Dalam Seminar Resolusi Jihad PWNU Sumut

Zainul Arifin Pahlawan Nasional yang Terlupakan

Medan, (Analisa). Sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr Phil lchwan Azhari MS mengatakan, sekalipun Zainul Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional asal Sumatera Utara (Sumut) sejak 1963, dan namanya sudah diabadikan menjadi nama jalan di Kampung Madras (Kampung Keling) Medan, dan kota-kota lainnya, tapi sosok tokoh NU ini tidak dikenal oleh sebagian besar orang terdidik di Sumut termasuk warga NU.

“Pembalajaran sejarah yang terlalu Jakarta sentris telah menyebabkan tokoh seperti Zainul Arifin tidak dikenal di tanah kelahirannya sendiri. Karenanya, perlawanan dan koreksi terhadap memori nasional perlu dilakukan," kata Ichwan saat menjadi narasumber pada seminar "Peringatan 70 Tahun Resolusi Jihad" yang digelar di aula kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), Jalan Sei Batanghari Medan, Kamis (22/10). 

Dalam seminar yang digelar dalam rangkaian Hari Santri Nasional ini, juga berbicara Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI Drs H Marwan Dasopang. Seminar dipandu Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara (UNUSU) Medan Prof Ahmad Rafiqi Tantawi. 

Padahal, kata Ichwan Azhari, sebelum menjadi Panglima Laskar Hizbullah di Pulau Jawa, kemudian menjadi wakil perdana menteri Indonesia, Ketua DPR-GR, dan politisi Nahdlatul Ulama (NU), Zainul justru lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909 dan menghabiskan masa kecilnya di Sumut. 

"Zainul Airifn menempuh pendidikan di Pesantren Musthafawiyah Purba baru, Mandailing. Kendati dia sekolah agama, tapi ia piawai berbahasa Belanda dan Jepang. Dia tokoh inspiratif, karena mampu menepis imej bahwa santri hanya bisa berbahasa Arab dan pakai kain sarung, serta tidak bisa bersaing dengan dunia modern," ungkap Ketua Pusat Studi Sejarah dan llmu-ilmu Sosial (Pussis) Unimed ini.

Peraih doktor sejarah budaya Universitas Hamburg, Jerman ini  mengatakan, Zainul justru mendapat pelatihan pertama oleh tentara Jepang. Karena kemenonjolan dan ketangkasannya, membuat dia diangkat sebagai komandan batalion dan kemudian menjadi Panglima Hizbullah, suatu wadah perjuangan pemuda Islam 1942-1945.

Anggotanya yang ribuan orang sebagian besar mengikuti pendidikan militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat, membuat Zainul Arifin sangat disegani baik oleh tentara Belanda maupun Jepang. Apalagi dia punya pasukan yang terlatih dan militan.

Strategi Militer

Dikatakan, Zainul Arifin adalah seorang ahli strategi militer yang luar biasa. Karenanya, ketika TNI menjadi tentara profesional, Zainul Arifin dipercayakan merestrukturisasi ABRI di era Presiden Soekarno.

"Kalau Bung Tomo yang memimpin peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah orator di radio dan mimbar. Sedangkan Zainul Arifin langsung memimpin pertempuran melawan penjajah. Karenanya, Zainul Arifin merupakan aset penting bangsa Indonesia dan NU. Dia ahli strategi militer yang luar biasa," ucap Ichwan Azhari. 

Ichwan kemudian meminta Anggota DPR Marwan Dasopang agar menggaungkan pelurusan sejarah tentang Zainul Arifin di DPR. "Jangan lagi pembalajaran sejarah terlalu Jakarta sentris sehingga menyebabkan tokoh seperti Zainul Arifin tidak dikenal di tanah kelahirannya sendiri," tandasnya. 

Anggota DPR RI H Marwan Dasopang mengatakan, paparan dari sejarawan Ichwan Azhari telah menggelitik dan membuka mata, peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober tidak main-main. Artinya, ada tokoh NU dari Sumut, yakni Zainul Arifin yang menjadi motor pertempuran melawan kolonialisme. Pasukan tempur yang dipakai Bung Tomo melawan penjajah di Jawa Timur ternyata pasukan Hizbullah yang dipimpin tokoh NU asal Sumut Zainul Arifin. 

"Karenanya, saya akan membawa sejarah ini ke DPR agar dimasukkan dalam buku sejarah nasional. Saya akan mendorong Komisi X agar kiprah Zainul Arifin dimasukkan dalam sejarah nasional sehingga menjadi bagian dari penggalan-penggalan sejarah yang utuh dalam mempertahankan kemerdekaan RI," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB ini. 

Ketua PWNU Sumut H Afifuddin Lubis kepada wartawan mengatakan, seminar ini digelar untuk mengungkap benang merah yang kuat antara Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 dengan peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya. 

"Resolusi Jihad yang difatwakan Hadratus Syekh KH Hasyim Asya'ari menjadi motivasi kuat bagi masyarakat Jawa Timur untuk melaksanakan perang melawan kolonialisme yang mencoba bercokol kembali di Republik Indonesia," tutur Afifuddin, didampingi Ketua Panitia Seminar Ir Baharuddin Berutu dan Wakil Sekretaris PWNU Sumut Drs H Khairuddin Hutasuhut. 

Dia menyampaikan terimakasih kepada Presiden Joko Widodo yang telah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. (sug)

()

Baca Juga

Rekomendasi