Rukun Syukur

Oleh: Islahuddin Panggabean

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. 2:152)

Prof Wahbah az-Zuhaily dalam al-Wajiz ketika menafsirkan ayat 152 surah al-Baqarah di atas, ”Ingatlah pada-Ku, wahai manusia, dengan cara taat, maka Aku mengingat kalian dengan memberi pahala dan ampunan.

Bersyukurlah atas nikmat yang Aku berikan kepada kalian dan janganlah mengingkari nikmat-Ku sehingga kalian menghalanginya. 

Maksud dari mensyukuri nikmat adalah mengetahui kebaikan dan menceritakannya sedangkan maksud dari mengingkari nikmat adalah menyembunyikannya.” Demikian dari Prof Wahbah. 

Syukur adalah sebentuk ibadah nan istimewa, namun begitu sedikit disadari. Kita terbiasa dengan limpahan nikmat sehingga kurang menyadari bahwa semua itu nikmat. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa kita sering memahami nikmat hanya dalam kaitan dengan karunia yang secara khusus bersesuaian dengan kebutuhan dan keinginan diri sendiri.

Pancaindera yang sehat misalnya, karena sudah lazim dan umum, jarang kita anggap sebagai nikmat.

Namun saat fungsi indera terganggu, barulah kita sadar betapa sehat meruapakan nikmat yang agung. 

Dalam tafsir Maraghi dijelaskan bahwa begitu banyak Allah SWT memberikan nikmat-Nya kepada manusia sehingga sudah sepantasnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat itu.

Hal itu sesuai dengan tabiat manusia sendiri yang apabila menerima kebaikan, ada keinginan untuk membalas kebaikan kembali dengan kebaikan.

Dengan demikian, bersyukur pada hakikatnya bukan suatu tindakan untuk menyenangkan Allah, karena Dia tidak membutuhkan apapun. Bersyukur ialah aktualisasi dari nilai kemanusiaan. 

Rukun Syukur

Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat. Pertama, Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi.

Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.

Kedua, At-Tahadduts. Allah berfirman “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11). Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.” (Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.” Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.”

Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah.

Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.

Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). 

Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.

Ketiga, At-Tha’ah. Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)

Lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (Muslim)

Seseorang yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah tidak akan terperosok dalam kesalahan yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. 

Mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah tidak menggunakan akal dan panca indera untuk merenungkan nikmat-nikmat tersebut. Alhasil, mereka harus rela kehilangan nikmat tersebut sebagai hukuman kepada mereka dan juga menjadi pelajaran bagi umat yang lain. Jika telah mampu mensyukuri nikmat-nikmat Allah, kita pasti akan mendapatkan berbagai nikmat-Nya yang lain. Nikmat-nikmat yang kita peroleh akan semakin bertambah sesuai dengan keperluan kita masing-masing. 

Oleh karena itu, kita hendaknya perbanyak doa sebagaimana yang Nabi ajarkan. ”Allahumma a’inni ’ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatik (Ya Allah, ilhamkan kepadaku untuk selalu berzikir dan bersyukur kepada-Mu, serta beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya).” Wallahua’lam

()

Baca Juga

Rekomendasi