Oleh: Jenny Gichara.
Sumpah Pemuda akan selalu dikaitkan dengan bahasa, bangsa, cinta tanah air atau semangat nasionalisme. Di bulan yang dianggap identik dengan bulan bahasa, juga sering diadakan pameran, lomba-lomba seperti baca puisi dan cerpen, lomba membaca, mendongeng, menggambar, pidato, dll. Semua itu bertujuan untuk menguji kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia dan sekaligus menilai sejauh mana kita menguasai bahasa ibu di negeri sendiri.
Saat membicarakan bahasa, tentu saja kita teringat akan bahasa Indonesia, bahasa kebanggaan tapi sekaligus menjadi bahasa yang mulai ditinggalkan oleh generasi masa kini. Mengapa? Sebab saat ini, bangsa kita sudah semakin berkurang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai bahasa pengantar, bahasa baku, yang mengantarkannya menjadi bahasa ibu.
Faktanya sekarang, bahasa Indonesia sudah terkontaminasi dengan bahasa-bahasa asing sehingga tidak bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Ke-Indonesiaan yang diharapkan ada dalam bahasa Indonesia itu justru semakin lama semakin tergerus dan bertambah pudar. Bukankah ini mengkhawatirkan kita sebagai bangsa?
Belajar dari Negara Penganut Nasionalisme
Padahal, saat ini kita sedang menggalakkan bahasa Indonesia agar dapat menjadi bahasa internasional supaya setiap pengunjung atau investor yang ingin bekerja sama dengan Indonesia wajib bisa berbahasa Indonesia. Kita sebaiknya belajar dari negara-negara yang menerapkan prinsip/azas nasionalisme di beberapa negara Eropa (Perancis, Jerman, Belanda, dsb.) dan negara Asia sehingga setiap orang yang ingin berkunjung ke sana paling tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat.
Mereka justru bangga berkata, “I am sorry. I don’t speak English.” Hal itu berarti mereka sangat cinta dengan bahasanya dan ingin agar orang lain mempelajari bahasanya. Namun, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Rasa bangga memiliki bahasa Indonesia harus dimulai dari diri kita sendiri. Hal itu dapat dilakukan oleh pemerintah dengan menghimbau bangsanya untuk mencintai bahasa Indonesia dalam kehidupansehari-hari.
Coba simak kata-kata seperti berbondong-bondong, merana, mengemukakan, bersekongkol, memberondong, mujarab, bergerombol, berkhasiat, nafsu, balai, dan lainnya sudah mulai sulit dipahami anak-anak sekolah, baik di tingkat SD maupun SMA. Padahal, kata-kata ini sebenarnya biasa diucapkan dalam percakapan sehari-hari.
Saya sendiri sangat akrab dengan istilah tersebut sejak kecil sehingga tidak pernah melupakannya hingga sekarang. Namun, karena kata-kata ini mungkin sudah tidak populer lagi, anak-anak menjadi asing mendengar dan sulit memahaminya. Andai kata-kata itu sering diucapkan, tentulah anak-anak tidak perlu bingung.
Anak-anak di rumah sudah terlalu sering menggunakan percakapan secara bilingual bahkan trilingual dengan orang tua atau anggota keluarga mereka sehingga nyaris melupakan bahasa ibu.
Menjelaskan kata-kata langka ini di depan siswa cukup menghabiskan waktu karena kita harus menjelaskannya dalam bentuk kalimat supaya dapat dimengerti. Misalnya, saat anak bertanya kata “khasiat”, kita harus membuat contoh seperti: Makanan bergizi berkhasiat untuk menyehatkan tubuh. Jadi, berkhasiat artinya bermanfaat/berguna. Anak-anak datang bergerombol ke pesta ulang tahun Tommy. Bergerombol di sini artinya berkelompok. Hari ini saya tidak bernafsu untuk makan. Nafsu di sini berarti selera.
Contoh-contoh di atas sering kita temui dalam pembelajaran bahasa Indonesia, terutama bila anak-anak menggunakan buku yang ditulis oleh para pengarang senior. Tampak anak-anak sangat sulit mencerna arti setiap kata-kata yang tidak lazim diucapkan dalam percakapan harian.
Sedihnya lagi, buku-buku yang digunakan di sekolah swasta atau negeri sering kurang update sehingga beberapa istilah dalam bidang teknologi dan alat komunikasi yang sudah tidak digunakan saat ini masih terus dipakai sebagai contoh pembelajaran. Akibatnya, guru sulit menjelaskan dan memberikan contoh kongkritnya pada siswa.
Alat komunikasi seperti surat, telegraf, telegram, wesel pos, warkat pos, kartu pos, dsb. sudah tidak digunakan lagi saat ini, namun penulis buku-buku pelajaran masih sering menggunakannya tanpa memperhitungkan tujuan dan manfaat pemberian contoh kepada para pembaca. Padahal alat-alat komunikasi itu sekarang sudah berubah menjadi media sosial seperti hadirnya sms, bbm, line, WA, facebook, twitter, instagram, dll. Alat komunikasi sehari-hari sudah lebih sering menggunakan HP ketimbang telepon rumah maupun surat. Akhirnya, yang timbul adalah kebingungan dari anak-anak yang justru dapat menghambat kecintaan terhadap bahasa Indonesia itu sendiri.
Pengaruh Bilingual dan Trilingual
Suatu kali, saya iseng-iseng bertanya kepada siswa SD mengapa kata-kata yang begitu mudah dan sederhana pun sulit dimengerti oleh mereka. Saya cuma menebak kira-kira apa jawabannya.
“Pasti kamu akan menjawab karena Mami sering bicara bahasa asing pada saya, Miss.” Misalnya: “Apakah kamu sudah study English?” Nanti, Mami ngajak kamu shopping dan kamu bisa buy something, gitu.”
“Saya mau double check barang-barang itu.”
“See you, ya?” “Begitukah bahasamu sehari-hari dengan Mami?” tanya saya pada siswa tersebut. Jawabannya sungguh mencengangkan dan mendelikkan mata.
“Ya, emang begitu, Miss. Kami udah biasa ngomong seperti itu. Kami saja jarang berbahasa Indonesia di rumah. Kami lebih sering berbahasa daerah atau Inggris.” Coba, hati siapa yang tak miris mendengar jawaban seperti itu?
Masih syukur rasanya bila ia total berbahasa asing tanpa dicampur-campur dengan bahasa Indonesia sehingga kelihatan hasilnya. Namun, kalau bahasanya dicampur-aduk begitu ‘kan justru menyulitkan pemahaman anak-anak karena mereka tidak akan paham lagi asal-usul kata atau bahasa asli atau kata dasarnya. Beberapa faktor inilah yang kemungkinan besar menimbulkan dilema dalam berbahasa. Bahasa Indonesia, antara dibutuhkan dan ditinggalkan.
Mengapa kita tidak mengatakan: “Saya mau periksa lagi barang-barang tersebut.”
“Sampai jumpa, ya?” Dengan demikian, kalimat-kalimat aneh yang bercampur-aduk dengan bahasa asing pun tidak perlu mengganggu bahasa Indonesia.
Memang si penutur akan tampak keren bila terdengar berbahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa asing, padahal sebenarnya tidak karena kita secara tak langsung sedang merusak bahasa kita sendiri. Bila kata-kata itu merupakan unsur serapan, sebenarnya tidak masalah karena justru menambah perbendaharaan kosakata. Jadi, sebenarnya apakah kita masih cinta dengan bahasa Indonesia?
Nah, itu masih persoalan bahasa Inggris yang sering dicampur-aduk dengan bahasa Indonesia. Bagaimana dengan bahasa asing seperti bahasa Perancis, Mandarin, Belanda, Jerman, Arab, India, Jepang, Korea, dll.? Bisa dibayangkan ‘kan bagaimana kacaunya bahasa Indonesia di masa depan. Wajarlah bila anak-anak menjadi miskin dengan kosakata. Ketika siswa diminta menulis pada pelajaran bahasa Indonesia, siswa cukup kesulitan mengembangkan karya tulisnya karena keterbatasan kosakata. Ini bisa terjadi karena penggunaan bahasa asing kembali muncul dalam tulisan-tulisan beberapa siswa sehingga menyamarkan keindahan berbahasa Indonesia.
Mencintai Bahasa Sendiri
Jadi, bila kita ingin terus mempertahankan dan memperluas bahasa kita, tak ada jalan lain kecuali kembali mencintai bahasa Indonesia tanpa syarat. Caranya bagaimana?
1. Gunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.
2. Jangan mencampur-aduk bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
3. Hindari terlalu banyak menggunakan banyak bahasa gaul
4. Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam acara formil.
5. Rajin mengikuti berbagai lomba yang berkaitan dengan bahasa.
6. Jangan malu berbahasa Indonesia di negara lain.
7. Suatu masa mewajibkan bahasa Indonesia bagi pelancong/pebisnis yang berasal dari negara lain supaya bahasa kita semakin dikenal.
8. Menguasai banyak bahasa asing itu perlu, tapi jangan sampai melupakan bahasa sendiri sebagai ciri khas bangsa Indonesia.***
Penulis adalah pengajar dan Penulis.