Oleh: Frans Margo. Mudah menebak peradaban seperti apa yang sedang berlangsung di suatu tempat. Salah satu cara memprediksinya adalah dengan mengunjungi toko buku, tepatnya bagian buku best seller non-fiksi.Sampai hari ini, buku masih jadi jendela dunia, walau internet hanya sejauh beberapa klik. Dengan demikian, buku menjadi indikator utama tentang apa yang sedang dipikirkan orang-orang pada umumnya. Bukankah berlaku ungkapan“you are what you read”?
Di berbagai toko buku domestik, penulis (dan kiranya pembaca budiman juga) bisa dengan mudah menjumpai jejeran buku non-fiksi terlaris pada umumnya melibatkan tema “Sukses” & “Kaya”. Ya, kita semua tentu sangat familiar dengan tema buku yang mendorong seseorang cepat kaya. Bisa sekaya apa, tidak ada bisa tahu persis. Tapi, setidaknya pembaca tentu berharap bisa lebih makmur dari kondisi sebelumbaca (apalagi beli) buku yang dimaksud. Syukur-syukur, bisa sekaya sang penulis atau bahkan lebih.Sky is the limit.
Apakah tren di atas salah? Jika salah, bukankah sudah berlangsung dengan tertib untuk sekian lama alias sudah dimaklumi dan dibudayakan oleh zaman? Sebelum menarik kesimpulan, ada baiknya kita melipir ke toko buku negara-negara lain yang notabene memiliki budaya baca yang lebih mengakar dibanding Indonesia.
Pemandangan tentang buku “Sukses” & “Kaya”ternyata jarang ditemui di toko buku mapan di negeri jiran, baik itu Kinokuniya ataupun Popular. Penulis coba memerhatikan bahwa buku-buku di deretan paling depan ternyata adalah buku-buku yang berisi topik“mengubah zaman”. Kriterianya tentu bisa macam-macam, mulai dari buku cara berpikir kreatif, buku membentuk kepribadian yang lebih baik, buku tentang perjuangan orang-orang panutan, buku otobiografi orang terkenal hingga buku-buku fiksi/non-fiksi yang menggugah rasa kemanusiaan.
Jika ada yang masih mendebatkan hal ini, entah itu penulis dianggap subjektif atau hanya sekadar beri pengamatan yang amatir, mari lihat daftar New York Times Best Seller atau di Amazon sekalian. Silakan centang berapa buku yang dengan persuasif mengajak pembaca (baca: pembeli) menjadi cepat kaya.
Ya, penulis akui bahwa Rich Dad, Poor Dad karangan yang katanya gurunya kekayaan Robert T. Kiyosaki sempat menjadi fenomena di mana-mana, tapi setelahnya, tidaklah untuk bertubi-tubi para “pelahap” buku dihantam tema “Anda haus menjadi kaya?”
Fenomena Ingin Cepat Kaya
Menjadi kaya bukan dosa. Mau cepat kaya juga tidak boleh disamakan dengan rakus. Namanya juga manusia ingin hidup nyaman kapanpun dan di manapun. Yang salah barangkali adalah obsesi yang dosisnya kelewat tinggi.
Obsesi menjadi kaya dengan cara apapun melahirkan sikap permisif terhadap apapun yang secara nurani dianggap haram. Lihat saja betapa kosakata “uang sogokan” bisa diperhalus menjadi “uang pelicin”, “amplop”, “apel (Washington/Malang)”, “uang entertainment”.
Oh, ya, daftar istilah ini masih akan semakin panjang karena masih ada saja yang dengan keliru mengira bahwa dosa itu bisa dicuci menjadi seputih salju.
Memang tidak ada studi ilmiah apakah obsesi demikian berhubungan langsung dengan budaya korupsi. Tidak bisa pula penulis langsung tarik kesimpulanbahwa praktik menipu dengan skema Ponzi atau arisan tipu-tipu berhubungan dekat dengan obsesi cepat kaya. Pada faktanya, dari dari zaman krismon hingga kini, ada saja produk-produk menipu dengan skema Ponzi yang digemari masyarakat. Mau saja masyarakat percaya bahwa ada pihak yang bisa memberikan bunga yang lebih tinggi dari bank. Logika saja, jika betul demikian, mendingan seluruh bank di Indonesia ikutan parkir (baca: investasi) uangnya kepada para penipu ini.
Jadi, kembali ke pertanyaan semula, di mana posisi buku yang mengajarkan cara cepat jadi kaya? Apakah mereka salah dengan turut menciptakan peradaban demikian? Hemat penulis, tidak juga. Banyak buku yang isinya bernas dan berkualitas. Prinsip-prinsip yang diajarkan pun praktikal plus mengambil contoh nyata dari tokoh-tokoh yang beneran kaya pula itu.
Cara penulis buku yang bersangkutan antara mencampurkan fakta, opini, imajinasi dan sedikit marketing juga tidak boleh dianggap licik. Bukankah dia sedang mempraktikkan apa yang diajarkannya? Para pembeli buku saja yang tidak sadar telah menjadi layer pertama yang berkontribusi membuat sang penulis tambah kaya; persis seperti apa yang tertulis di buku itu.
Bahkan, penulis patut mengapresiasi para penggubah buku demikian. Kerja mereka tidak mudah. Mereka mesti senantiasa meningkatkan kualitas isi tulisan daripada sekadar mempromosikan kalimat yang bombastis-padahal-nihil. Kreativitas, inovasi dan keberanian bereksperimen diaduk menjadi satu agar bukunya menjadi yang paling menonjol di antara produk serupa. Keberhasilan para penulis buku didasari pada etos yang baik: kerja keras.
Diperdaya Obsesi Sendiri
Kalau begitu, tinggal satu pihak lagi yang patut diberi sorotan, yaitu para penggemar buku demikian. Pembaca yang sehat tentu saja memiliki pisau analisis bagaimana buku tersebut bisa benar-benar menambah kekayaannya.
Tapi, pembaca yang kelewat terobsesi lebih sering ditelan oleh imajinasinya sendiri. Bayangan akan menjadi kaya dengan cara yang lebih mudah dari apa yang sudah dilakukan hari ini telah mengorupsi akal sehat.
Jadi, saat memutuskan membeli buku demikian, ia tidak hanya melakukan judge the book by its cover, tapi juga membiarkan fantasinya mengendalikan rasio. Kira-kira seperti membeli burgerdi restoran siap saji, demikianlah sang penggemar yang obsesif berpikir ia sedang membeli burgeryang bentuknya sesempurna gambar yang ada di brosur. Nyatanya, jauh panggang dari api.
**
Pemikiran penulis di atas bukannya tidak terlintas di kalangan pembaca budiman. Hanya saja, godaan menjadi kaya itu seperti naik roller coaster, sensasinya bersifat adiktif alias lagi dan lagi.
Tentu saja penulis tidak memiliki data apalagi pernah menggalakkan survei apakah buku demikian atau sekalian seminar yang mengajari orang cepat kaya benar-benar berdampak positif pada peningkatan kemakmuran masyarakat di perkotaan Indonesia. Karena jika betul demikian, patutlah pemerintah mendirikan kementerian yang khusus menangani isu penting ini.
Atau memang keinginan menjadi cepat kaya dipicu oleh himpitan ekonomi yang terasa hebat betul belakangan ini. Tapi, ngomong-ngomong, tiket Bon Jovi yang mahal ternyata ludes juga.
Saban minggu di jalanan, penulis juga sering bersua dengan pengendara (entah juga pemilik) motor besar yang harga 1 unitnya bisa setara mobil MPV.
Penulis juga tidak tahu persis apakah gejala obsesi menjadi kaya hanya terjadi di negara berkembang. Entah kalau di negara-negara elit G-8 juga terjadi kasus serupa. Tapi, teringatnya di Medan tercinta ini, angin tren seminar motivasi sepertinya hanya terdengar sayup-sayup. Tidak lagi sekencang beberapa tahun yang lalu. Mungkin tingkat kemakmuran warga Medan sudah meningkat sehingga tidak butuh yang demikian lagi. Tapi, siapa tahu juga ternyata warga Medan cenderung jenuh dan mencari jalan suksesnya sendiri. Toh warga Medan ini bertipe survivor. ***
Penulis adalah pengamat sosial. Twitter: @fransmargo