Menyoal Ucapan Kata “Bodoh” Pada Anak

Oleh: Romagoknim S.Saragih

Menuduh seorang anak dengan mengatakan bodoh! Merupakan suatu tindakan kurang bijak, tidak berdasar, bertolak belakang bila di sandingkan dengan pernyataan Prof. Johanes Surya tidak ada anak yang bodoh yang ada hanya anak yang kurang dapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar. 

Dalam teori bernama ‘labelling’ yakni pemberian julukan, cap kepada seseorang atau sekelompok orang. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Edwin M. Lemert (1951) yang masuk ke dalam sub bagian dalam teori penyimpangan dan konformitas dalam sosiologi.

Menurut Lemert, pada awalnya seseorang tidak lantas menyimpang karena label yang diberikan kepadanya. Ada proses penyimpangan lain yang mendahuluinya sebelum itu. Lemert mengidentifikasi penyimpangan dimulai dengan terjadi penyimpangan primer. 

Penyimpangan primer merupakan penyimpangan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang, misalnya pencuri, menipu, atau membunuh. Saat seseorang tertangkap, misalnya mencuri, maka masyarakat mulai memberikan cap kepadanya sebagai ‘pencuri’. 

Boleh jadi waktu pertama dia mencuri, itu dilakukan karena terpaksa dan bertentangan dengan hati nuraninya. Namun ketika masyarakat terus memberikannya label sebagai pencuri, maka dia mulai melakukan penyimpangan sekunder, yakni dia merasa bahwa ‘pencuri’ merupakan jati dirinya yang sebenarnya. Sejak label diberikan, seseorang yang terpengaruh oleh proses labeling itu akan menganut gaya hidup menyimpang seperti yang diberikan oleh masyarakat kepadanya.

Penyimpangan menyangkut etika berbicara menggunakan kata-kata dikategorikan melanggar batas kewajaran khususnya pemberian julukan, label atau cap kepada seseorang dalam hal ini khusus menyoroti ucapan kata bodoh.

Berdasarkan jajak pendapat dilakukan oleh penulis dalam lingkup satu ruang kelas, dengan jumlah siswa 30 orang, tujuannya untuk mensurvei bagaimana respon peserta didik menyikapi guru yang mengatakan peserta didiknyanya bodoh dalam proses belajar mengajar di sekolah. Ternyata  hasil survey membuktikan satu orang pun tidak mengharapkan dibilang bodoh. 

Masalah ini terkait pengalaman sehari-hari di sekolah dimana masih sering terlontar kata bodoh diucapkan sebagian dari guru pada peserta didiknyanya. Beberapa argumen peserta didik menyikapi ucapan kata bodoh tersebut adalah sebagai berikut : sebaiknya guru memberikan nasihat bukan mengejek mengatakan hal buruk pada peserta didiknya, alangkah baiknya guru itu mengatakan kata yang lebih halus, paling  menggelitik seorang siswa berpendapat “tetanggaku saja bilang saya pintar konon di sekolah guru bilang aku bodoh” dan banyak lagi komentar-komentar berorientasi penolakan dikatakan bodoh oleh guru. Ini sebuah fakta nyata bukan fiktif atau rekayasa penulis dengan mengajukan satu pertanyaan ‘bagaiamana pendapatmu bila kamu dibilang bodoh?’.

Akar masalah munculnya ungkapan bodoh dilatar belakangi berbagai hal. 

Karena Emosi

Kala sedang  emosi ucapan bernada umpatan begitu mudah keluar dari mulut. Tanpa disadari emosi memicu hilangnya kesadaran, membuat pikiran mudah terhasut oleh kata-kata bodoh, emosi begitu menguasai diri membuat tumpah ruah segala ungkapan-ungkapan kurang mengenakkan.

Di rumah tempat dimana memulai aktivitas sehari-hari sejak kecil hingga dewasa telah disuguhi perkataan bodoh berulang-ulang kali (tak terhingga). Kata bodoh bukan hal asing lagi di telinga begitupun di lingkungan masyarakat tak terkecuali di lingkungan sekolah kerap sekali menggunakan kata bodoh. Kebiasaan mengucapkan kata bodoh seakan telah melekat, lazimnya waktu anak-anak jadi sasaran umpatan bodoh dari orangtua di rumah. Setelah dewasa dan gilirannya menjadi orangtua berubah menjadi pelaku umpatan kata bodoh itu sendiri seakan jadi tradisi atau kebiasaan sehari-hari.

Karena Kecewa

Orangtua kerap melontarkan ucapan kata bodoh atau kata umpatan lainnya dalam menyikapi anak yang belum tanggap melakukan sesuatu yang diperintahkan orangtua sehingga orangtua mengungkapkan kekecewaannya atas keadaan tersebut dengan umpatan “Kau bodoh! Itu saja tidak bisa kau lakukan/ kau kerjakan!”. 

Orangtua mungkin tidak menyadari efek menuduh anak dengan ucapan kata bodoh disebabkan oleh faktor emosi, kebiasaan, dan faktor kecewa tersebut. Padahal dampak yang ditimbulkan dari kata ucapan bodoh sangat berpengaruh dalam perkembangan psikologi anak. 

Bagaimanapun mempermalukan orang lain walaupun itu anak sendiri dapat menimbulkan rasa sakit hati, rasa minder, rasa malu, dan lain-lain. Bahkan kalau ucapan kata bodoh secara terus menerus ditujukan pada anak ini boleh jadi awal mula, anak menganggap dirinya tidak berguna. Memungkinkan lama kelamaan anak mulai mempercayai memang demikian adanya dirinya yakni bodoh. 

Rasa percaya anak bisa jatuh ke titik nadir (titik rendah) jika sering dipermalukan terlebih di depan umum. Contohnya, saat seorang peserta didik diminta maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal yang diberikan guru, bukan rahasia lagi sebagian dari guru kurang empati terhadap peserta didiknya yang tidak bisa menjawab soal malah direspon dengan berkata “Begitu mudah soal diberikan, itu saja kamu tidak tahu. Dasar bodoh!”. 

Dalam  menyikapinya sebaiknya guru berkata “Jawabnya belum benar, Nak. Mungkin ada jawaban lain. Coba kamu ingat ada bagian yang kamu lupakan dan lain kali waktu guru menerangkan simak baik-baik ya. Kalau ada yang kurang dimengerti, tanyakan saja.”

Ungkapan sangat menyejukkan dari seorang guru bermanfaat memotivasi peserta didk untuk lebih giat belajar. Tentu semangat belajar bertambah berkat improvisasi guru begitu menyelami apa yang ada di benak peserta didiknya. Guru yang mampu meningkatkan kualitas pribadinya menjadi guru yang cerdas, cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga cerdas spritualnya.

Kadang-kadang kita selalu mencari pembenaran bukan mencari akar permasalahan. Kritik sehat direspon negatif, solusi ditanggapi pasif namanya kurang peka menuju perubahan kearah kebaikan. Ingin peningkatan seiring perkembangan zaman kerjasama yang baik harus diutamakan demi meningkatkan mutu pendidikan. 

Dalam hal ini guru dituntut memiliki sikap yang dapat menumbuhkan suasana belajar menyenangkan. Guru sebagai panutan, guru yang mengayomi dan tentu guru yang dicintai oleh peserta didiknya.

Guru berdedikasi mampu mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik, dengan bentuk pembelajaran kongktret dan penilaian secara komprehensif diperlukan untuk melihat peserta didik dari berbagai perspektif.

Guru diharapkan berani melakukan terobosan atau inovasi baru untuk mendidik peserta didik meski kelihatannya mudah tapi dalam praktiknya rumit. Namun semangat pantang surut guru tetap turut serta berperan aktif dalam meningkatkan dunia pendidikan.

Jelas guru berdedikasi pasti melakukan lebih demi peserta didiknya. Satu tantangan besar bagi guru dalam mewujudkannya.***

Penulis adalah Guru SMP Negeri 1 Sidikalang Kabupaten Dairi.

()

Baca Juga

Rekomendasi