Jong Bataks Art Festival

Sebuah Eksistensi Kearifan Lokal

Oleh: Hayyun Kamila Humaida.

Perhelatan Jong Bataks Arts Festival dimulai sejak tahun lalu. Kegiatan budaya ini dicetuskan anak-anak muda yang memiliki kepedulian akan keberlangsungan seni tradisi di Sumatera Utara, khususnya Batak.

Berangkat dari kegelisahan terhadap kondisi nilai-nilai kearifan lokal budaya Batak yang telah terkikis modernisasi. Ada hal lain menginspirasi perhelatan Jong Bataks Arts Festival ini. Fakta sosial di masyarakat Batak terdiri dari beberapa enam subetniknya. Toba, PakPak, Karo, Simalungun, Mandailing dan Angkola.

Dengan fakta sosial ini, pekarya-pekarya muda melakukan pendekatan budaya untuk merawat eksistensi kearifan lokal yang ada di masyarakat Batak. Mereka mengikrarkan diri sebagai pekarya-pekarya yang berjuang menegakkan kembali nilai-nilai kearifan lokal Nusantara. Pekarya itu berhimpun dalam sebuah wadah yang bernama Rumah Karya Indonesia. Harapan yang mencuat dalam benak mereka, tentu tegaknya kembali nasionalisme berbasis budaya leluhur di Indonesia.

Dari pemikiran pekarya-pekarya muda ini gelaran Jong Bataks Arts festival bermaksud mempersatukan dan melestarikan kembali budaya-budaya. Tentunya dari subetnik-subetnik Batak yang nyaris tergerus oleh pesatnya arus modernisasi dengan segala kecanggihan yang melenakan.

Bukan hanya pekarya-pekarya muda Batak tergabung dalam gerakan kebudayaan ini. Pekarya-pekarya muda berasal dari habitat suku lainnya di Sumatera Utara, turut ambil bagian. Cita-citanya demi merawat dan melestarikan eksistensi kearifan lokal suatu entitas budaya.

Sebegitu kritiskah kondisi nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam khasanah budaya Batak? Sangat kritis. Semua sisi kehidupan dari tatanan kehidupan masyarakat Batak telah terkikis. Sebabnya kurang pedulinya masyarakat Batak terhadap pelestarian budayanya sendiri, terutama mereka yang berada di perantauan.

Generasi Batak hampir kehilangan jati dirinya akibat modernisasi. Jong Bataks Arts Festival mencoba mengembalikan lagi nilai-nilai lokal budaya Batak dari semua sisi yang mulai tidak terlihat lagi. Jong Bataks Arts Festival menempatkan posisi nilai-nilai lokal budaya Batak dalam peta kebudayaan Indonesia, sehingga generasi muda dapat melihat bahwa budaya Batak punya nilai di Nusantara.

Jong Bataks Arts Festival, memiliki visi menyatukan enam subetnik Batak dalam satu ruang. Publik bisa menjadikan Jong Bataks Arts Festival sebagai media pembelajaran tentang budaya Batak. Bagaimanapun budaya Batak harus tetap dilestarikan sebab jika tidak maka keturunan dari suku Batak tidak dapat mengenali kearifan budayanya sendiri.

Walaupun berlatarbelakang etnis, pekarya-pekarya muda mencetuskan Jong Bataks Arts Festival tidak memisahkan diri dari sejarah pergerakan pemuda nasional kala itu. Jong Batak bersama beberapa organisasi kepemudaan lain yaitu Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon. dan sebagainya. Semua menjadi satu bukti bahwa Organisasi kepemudaan memiliki jiwa nasional yang solid. Kuat dan bercita-cita menuju kemerdekaan. Dibuktikan, Jong Batak menjadi salah satu panitia Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928.

Perhelatan ini sebagai media refleksi pemuda-pemuda Sumatera Utara memaknai sumpah pemuda. Sumpah Pemuda bertujuan untuk menanamkan kecintaan para pemuda Indonesia pada kearifan lokal budayanya. Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010) kearifan lokal, sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis. Berkembang dan diteruskan populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.

Saya menyimpulkan, kearifan lokal merupakan produk budaya masa lampau yang patut secara terus-menerus dilestarikan. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dianggap universal. Dalam kearifan lokal, seni tradisi termasuk bagiannya yang wajib dirawat eksistensi keberlangsungan hidupnya.

Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Jika dikaitkan dengan sumpah pemuda, pemuda-pemuda Sumatera Utara banyak yang berperan dalam terjadinya peristiwa bersejarah di era 20-an. Di antaranya; Amir Syarifuddin, Djamin Ginting, Siddiq Sitompul (S. Dis), Merari Siregar, Sanusi Pane, dan masih banyak lagi.

Pekarya-pekarya muda Jong Bataks Arts festival mencoba membongkar kembali kisah-kisah heroik para pemuda Sumatera Utara yang berjuang keras dalam persatuan dan kesatuan demi menegakkan nasionalisme di Indonesia.

Pemuda memang selalu hangat dibicarakan. Hal itu disebabkan dinamika yang dimiliki pemuda dalam berinteraksi dengan situasi budaya di sekelilingnya selalu tinggi. Tak heran jika Soekarno berkata: “beri aku sepuluh pemuda, akan aku guncangkan dunia”. Pemuda itu jangan didefenisikan dari sisi usia. Pemuda sosok yang selalu memberikan gagasan-gagasan pembaharuan dan tindakan nyata ke publik. Memiliki semangat dan kekuatan untuk melakukan terobosan kebudayaannya.

Pada era 20-an pemuda-pemuda Sumatera Utara banyak menghasilkan karya-karya seni diantaranya; sastra, teater, perfilman dan juga percetakan buku. Sekarang, sangat jarang pemuda-pemuda Sumatera Utara memiliki pengaruh dan kekuatan pembaharuan terutama di bidang kebudayaan. Kalau di bidang kebudayaan saja tidak memiliki kekuatan untuk menjaganya, bagaimana mungkin untuk meningkatkan atau melestarikannya?

Perlu kita realisasikan, bagaimana melestarikan kembali budaya Batak yang sudah tergerus di zaman modern. Sumatera Utara memiliki sumber daya alam melimpah, kebudayaan besar dan manusia yang banyak. Itu bisa dilihat dari letak geografis, suku bangsa dan kapasitas manusianya. Semua dapat dimanfaatkan oleh pemuda-pemuda Sumatera Utara untuk meningkatkan kembali kearifan lokal budayanya.

Generasi Muda dan Eksistensi Budaya Batak

Generasi muda, penerus bangsa yang kelak akan menjalani peristiwa hidup selanjutnya. Bagaimana kehidupan dan nasib suatu kebudayaan di masa datang dapat dilihat dari generasi muda sekarang. Kebanyakan generasi muda enggan mempertahankan kebudayaan atau kearifan lokal suatu negara dikarenakan telah mengikuti zaman modern. Sebagaimana yang dikatakan Jhon Fawer Siahaan (Direktur Rumah Karya Indonesia); “Generasi muda kehilangan eksistensi terhadap nilai-nilai tradisi Nusantara. Mudah dijual atau diombang-ambingkan isyu modernisasi yang tidak berpijak pada kearifan lokal. Banyak generasi yang tidak bisa bahasa Batak. Filosofis Batak juga tidak dipahami. Alhasil Batak hanya dijadikan simbol.”

Menganggap zaman modern lebih keren dibanding zaman doeloe. Membuat generasi muda lebih mencintai karya/budaya negara asing dibandingkan budayanya sendiri. Misalnya, generasi muda Batak saat ini lebih senang bermain alat musik dari barat dibandingkan uning-uningan. Membuat pemuda-pemuda Batak tidak mengenali alat musik tradisional sendiri.

Secara kasat mata, pemuda yang hidup di zaman modern mulai terlepas dari budayanya. Mereka telah kehilangan ruh dan jati dirinya sendiri. Melalui Jong Bataks Arts Festival, diharapkan mampu mengumpulkan pemuda-pemuda Sumatera Utara. Terdiri dari keanekaragaman suku, agama, ras dan antar golongan. Untuk merealisasikan kembali budaya yang ada sejak nenek moyang dulu agar tidak tergerus dan hilang.

Jong Bataks Arts Festival pernah digelar di Taman Budaya Sumatera Utara pada tanggal 25 Okrober - 01 November 2014. Kegiatan ini merupakan swadaya yang digalang Rumah Karya Indonesia. Jong Bataks Arts Festival memberikan ruang dalam mewujudkan cita-cita pemuda Batak mencintai budaya sendiri. Komunitas-komunitas seni yang ada di Sumatera Utara turut berkontribusi dan berpartisipasi.

Pada 2015 dengan mengusung tema Batakulturasi Nusantara, Jong Bataks Arts Festival merangkul berbagai komunitas seni yang berlainan genre. Lain latar belakang budaya, suku, agama dan ras. Mereka bersatu padu mewujudkan ruang bagi eksistensi kearifan lokal budaya yang ada di Nusantara, khususnya Batak.

Komunitas-komunitas seni ini menunjukkan identitas budaya dalam berbagai pertunjukan tari, teater, musik, sastra, rupa, fotografi dan sinematografi. Semua pertunjukan seni yang berlangsung dari tanggal 27-31 Oktober 2015 bertujuan mempromosikan, media pendidikan dan wisata budaya nilai-nilai kearifan lokal budaya Batak.

Ada Idris Pasaribu, Martogi Sitohang, Hendrik perangin-angin, Murni Surbakti, Sultan Saragih, Mangatas Pasaribu, Togu Sinambela, Cecep, Farida Lisa Purba, Atok, Jimmy Siahaan, Adie Damanik, Salomo Fericho Purba, Depi Tarigan, Ferdinand Sibagariang, Hareanto Simatupang, Renjaya Siahaan, Safrizal Yofie, Sofian Sagala, Bayu Sagala, Bunda Djibril Dzuhra, Jones Gultom, Markus Sirait, Tampe Mangaraja Silaban.

Dari komunitas, Teater Rumah Mata, Lae 2 Rocks, Kramat USU, KSI Medan, Otala n Friends, Teater Rengget Berastagi, Simalem Arts, Teater Anak Negeri, SH’82, Dongan’s Project, Medan Blues Society, Kalila Project, Forum Anak Muara, Komunitas Peduli Anak dan Sungai Deli Sumut, Sinar Budaya, Sabry Gusmail, Medan Heritage, Seroja 150 (binaan SOS Medan), The Bamboes, Thrisda (Teater Islam Pesantren Darul Arafah), Teater Oteta Marthadinata, Samoland Dance, Sanggar Kreatif Naposo Nauli (Siantar), Sanggar New Jolo (Samosir), Filsafatian, Dihar Simalungun, 9 Finalis Festival Film Pelajar Sumut.

Jong Bataks Arts festival bukanlah satu-satunya gerakan kebudayaan yang hendak melestarikan eksistensi nilai-nilai kearifan lokal budaya Batak dan kita tidak bisa berpangku tangan membiarkan pekarya-pekarya muda tersebut berjuang sendiri. Seluruh elemen masyarakat di Sumaera Utara harus saling bahu membahu merawat dan melestarikan kearifan- kearifan lokal yang telah diwariskan oleh para leluhur kita.

Lewat inspirasi yang diberikan oleh perhelatan Jong Bataks Arts Festival, sebenarnya kita bisa memulai gerakan melestarikan eksistensi kearifan lokal dari diri kita sendiri. Misalnya, kita membiasakan diri mengenakan pakaian tradisi dalam berkegiatan sehari-hari dan mempelajari bahasa daerah selain bahasa asing.

Masyarakat Bali dalam merawat budayanya. Pemerintah provinsi ataupun kota bisa juga menerapkan kebijakan setiap gedung pemerintahan, kantor, restoran, hotel, berarsitektur simbol suku yang ada di Sumaera Utara, khususnya Batak. Pemerintah provinsi Bandar Lampung, sudah melakukannya.

Akhirnya tanpa ada kesadaran setiap pribadi, upaya yang dilakukan pekarya-pekarya muda dalam Jong Bataks Arts festival untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal budayanya hanyalah upaya membelah angin.

()

Baca Juga

Rekomendasi