Oleh: Julaiha S
Berbicara tentang cerpen, banyak hal yang sebenarnya berpeluang untuk dibicarakan. Salah satunya, seperti yang dikatakan H. B. Jassin, Sang Paus Sastra Indonesia. Cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian dan penyelesaian.
Cerita pendek diartikan sebagai bacaan singkat, dapat dibaca sekali duduk, dalam waktu setengah sampai dua jam. Genrenya mempunyai efek tunggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks.
Pengarang cerpen tidak melukiskan seluk-beluk kehidupan tokohnya secara menyeluruh. Melainkan hanya menampilkan bagian-bagian penting kehidupan tokoh. Berfungsi untuk mendukung cerita, juga bertujuan untuk menghemat penulisan cerita karena terbatasnya ruang yang ada.
Tidak heran, jika seseorang membaca cerpen seperti melihat miniatur kehidupan manusia. Terasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembaca itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita.
Sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembaca, tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Jika kenyataannya seperti itu, jelaslah sastra (cerpen) telah berperan sebagai karikatur dari kenyataan dan sebagai pengalaman kehidupan.
Banyak pengarang (cerpenis) yang dapat menulis dengan spontan ketika dia duduk. Dengan menggunakan bahan-bahan yang masih dekat dengannya, seperti perasaan dan emosi yang dirasakan kemudian dia melahirkan sebuah karya sastra (cerpen).
Ada juga pengarang, ketika ingin menulis, dia harus mendapatkan hal-hal yang menambah wawasan untuk menuliskan karya sastranya. Bersekolah Di Kebon Belanda (Kelas 2) adalah cerpen yang kental dengan emosi sebagai bentuk respon pada kenyataan yang ada.
Cerpen Bersekolah di Kebon Belanda Kelas Dua karya Norman Tamin. Terlihat keikutsertaannya, dengan merasakan problemik dari jiwa para tokoh. Ikut merasakan bagaimana kesengsaraan di sekolah. Bagaimana siswa-siswa memiliki perasaan waspada terhadap temannya sendiri, sebab dunia yang masih dikepung oleh bangsa Belanda. Ruang lingkup yang masih rentan dengan persaingan kurang sehat. Kewenangan Belanda tidak mampu dihentikan. Menimbulkan perasaan waspada dari setiap orang di dalamnya termasuk siswa dan para guru. Sehingga, terlihat dia telah merasakan secara langsung kehidupan di dunia cerpen.
Cerpen Karya Norman Tamin, memungkinkan pembaca untuk melihat isi dalam kehidupan bangsa Belanda pada masa itu. Fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan siswa dan guru yakni Boris, Ali, Norman, Pak Simanjuntak, Pak Barman serta guru dan siswa lainnya. Cerpen ini membuat saya merasa, memastikan saya harus berangkat dari buku-buku sejarah yang terlibat aktif dalam kehidupan bangsa Belanda.
Karya Norman Tamin ini, menceritakan bagaimana seorang guru yang memiliki rasa nasionalisme dalam mendidik siswanya. Pak Simanjuntak guru paling berbeda dari guru lainnya. Dia menjadi figur sangat ditakuti oleh siswanya. Sebenarnya Pak Simanjuntak tidak seperti bangsa Belanda anarkis dan liar. Pak Simanjuntak senantiasa mendidik dan mencerdasakan siswanya, agar berguna bagi bangsa Indonesia. Termasuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari tangan Belanda, dengan cerdas.
Pak Simanjuntak diceritakan dalam cerpen, sebagai guru atau pendidik. Kita tidak percaya, seorang pendidik mempunyai izin resmi memiliki sebuah pistol. Norman Tamin memberi kejutan di akhir cerita. Pak Simanjuntak, seorang letnan. Memilih menjadi seorang guru karena tingkat kecerdasaan bangsa Indonesia yang belum memadai.
Dengan menggunakan ‘kaca mata’ postkolonial, penulis mencoba menemukan hal-hal yang notabene terkandung dalam cerpen ini, namun belum terkuak. Karena cerpen ini kental dengan potret masyarakat pada masa kolonial.
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata “post” dan kolonial. Kata kolonial, berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi. Berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan. Konotasi eksploitasi lainnya, postkolonial melibatkan tiga pengertian, yaitu: (a) Abad berakhirnya imperium kolonial di seluruh dunia, (b) Segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial, (c) Teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme.
Terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori postkolonial, (a) Sebagai gejala kultural, sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima, sebagai mediator masa lampau dengan masa sekarang; (b) Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri; (c) Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasi paling signifikan; (d) Berbagai masalah dilukiskan secara simbolis dan terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. (Said, 2003: 44-45),
Visi postkolonial menunjukkan, pada masa penjajahan yang ditanamkan adalah perbedaan. Jurang pemisah antara kolonial dengan pribumi bertambah lebar. Analisis wacana postkolonialis dapat digunakan, di satu pihak untuk menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau sengaja disembunyikan, sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja. Di pihak lain membongkar disiplin, lembaga dan ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah peranan bahasa, sastra dan kebudayaan pada umumnya dapat memainkan peranan. Dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung wacana sebagaimana diintesikan oleh kelompok kolonialistik.
Cerpen karya Norman Tamin, kita kembali diingatkan dengan buku sejarah. Bagaimana fenomena di kehidupan pada masa Belanda. Termasuk kehidupan di sekolah-sekolahnya. Cerpen semacam ini selalu mengingatkan kita tentang hal-hal tersebut. Norman mengambil angel yang pas untuk menciptakan cerpennya. Dalam ruang lingkup Belanda yang luas dengan fenomena kerja paksa, kelaparan, tumpah darah dan lainnya. Norman mengambil angel sekolah sebagai sarana dalam membubuhi cerpennya itu. Kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekolah juga sangat beragam. Mengerjai teman sekelas dan timbul persaingan tidak sehat dan sebagainya. Norman melihat sisi kecemburuan, nasionalisme, kegigihan dalam belajar.
Ketika harus berhadapan dengan beberapa murid yang sulit ditebak sifatnya dan guru-guru menjadi hantu dipikiran mereka, dituangkan dalam cerpennya. Kenyataan ini menjadi potret kecil yang membubuhi kegiatan di lingkungan sekolah.
Kebanyakan karya sastra merupakan cerminan dari realitas kehidupan. Kehidupan itu coba dikemas dalam selimut imajinasi begitu rapi, untuk disimak. Dalam cerpen Norman Tamin, terlihat suasana masa penjajahan Belanda masih sangat kental. Unsur-unsur kebelanda-belandaan dalam cerpen ini masih tampak. Pada ejaan dan kaidah yang digunakannya. Latar yang menjadi sentral dalam cerpen ini, sekolah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sekolah di masa belanda juga sangat minim keberadaannya. Mendirikan sekolah di kebun Belanda merupakan efek dari krisisnya sekolah dimasa itu. Sejatinya menjadi prioritas dalam cerpen ini bukan minim keberadaan sekolah, tapi mengenai kehidupan di sekolah tersebut.
/Ada gambar pak Karno, ada pak Hatta, ada Jendral Sudirman, ada kapal laut, ada kapal terbang.../
Momumen bersejarah tidak terlewatkan dalam sekolah mereka. Walau bersekolah di kebon Belanda, semangat nasionalisme masih terjunjung tinggi. Terbukti pula dari watak dalam tokoh Pak Simanjuntak. Dia lebih suka melihat ruangan dan hiasan di sekelilingnya. Dipenuhi lambang bendera merah-putih dan para pahlawan.
Postkolonialisme memandang cerpen ini sebagai bentuk perhatian kita. Pada era begitu rentan dengan lambang merah-putih, mereka masih teguh memperjuangkannya. Sekarang, sedikit orang yang masih menyimpan sifat perasa ‘nasionalisme’ bahkan menjadi barang langka.
Cerpen ini juga menyimpan rekaan-rekaan unik kepada pembaca. Pembaca tidak kehilangan arti. Terlihat pada kutipan singkat dalam cerpennya,
/Kau langsang depan ukuranya uzung zari kita ini kena ke bahu kawan yang didepan. Kalau dibilang tegak, turunkan lagi tangan seperti semula, tidak boleh lihat kanan-kiri... biar ada kapal jatuh dari langit juga tidak boleh tengok. Harus bersiap/.
Kutipan cerpen ini, menjual sesuatu kepada pembaca. Apa itu? Keselarasan dan ketetapan hati (konsisten) dalam bertindak. Teori Postkolonialisme mengamati. Cerpen ini mampu menyembunyikan arti dengan mengemas secara baik dan mengundang gelitik. Pada masa Belanda, bangsa Indonesia memang tidak lari jika sudah berkata, ia. Siap menanggung konsekuensi dari ucapannya. Kemudian sekarang, Indonesia hampir sebagian besar memiliki manusia yang lari dari perkataannya. Lebih memilih menyelamatkan diri sendiri dibandingkan harus memasang badan untuk menyelamatkan kelompoknya. Sungguh miris!
Problemik dalam cerpen ini tidaklah serumit itu. Paling tampak mendasari tokoh dan karakteristik pada cerpen ini, cerita anak-anak kelas dua. Tingkah laku dan kecakapannya lebih mencerminkan nilai-nilai nasionalisme. Bersamaan dengan guru dan orang-orang yang terlibat dalam cerpen. Cerpen ini mengajak pembaca untuk larut dalam alur berbau kolonialisme. Cerita ini menjadi sebuah bahan cakap yang dirasakan dan dituliskan oleh Norman Tamin.
Telepas unsur nilai-nilai dari nasionalisme dalam cerpen Norman Tamin. Saya merasakan cerpen ini terlalu “cerewet” atau terkesan menggurui. Terlihat lebih menekankan dialog-dialog dari sesama siswa sampai kepada gurunya. Penarasian cerita terlalu minim keberadaannya. Ada rasa kebosanan untuk membacanya. Narasi dalam cerpen itu kendatinya dapat membuat pembaca beranalogi tentang cerpen. Tidak sekadar memberi penjelasan dari pemaparan dialog-dialog. Cerita Norman Tamin lebih nampak dialog-dialog antar tokohnya dapat dijadikan sebuah naskah drama yang ditampilkan dalam panggung drama.
Sepertinya kita hampir mendarat. Cerita ini memilih berakhir dengan pertumpahan darah. Pak Simanjuntak menembak orang tua Rajimin, Karyo Benggol, dengan pistol. Orang tua Rajimin bersikeras masuk ke dalam ruangan kelas dengan membawa parang untuk membunuh Pak Simanjuntak. Semua tergambar melalui teori postkolonialisme yang menciptakan dimensi masa lalu berbau kultural sastra serta terdapat problematika kehidupan, emosionalitas dan intelektualitas, fiksi dan fakta yang terdapat dalam karya sastra. Disisi lain, cerita ini didedikasikan untuk kita, pewaris generasi masa kini, agar terus menjunjung nilai nasionalis dalam hidup bermasyarakat.