BODONG

Oleh: Prof. Albiner Siagian.

Bodong! Tiba-tiba, kata itu kembali ramai muncul di media, baik di media cetak, seperti surat kabar dan majalah, maupun di media elektronik, tak ketinggalan di media sosial. Pasalnya, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menggerebek acara wisuda yang diduga bodong di Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Salah satu judul beritanya adalah “Kemenristek Dikti Gerebek Wisuda Bodong di Tangsel”.

Menariknya, acara wisuda itu, yang seyogianya akan mewisuda ribuan alumnus, dilaksanakan di Universitas Terbuka Convention Center. Pemilik ruang pertemuan itu adalah Universitas Terbuka yang merupakan perguruan tinggi milik pemerintah. Bisa jadi kejadian ini akan mencoreng muka pemerintah, karena dilakukan di ‘rumah’ pemerintah sendiri.

Melihat judulnya, tak sulit menduga bahwa arti bodong di situ adalah palsu atau tidak berijin atau tidak mengikuti prosedur yang benar. Karenanya, sebelum mencapai tahap wisuda patut diduga bahwa perkuliahan yang diselenggarakan adalah asal-asalan, tak sesuai kurikulum, tak taat waktu, dan sebagainya.

Kata bodong selalu dikaitkan dengan kepalsuan atau yang bernada palsu atau yang ilegal atau yang tak berijin. Motor bodong, misalnya, berarti motor yang tidak ada surat-suratnya. Investasi bodong pastilah bermaksud usaha penanaman modal yang tak jelas ijinnya. Lukisan bodong merujuk kepada lukisan yang dipalsukan. Pokoknya, kata bodong selalu diasosiasikan dengan yang tidak sah.

Tak jelas asal-muasal arti kata bodong berbelok menjadi palsu, atau yang bernada palsu atau tidak sah atau ilegal. Padahal, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan bodong (kata sifat, Bahasa Jawa) sebagai ‘tersembul pusatnya’ atau ‘bujal’. Arti lain kata bodong adalah ’angin kencang’.

Secara medis, bodong adalah keadaan pusar yang menonjol keluar akibat tidak tertutupnya dinding perut dengan sempurna. Biasanya, kelainan ini dialami pada masa bayi dan balita. Sebagian besar bodong akan kembali normal saat anak berumur 3-4 tahun.

Mari kita beranjak kembali ke soal wisuda bodong itu. Barangkali, kejadian ini hanyalah sebagian dari kejadian serupa yang ketahuan. Kemungkinan masih banyak pengelelola pendidikan tinggi ecek-ecek yang mengobral ijazah dengan modus yang berbeda-beda.

Bahkan, dahulu ada yang terang-terangan menawarkan gelar doktoral atau magister dan acara wisuda di hotel berbintang. Tentu saja, pengelola mensyaratkan bayaran sejumlah tertentu. Ada juga yang mengaku-ngaku bekerja sama dengan perguruan tinggi luar negeri. Pokoknya, beragamlah cara ‘bodong’nya.

Pertanyaan klasiknya adalah mengapa masih ada wisuda-wisuda yang seperti di Tangerang Selatan itu? Jawaban sederhana pertama adalah karena ada yang menawarkan dan ada yang membutuhkan (supply-demand). Siapa yang menyediakan? Ya, penyelenggara sekolah tinggi yang antikepatutan, yang antiilmiah, dan yang menghamba kepada uang. Lalu, yang membutuhkan adalah mereka yang gila hormat, yang gemar jalan pintas sesat, dan yang bangga di kepalsuan.

Jawaban berikutnya adalah karena ijazah bodong itu terbukti tidak lagi bodong ketika digunakan. Patut diduga bahwa sebagian dari antara pemilik ijasah bodong itu sudah bekerja. Persyaratan memiliki ijazah tertentu, misalnya ijazah sarjana, untuk menduduki jabatan tertentu atau untuk naik pangkat turut berandil dalam suburnya pencarian ijazah bodong itu. Oleh karena itu, sering kita mendengar ungkapan “Sebenarnya ijazahnya yang penting, bukan ilmunya”.

Lulusan program sarjana, misalnya, sebagai syarat untuk naik pangkat atau menduduki jabatan tertentu tidak salah, bahkan itu diperlukan. Akan tetapi, mengutamakan lulusan pendidikan formal dan menomorduakan kompetensi tentulah tidak baik apabila dikaitkan dengan kinerja. Seharusnya, kompetensi dan kepatutan perolehan ijazah itu haruslah menjadi pertimbangan utama.

Jawaban atas pertanyaan mengapa ijazah yang tak jelas asal-usulnya itu masih diminati adalah jamaknya orang yang gila gelar. Banyak orang yang tak percaya diri kalau tidak memiliki embel-embel gelar itu. Gelar kesarjanaan seolah-olah menjadi penopang sakti untuk rasa percaya diri. Apakah itu diperoleh secara pantas? Itu soal lain. Apakah otak berisi? Itu tak begitu penting.

Kehormatan pun terasa terdongkrak kalau di depan atau di belakang nama tercantum gelar. Kalau perlu, berpanjang-panjang. Makin panjang gelar itu, makin terasa pula sensasi hormatnya. Padahal, kehormatan bukan terletak pada deretan gelar itu. Kehormatan justru berasal dari kelayakan memerolehnya dan tampilan dari si pemilik gelar itu. Kalau gelarnya banyak, tetapi isinya sedikit, bodonglah kehormatan itu.***

Penulis Guru Etos dan Revolusi Mental Bersertifikat.

()

Baca Juga

Rekomendasi