Rechtsstaat atau Machsstaat..?

Oleh: Andi Hakim Lubis. SEPINTAS jika kita merujuk kepa­da Undang - Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat ( 3 ) menegaskan bahwa “Nega­ra Indonesia adalah Negara Hukum”.

Negara hukum yang di­maksud adalah sebuah negara yang dengan tegas mene­gak­kan supremasi hukum untuk kebenaran, keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak di pertang­gung jawab­kan (akun­tabel) baik da­lam penyelenggaraan negara maupun kehidupan ber­bangsa dan bernegara.

Plato dan Aristoteles menafsirkan Negara Hukum adalah negara yang diperin­tah oleh negara yang adil.

Dalam filsafatnya, kedua­nya me­nyinggung angan-angan (cita-cita) ma­nusia yang berkorespondensi de­ng­an dunia yang mutlak yang disebut :

- Cita-cita untuk mengejar kebe­naran (idée der warhead)

- Cita-cita untuk mengejar kesu­silaan (idée der zode­lijkheid )

- Cita-cita manusia untuk menge­jar keindahan (idee der schonheid )

- Cita-cita untuk mengejar keadilan (idée der gorech­tig­heid)

Plato dan Aristoteles menganut paham filsafat idealisme.

Menurut Aristoteles, keadilan dapat berupa komu­nikatif (menjalan­kan keadi­lan) dan distribusi (membe­ri­­kan keadilan).

Menurut Plato yang kemu­dian dilanjutkan oleh Aris­toteles, bahwa hukum yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat mem­be­rikan kesejahteraan bagi masyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan dari penguasa melainkan sesuai dengan kehendak war­ga Negara, dan untuk meng­atur hukum itu dibutuhkan kon­stitusi yang memuat atu­ran-aturan dalam hidup bernegara.

Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyeleng­ga­raan kekuasaan peme­rin­tahannya didasarkan atas hukum.

Dalam negara hukum, ke­kuasaan menjalankan peme­rintahan berda­sarkan kedau­latan hukum (supre­masi hu­kum) dan bertujuan untuk menja­lankan keterti­ban hukum.

Kemudian Pancasila dan UUD 1945 lah yang menjadi orientasi pembangunan hu­kum yang mengarah kepada cita - cita negara hukum, yang sesuai dengan nilai - nilai dan prinsip - Prinsip negara demo­krasi yang konsti­tu­sional.

Negara yang berdasarkan hukum dimaksud dikem­ba­ngkan dan dipakai bukan lah rechtsstaat absolute (ne­gara berdasarkan hukum yang abso­lut) melainkan rechts­sta­at democratic (negara berda­sar­kan hukum yanng demo­kratis ).

Oleh karena itu konse­kuensinya adalah setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk di sebuah negara harus berda­sar­kan dan sesuai dengan hukum yang dipakai negara tersebut.

Ketentuan ini sekaligus diartikan untuk mencegah supaya tidak terjadi kese­wanang-wenangan dan aro­gansi kekuasaan baik yang dilakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk.

Satjipto Rahardjo, 2003 “hukum itu diciptakan bukan semata-mata untuk mengatur, akan tetapi lebih dari itu, untuk mencapai tujuan luhur yakni keadilan, kebahagian dan kesejah­teraan.

Secara umum, setiap negara yang yang menganut paham yang berda­sarkan hu­kum selalu bertumpu, dan mengindahkan prinsip- prin­sip supremasi hukum (supre­masi of law), persa­maan dimata hukum (equality before of law ), dan pene­gakan hukum yang tidak berten­ta­ngan dengan hukum (due process of law).

Dimensi Kehidupan

Prinsip ini sangat erat kaitannya dalam hal penca­pai­an tujuan negara hukum yang demi mene­gakkan ke­be­naran dan keadilan.

Negara yang menganut dan ber­da­sarkan hukum pada dasarnya ber­tujuan supaya mampu melindungi segenap kom­ponen bangsa dan mem­berikan ke­benaran dan ke­pas­­tian bagi seluruh ma­syarakat pencari keadilan karena hukum tertinggi ada­lah kese­jahteraan bagi rakyatnya (salus popu­ly suprema lex).

Kendatipun demikian tujuan hukum untuk kesejah­teraan masyarakat hanya akan tercapai, apabila struk­tur hukum, substansi hukum, budaya hukum dan kondisi sosio kultural masing -ma­sing memberikan andil yang positif dan efek­tif.

Pentingnya hukum dalam setiap di­mensi kehidupan masyarakat dimaksud­kan supaya mampu menjaga per­damaian dan keamanan agar terhindar dari konflik sesama anggota masyarakat.

Menurut thomas hobbes “homo ho­mini lupus “ artinya tanpa hukum manu­sia yang satu bagaikan serigala bagi manusia lainnya. Namun, kalau kita melihat realita yang ada, dewasa ini tujuan negara hu­kum yang sudah diadopsi ke dalam UUD 1945 pasal 1 (3), sangat jauh dari yang kita harapkan.

Hukum disinyalir benar - benar ada dalam titik ketidak berdayaan melawan keang­ku­han sosial dan dominasi politik.

Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai alat kepen­tingan terlebih sebagai alat kekuasaan. Perilaku publik juga sangat tidak merefleksikan nilai-nilai hukum itu secara tepat yang kemudian ber­imbas ke­pada kejahatan yang hari ke hari semakin mening­kat.

Tidak salah jika dasar negara kita seka­rang ini bukan berdasarkan hukum (recht­sstaat) melainkan ber­dasarkan kekuasaan (ma­chs­staat).Hanya orang-orang yang berkuasa yang saat ini yang mempunyai kekuatan penuh di Indonesia .

Kondisi ini semakin di perparah de­ngan banyaknya kejadian-kejadian yang me­libatkan aparat penegak hukum se­perti tindakan aro­gan dan perilaku-peri­laku yang mencerminkan kewiba­waan seorang pengayom.

Hukum juga disinyalir tajam ke bawah dan kemu­dian tumpul ke atas, yang pada akhirnya orang – orang yang berkuasa sesuka hatinya saja untuk membeli dan mem­permainkan hukum itu sendiri.

Kejadian-kejadian ini bisa saja kita cegah dan perbaiki, jika negara Indonesia benar benar mampu mengindahkan prinsip - prinsip supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum yang mempri­oritaskan prisnsip equality before of law ( persa­maan dimata hukum) juga sa­ngat mutlak diperlukan guna me­ngantisipasi terjadi­nya penye­lewengan kekua­sa­an yang berujung tindakan aro­gan penguasa.

Penulis adalah Staf Rektor Universitas Medan Area (UMA).

()

Baca Juga

Rekomendasi