Kerajaan Negeri Perak, Malaysia menjadikan hutan simpanan kayu bakau (mangrove) dan kilang pembuatan arang sebagai salah satu destinasi wisata.
Oleh: Dedy Hutajulu. Hutan mangrove seluas 41.000 hektar itu berada di bawah pengawasan Jabatan Perhutanan Malaysia diperuntukkan khusus untuk daerah wisata. Hutan mangrove berada di lokasi pemukiman nelayan Kuala Sepetang, di daerah Taiping. Pemeliharaan hutan bakau ini diaktakan sejak 1906.
Sebagai daerah wisata, pemerintah telah menyiapkan sarana dan prasarana bagi pelancong untuk menelusuri hutan bakau tersebut.Ada sebuah lintasan dari papan yang dibuat melintasi hutan bakau tersebut, sehingga pelancong aman dari bahaya dan lumpur. Selain jalan, juga tersedia sejumlah petak-petak penginapan atau tempat berteduh dan toilet. Di lokasi ini, pengunjung bisa leluasa mengambil gambar, duduk, berlari bahkan menikmati monyet-monyet bergelantungan. Sedangkan di daerah pesisir, pelancong akan dibawa melintasi arus sungai dan melihat kehidupan para nelayan. Pada musim tertentu, kawanan elang akna berpesta di atas permukaan air menikmati ikan-ikan kecil.
Untuk menuju lokasi bakau ini, dari jantung kota Ipoh, jarak tempuh perjalanan memakan waktu sejam 40 menit dengan bus atau sekira 75 kilometer. Namun ada juga alternatif transportasi lain yang lebih cepat yakni kereta api. Naik si ular besi ini tentu lebih cepat sampai.
“Awalnya, di hutan ini dibuka industri tambang biji timah di lokasi desa Larut Matang pada 1848. Daerah ini kala itu, menjadi satu-satunya industri biji timah. Namun dengan didatangkannya kereta api dengan rute Kuala Sepetang menuju Taiping pada 1884, industri biji timah kian pesat. Kereta api ini menjadi kereta api pertama di Malaysia,” terang Abu Bakar, Pengurus Hutan Bakau Negeri Perak.
Namun semenjak popularitas biji timah merosot, sekarang kereta api itu sudah ditinggalkan orang. Yang tersisa, hanya rel dan stasiunnya saja. “Stasiun Kereta Api Portwell dan relnya itu diabadikan demi menjaga warisan budaya,” terang Abdul Najid Bin Faisal, seorang pemandu wisata.
Untuk pembuatan arang, kata Abu Bakar, kayu-kayu yang dipakai adalah bakau yang sudah berumur 30 tahun supaya kualitas arangnya terjaga dan produk sekundernya bermutu (seperti kosmetik dan obat-obatan serta uap pembuatan arang digunakan untuk spa). Penetapan usia bakau bahan arang itu masuk dalam peraturan pemeliharaan hutan bakau. Dan ada sanksi tegas bagi pihak-pihak yang melanggarnya.
Di sini, cara pembuatan arang masih tradisional yakni dibakar di dapur pembakaran. Hal itu dilakukan demi menjaga kealamian lingkungan sekitar. Proses pembuatan arang ini juga digunakan untuk mencipta obat-obatan seperti Bam, semacam salep untuk obat gatal-gatal akibat gigitan serangga, atau cakul untuk obat sakit perut.
Hutan ini baru aktif dirawat dan dijadikan daerah wisata sejak tambang biji timah tutup, pada 1906. Hutan ini dikelola demi membentengi daratan dari terpaan abrasi air laut. Kini hutannya sangat terawat sehingga tak jarang kawanan ikan lumba-lumba kerap terlihat di perairan dekat mangrove ini. Selain ikan lumba-lumba, kawasan (sanctuary) ini memiliki 85 ribu jenis burung-burung. Pemerhati burung dari seluruh penjuru dunia bahkan rajin datang ke sini untuk sekadar memotret, mendokumentasikan gambar, dan meneliti perkembangan populasi dan aktivitas burung-burung tersebut.
Pihak perhutanan mengawasi secara ketat penebangan kayu bakau untuk bahan baku arang. Usianya tidak boleh lebih muda dari 30 tahun. Bakau berdiameter 8-9 inchi saja yang layak untuk ditebang untuk bikin arang. Pengiriman kayu dari hutan ke kilang untuk diolah dilakukan dengan sampan atau kolek. Untuk satu dapur pembakaran mampu memuat 80 sampai 90 ton kayu. Dan dari satu dapur pembakaran hanya mampu menghasilkan 13-14 ton arang. Berjarak 12 kilometer dari hutan bakau Kuala Sepetang ada perkampungan penduduk. Di sana aktivitas penduduk umumnya sebagai nelayan dan berniaga hasil laut.
Abu Bakar mengatakan, arang-arang dari bakau ini kualitasnya terjamin sehingga telah diekspor hingga ke Jepang, Korea, China dan Hongkong. Saat ini, ada 489 dapur yang diberi izin oleh pemerintah untuk pembuatan arang. Semuanya adalah milik kerajaaan Negeri Perak yang diberikan untuk dikelola masyarakat. Jika ingin menelusuri hutan bakau ini, harus terlebih dahulu melintasi sungai. Perlu naik boat. Tarif satu boat per kepala hanya Rp 15 ringgit. Usaha bisnis boat ini dikelola oleh seorang lelaki bernama Kadis, warga setempat. Setiap penumpang boat akan diberikan jaket pelampung selama melintasi sungai. Dan tarif itu hanya sekali perjalanan.
Syafii (43), warga Malaysia yang datang bersama enam orang anggota keluarganya mengaku sangat puas dengan kondisi hutan bakau tersebut lantaran terawat baik.
Ia menyebut sengaja mengambil cuti kerja dari kantornya demi melancong ke hutan bakau. Ia ingin memperlihatkan ke anak-anaknya betapa indahnya hutan bakau.
“Saya seminggu di sini ingin merasakan alam. Sungai bakau ini salah satu yang paling bagus. Karenanya, saya bawa anak saya untuk melancong demi mengajarkan tentang alam, tentang merawatnya,” pungkasnya. ***