Oleh: H Sanggup Purba. Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang dikenal sebagal tentara intelektual. Simatupang merupakan salah satu pencetak awal pondasi tentara Indonesia, ia berprinsip militer harus profesional, karena tentara adalah alat negara dan tunduk pada Pemerintahan Sipil.
Simatupang merupakan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI era 1948-1949 dan Kepala Staf Angkatan Perang RI era 1950-1954. Simatupang pensiun dini dari militer pada 1959, kemudian mengisi hari-harinya menjadi aktivis gereja dan pernah menjadi Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia, dan Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.
Tahi Bonar Simatupang dilahirkan di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara pada 28 Januari 1920. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga sederhana. Ayahnya, Simon Mangaraja Soaduan Simatupang, adalah intelektual yang bekerja di Jawatan Pos dan Telegraf, dan pendiri Persatuan Kristen Indonesia, yang kemudian jadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo).
Simatupang lahir sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara. Ia dibesarkan ditengah keluarga dengan tradisi Gereja Lutheran yang kuat namun tetap teguh memegang adat Bataknya termasuk orang yang hobi berlama-lama membaca, atau menulis sesuatu dan selalu tidak lepas dari kacamata. Simatupang menikah dengan Sumarti Budiardjo.
Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, satu diantaranya telah meninggal dunia. Istri Simatupang merupakan adik kawan karibnya seperjuangan, Ali Budiardjo. Simatupang dan Sumarti Budiardjo sudah mulai akrab sewaktu berlangsung Konferensi Meja Bundar.
Simatupang menempuh pendidikan dasarnya di HIS Pematang Siantar dan menyelesaikannya pada 1934. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO Tarutung dan menyelesaikannya pada 1937. Setamat MULO, ia melanjutkan pendidikan ke AMS Jakarta dan menyelesaikannya pada 1940. Setelah lulus AMS, Simatupang kemudian melanjutkan pendidikannya ke Koninklijke Military Academic (KMA) di Bandung. KMA merupakan suatu sekolah militer yang lulusannya akan menjadi anggota KNIL. Simatupang menyelesaikan pendidikan militernya pada 1942 bertepatan dengan masuknya tentara Jepang ke Indonesia.
Ia bersama teman-temannya kemudian di tempatkan Jepang pada Resimen Pertama Jakarta dengan pangkat calon perwira. Ditempat ini, Simatupang berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan Nasional, seperti Ali Budiardjo, lalu mulai aktif dalam diskusi-diskusi tentang makna perjuangan dan kemerdekaan.
Selama perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan, Simatupang bersama Jenderal Sudirman memimpin tentara bergerilya di Jawa Tengah. Aktivitasnya ini kemudian diabadikannya dalam buku Banaran (1980). Selain aktivitas perjuangan fisik, Simatupang juga aktif menjadi penasehat militer dalam perundingan-perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda, seperti dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville dan lantas aktif pula dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogyakarta.
Perundingan Roem Royen pada 1949 Simatupang mewakili Angkatan Bersenjata dalam delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar. Misi utamanya adalah mendesak Belanda membubarkan KNIL serta mengukuhkan TNI sebagai kekuatan inti Angkatan Perang RI. Ketika Jenderal Sudirman wafat, Simatupang tidak lama kemudian dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI.
Terkait dengan perjuangan fisik, renungan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogyakarta pada 19 Desember 1948 kemudian ia tuturkan kembali dalam buku Laporan dari Banaran: "Apakah pagi ini lonceng matinya Republik sedang dibunyikan? Atau Apakah Republik kita akan lulus dalam ujian ini?" Pertanyaan-pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan mengatakan: "Itu tergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken, hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?" Kenyataannya Yogyakarta jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya bersama Jenderal Sudirman.
Dalam perjalanan perang gerilya, Simatupang sering diolok-olok sebagai "Diplomat Kesasar". Karena selama gerilya, ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri yang dipakainya ketika ia menjadi penasehat militer dalam Perundingan Kaliurang dan pakaian itulah yang menempel ditubuhnya ketika berangkat bergerilya.
Simatupang menyebut masa perjuangan kemerdekaan, sebagai “Loncatan pertama” dan itu sudah terlewati. Simatupang kemudian menyusun konsep memfungsikan ABRI sebagai dinamisator pembangunan di masa damai. Simatupang menyebut pemikiran ini sebagai “Loncatan kedua”. Konsep inilah yang kemudian diperkenalkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai Dwi Fungsi ABRI.
Usaha rasionalisasi dan profesionalisasi ABRI yang dilaksanakan TB Simatupang yang bertujuan untuk meningkatkan mutu tentara, mendapat kritik dari para politisi. Pemikiran ini pun berbeda dengan Bung Karno. Perbedaan pendapat yang tajam antara Simatupang dan Bung Karno berakhir dengan dihapuskannya jabatan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RI pada 1954.
Penghapusan ini berawal dari peristiwa 17 Oktober 1952 ketika tentara menghadapkan moncong meriam ke istana dan meminta Presiden membubarkan parlemen. Aksi yang dilakukan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dan kawan-kawan ini membuat Simatupang dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut, sehingga ia dicopot dari KSAP dan dibubarkannya lembaga tersebut.
Letjen TNI Bonar Tahi Simatupang ditawari jabatan sebagai Duta Besar, namun ditolaknya. Ia memanfaatkan waktunya selama 5 tahun, sebelum ia mengundurkan diri dari Dinas Militer, untuk mengajar di Sekolah Staf Angkatan Darat dan Akademi Hukum Militer. Materi pengajaran yang diberikan di kedua sekolah tersebut kemudian ia tulis kembali menjadi buku dengan judul Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981).
Pada 21 Juli 1959, mengundurkan diri dari Dinas Kemiliteran dan sejak itu ia aktif dalam aktivitas keagamaan.
Ia kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Gereja Indonesia. Ia pun pernah mengetuai Dewan Gereja se-Asia dan Dewan Gereja se-Dunia. Selain aktif di bidang keagamaan, ia juga aktif dalam bidang pendidikan, ketika Dr.A.M.Kadarman SJ melontarkan gagasan pendidikan sebuah sekolah manajemen bagi generasi muda Indonesia, Simatupang mendukung ide tersebut dan ide itu diwujudkan dengan mendirikan Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (YPPM) pada 3 Juli 1967.
Yayasan ini didirikan bersama tokoh-tokoh lain, misalnya untuk Dewan Pendiri ada Profesor Bahder Djohan mewakili golongan Islam, Dr.A.M.Tambunan mewakili golongan Kristen, dan IJ.Kasimo mewakili golongan Katolik. Simatupang sendiri kemudian menjabat sebagai Ketua Yayasan yang membawahkan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM).
Selain aktif dibidang pendidikan dan agama, Simatupang juga aktif di media massa. Simatupang menjadi Dewan Redaksi Koran Sinar Harapan yang diterbitkan oleh PT.Sinar Kasih, Simatupang masuk Dewan Redaksi sejak didirikannya hingga pembredelan Sinar Harapan pada Oktober 1986. Tajuk rencana yang ditulisnya sering mendapat penghargaan Adi Negoro.
Dalam kehidupannya, Simatupang merasa ada tiga Karl yang mempengaruhi kehidupannya dan juga pemikirannya, yaitu Carl von Clausewitz, seorang ahli strategi perang, Karl Marx dan Karl Barth, teolog Protestan terkemuka abad ke-20. Seluruh kehidupan Simatupang mencerminkan peranan ketiga pemikir besar itu.
Simatupang kemudian memperoleh gelar doctor honoris causa dari Universitas Tulsa, Amerika Serikat untuk pemikiran-pemikiran ilmiahnya pada 1969. Karya-karya lain dari Simatupang yang diterbitkan antara lain: Soal-soal Politik Militer Indonesia (1956), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Laporan dari Banaran (1980), Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun (1980), Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981), Iman Kristen dan Pancasila (1984), Keprihatinan dan Tekad; Angkatan 45 Merampungkan Tugas Sejarahnya (1985), dan Dari Revolusi ke Pembangunan (1987). Untuk mengenang jasanya, sekelompok cendekiawan menerbitkan sebuah buku memoar dengan judul “Saya Orang yang Berhutang” (1990).
Atas jasa dan perjuangannya terhadap bangsa dan negara, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 68/TK/Tahun 2013 tanggal 6 November 2013. (Profil Pahlawan Nasional). ***