tidak hanya Dio, anak-anak lain bahkan orangtua juga sangat suka. Karena sudah berlangganan dan bergaul lama,  mereka memanggil Pak Arif dengan sebutan Uwa.

"Buburnya tiga ribu, kan?" tanya Pak Arif pada Dio. Beliau sudah hapal keinginan anak itu.

"Iya, Wa," jawab Dio sambil tersenyum.

"Ini buburnya," kata Pak Arif sambil menyerahkan sebungkus bubur kacang hijau kepada Dio. Dio  memberikan tiga lembar uang ribuan.

 "Terima kasih, Nak!"

Suatu hari, suara  khas Pak Arif tidak terdengar. Dio bertanya-tanya dalam hati kenapa sore itu Pak Arif tidak berjualan. Ia pun bertanya pada ibunya,

 "Ibu ada melihat Uwa hari ini?" 

 "Tidak, Dio."

Sudah tiga hari lamanya tidak terdengar suara Pak Arif. Dio sedih. Ia rindu dengan rasa bubur Pak Arif.

Keesokan paginya, ketika Dio sampai di sekolahnya,matanya menangkap sesuatu yang tak asing. Gerobak bubur Uwa, soraknya dalam hati. Pak Arif dikelilingi oleh sekelompok anak di depan sekolahnya. Tampak Pak Arif sedikit kewalahan. 

Dio merasa senang karena ia bisa merasakan kembali bubur kesukaannya. Tak masalah baginya walaupun ia hanya bisa membelinya saat pulang sekolah. Yang penting kerinduannya terhadap kelezatan bubur Pak Arif terbayar sudah.

Tapi, hanya tiga hari Pak Arif berjualan di depan gerbang sekolah. Untuk hari berikutnya Dio tidak melihat gerobak Pak Arif. Apa yang terjadi dengan Uwa? Ia kembali merasa kehilangan. 

"Uwa benar-benar tidak berjualan bubur lagi, ya?" tanya Ibu pada Dio.

"Sepertinya tidak, Bu. Dio kangen buburnya," jawab Dio sedih.

"Ya sudah. Besok Ibu buatkan bubur buat Dio, ya?" Dio mengangguk senang.

Esoknya, sebelum bel masuk berbunyi, Dio pergi ke kantin sekolah untuk membeli sebotol air mineral. Di dalam kantin itu terdapat beberapa warung kecil dengan bermacam-macam dagangan. Ada kue, bakso dan alat-alat tulis. Dio membeli air mi-neral di warung Bu Minah. Di samping kiri warung Bu Minah tampak sebuah etalase kosong dan beberapa kursi panjang.

"Lho, ada yang mau jualan di sana ya, Bu?" tanya Dio pada Bu Minah sambil menunjuk warung tersebut.

"Iya. Katanya, sih, jualan bubur," jawab Bu Minah.

"Bubur?" tanya Dio penasaran.

"Iya. Ibu dengar begitu. Mulai hari ini dia sudah berjualan. Mungkin sebentar lagi datang."

Dio menggangguk dan mulai menebak-menebak, jangan-jangan ...

Tiga jam pelajaran telah berlalu. Bel istirahat pertama pun berbunyi. Karena sudah lama tidak makan bubur, Dio pun buru-buru pergi ke kantin untuk merasakan bubur pedagang baru.

Sesampainya di kantin, ia melihat seorang pria setengah baya sibuk mengelap kaca etalasenya. Ternyata pria itu Pak Arif! Dio mengucek-ucek matanya untuk memastikan apakah yang dilihatnya benar-benar Pak Arif. Ternyata ia tidak salah. Itu  Pak Arif.

"Uwaaa..." Dio berteriak memanggil Pak Arif. 

"Eh, Dio. Apa kabar?"

"Baik, Wa. Uwa sudah jualan di sini, ya?" Pak Arif mengangguk.

"Yang benar, Wa?" Dio serasa tak percaya..

"Iya, Nak. Atas izin Kepala Sekolah, Uwa boleh berjualan di sini. Uwa lelah kalau harus keliling setiap hari." 

"Asyiiiik, berarti saya bisa terus menikmati bubur Uwa." Dio gembira sekali. 

Pak Arif mengangguk senang  berjumpa kembali dengan pelanggan setianya.

"Nih, buat Nak Dio, Uwa gratiskan satu mangkuk. Semoga berikutnya tetap jadi langganan," gurau Pak Arif sambil menghidangkan semangkuk bubur di meja kantin.

Dio tertawa. Tak lupa dia mengucapkan terima kasih. Dio sudah tidak sabar menyantap bubur nan lezat buatan Pak Arif. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi