Oleh: Riduan Situmorang
Tulisan sederhana ini terinspirasi dari Happy Wedding-nya Hari Murti yang dimuat di harian ini pada 4 November kemarin. Terinspirasinya-sebenarnya lebih tepatnya tersentuh-oh benar juga, ya, ternyata selama ini kita dominan menggunakan bahasa Indonesia ketika sedang berduka. Bahasanya bahkan hampir seragam pula itu: turut berduka cita, hampir tak ada istilah lain (sebenarnya, tulisan berduka cita harus digabung menjadi berdukacita).
Dan, ketika kita bersuka, bahasanya menjadi sangat beragam dan kreatif. Ada happy, congratulatioan, selamat, dan masih banyak lagi. Apa itu artinya bahasa Indonesia khusus untuk berduka dan kemalangan? Sementara, bahasa asing untuk sebuah kemewahan? Apa itu artinya, bahasa kita tak cukup menggambarkan kebahagiaan, tetapi cukup tepat menarasikan kemalangan? Apa itu pula artinya, bahasa kita bahasa “kacangan” yang hanya cocok untuk berita yang menusuk-nusuk hati?
Pada 28 Oktober, tepat pada perayaan hari Sumpah Pemuda kemarin, saya dipercaya menjadi moderator pada sebuah seminar yang bertajuk “Menjadi Guru Kreatif dan Berkarakter” di Hotel Putra Mulia. Seminar ini diselenggarakan oleh mahasiswa Pascasarjana UH Nommensen yang menurut saya sangat kreatif, yaitu Rudi Salam Sinulingga dan dihadiri oleh ratusan peserta. Mulai dari dosen, guru, dan mahasiswa.
Pada kesempatan itu, salah satu pembicaranya adalah Mindawati Peranging-angin. Dia sudah malang melintang di berbagai benua. Ketika membacakan profilnya, saya bahkan “menyerah” saking banyaknya negara yang dikunjungi. Dia mendapatkan gelar Ph.D dari Drew University, Madison, NJ, Amerika Serikat. Berbicara pada teman-teman panitia, dia dominan berbahasa Inggris. Katanya, bahasa Inggris menjadi “keharusan”, apalagi kini kita akan segera menyongsong MEA.
Pada saya, mulanya-belakangan, dia keceplosan sesekali-dia juga berbahasa Inggris. Saya mengerti sedikit-sedikit untuk tidak mengatakan mahir, tetapi saya masih lebih mengerti posisi saya sebagai pengajar bahasa Indonesia sehingga dengan “halus” saya mengatakan, saya tak mengerti bahasa Inggris. Alasan saya sebenarnya, selain alumnus dari Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dari Unimed, pesertanya juga orang Indonesia dan seminar itu diadakan di Indonesia juga.
Apalagi pada hari yang sama, tulisan saya “Bagaimana Memaknai Bulan Bahasa?” juga sedang terbit di Bandung. Apakah saya harus mengkhianati bahasa Indonesia. Tidak! Dan tentu saja sangat tak elok kalau kombur-kombur itu didominasi bahasa Inggris, begitu saya berpikiran. Tetapi sudahlah!
Yang saya tangkap dari kenyataan itu adalah sudah ada gejala bahwa bahasa Indonesia kini hampir terpinggirkan. Dan, peminggiran itu dilakukan secara sengaja oleh orang kita demi alasan kemajuan. Saya dalam hati berteriak, apakah kita tak mampu bersaing dan maju hanya dengan bermodalkan bahasa Indonesia saja? Saya tak benci bahasa asing. Pada Road Show Opera Batak to Europe (Nah, bahasa asing, kan?), saya sering, kok, berbahasa Inggris. Sangat sering karena saya mengerti, mengucapkan bahasa Indonesia di sana pasti ibarat berbicara kepada tembok!
Di Perancis, ketika kami ke Paris, bahasa Inggris yang kita dewa-dewakan itu ternyata “mental” pada banyak orang. Ternyata orang Prancis sangat setia pada bahasanya. Mereka, menurut saya, ibarat militansi bahasa. Negara semaju Prancis ternyata tak berkembang karena bahasa Inggris. Nah, apakah Indonesia tak bisa maju dengan bahasa Indonesia seperti Prancis maju dengan bahasanya? Atau boleh juga dengan bahasa asing, tetapi, apakah harus meminggirkan bahasa Indonesia, seperti kata Hari Murti, untuk kasus-kasus kemalangan saja? Aduh, malang sekali nasib bahasa Indonesia!
Sesuai Konteks
Sudahlah, terlalu panjang curhat saya di sini. Padahal, inti tulisan ini bukan curhat! Ini tinjauan bahasa. Seperti judul di atas, pemakaman atau permakaman. Silakan nanti berziarah pada hari Pahlawan nanti! Lihat, apa yang tertulis di sana? Pemakaman atau permakaman? Saya yakin, yang tertulis adalah pemakaman. Kalau tidak, syukurlah, berarti kita melalui pemerintah sudah mulai jeli dan cinta pada bahasa Indonesia.
Pasalanya, pemakaman dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah tempat kita berziarah.
Pemakaman lebih cenderung pada sebuah proses. Bagaimana menziarahi sebuah proses? Jadi, ada lebih baiknya, sebelum terlambat, sebelum melahirkan kebimbangan, kita memilihkan nama yang tepat, yaitu permakaman. Karena di kamus, arti permakaman langsung mengarah pada tempat. Di KBBI, permakaman diartikan sebagai tempat memakamkan. Sementara pemakaman mempunyai dua arti sekaligus: tempat mengubur dan proses, cara, perbuatan memakamkan.
Saya tak mau kejauhan yang lalu mengatakan bahwa kata pemakaman yang kita gunakan salah meski memang lebih cenderung salah. Hanya saja artinya nanti bisa menjadi bias. Beda halnya dengan permakaman yang langsung mengarah ke tempat. Saya sebut dalam bahasa Inggris, to the point istilahnya. Atau, supaya ada alasan yang lebih sahih, mari kita komparasikan dengan imbuhan lain kata permakaman dan pemakaman itu.
Permakaman, misalnya, lebih dekat hubungannya ke bermakam dan pemakaman ke memakamkan. Hal itu karena imbuhan per lebih dekat ke ber dan pe ke me. Cermatilah, bermakam pasti di sebuah tempat bukan? Beda dengan memakamkan, pasti lebih cenderung mengarah ke tata cara memakamkan. Atas dasar itu, akan lebih baik dan bijak kalau tempat kita berziarah itu disebut sebagai permakaman. Itu perlu karena dengan cara demikian, artinya pemerintah mulai sensitif dan hati-hati dalam pemakaian bahasa. Sensitif dan hati-hati itu artinya menghargai bahasa Indonesia. Mari mencintai bahasa Indonesia, tetapi pada tempatnya, dan tentu saja penggunannya tepat, sesuai dengan konteks.***
Penulis, Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan.