GSG Jadi Landmark, Kalau Sesuai Konsep

Oleh: Syafitri Tambunan

Sumatera Utara disebut daerah tropis, maka, arsitek di masa lalu seringkali menggunakan konsep desain yang tak jauh dari karakter itu, beberapa di antaranya yang ada di Medan, yakni Kantor Pos Medan ataupun Istana Maimun. Begitu juga dengan bangunan atau gedung dengan konsep ‘Serba Guna’, yang umumnya didirikan sesuai desain arsitektur yang diinginkan, meskipun namun tetap disesuaikan dengan karakter di sekitarnya.

Namun, apapun konsepnya, pada dasarnya, terdapat beberapa elemen yang tidak bisa dihilangkan setiap merencanakan desain, khususnya untuk membuat sebuah Gedung Serba Guna (GSG). Sebab, peruntukannya akan sia-sia, seperti tidak digunakan, atau sudah tak mampu lagi dijadikan identitas daerah tersebut.

Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Nawawi Lubis, menyebutkan, hal mendasar yang tidak boleh dilupakan yaitu fungsi, kepada siapa bangunan itu dibuat. “Bangunan ini awalnya dibuat sebagai landmark dan ditujukan untuk umum. Masterplan awal, gedung-gedung pemerintah banyak yang tidak laku dan tidak mampu membiayai maintenance (perawatan) sendiri. Jadi, satu-satunya (cara), gedung ini harus dikaitkan dengan bisnis, di bawahnya dibuat toko-toko, restoran, dan sebagainya. Untuk menghidupi bangunan utamanya,” akunya.

Makanya, dituturkannya, pada awal konsep, bangunan yang bernama ‘Gedung Serbaguna’ yang dinaungi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ini seyogyanya diperuntukkan untuk umum. Artinya, siapapun penduduk yang berada di sekitarnya bisa mengakses ini. 

“Whatever penduduk Sumatera Utara, secara konsep, bangunan ini tidak menggunakan pagar, supaya bisa diakses. Jadi, restoran dan toko-toko yang direncanakan ada di bagian depannya. Pada saat tidak ada event, orang-orang tetap bisa mengaksesnya, bisa minum, belanja, atau segala macamnya. Artinya, awal konsepnya, harusnya tidak menggunakan pagar. Tapi, yang sekarang ini justru tidak sesuai konsep,” paparnya terkait desain bangunan yang berada di Jalan Willem Iskander Pasar I Medan.

Dimisalkannya, sebenarnya, hal tersebut bisa dilakukan, seperti yang dibuatnya kepada desain Masjid Aceh Sepakat. Secara desain, Masjid Aceh Sepakat bisa menggunakan biaya maintenance yang didapati dari penyewaan aula yang terhubung di sampingnya. “Jadi, sama seperti Masjid Aceh Sepakat (Jalan Iskandar Muda), yang saya desain, di dekatnya ada aula atau gedung pertemuan. Gedung itulah yang mampu menyuplai (biaya operasional) ke Masjid Aceh Sepakat terus-menerus. Artinya, bisa terus membangun dan substain (berkelanjutan),” paparnya.

Harusnya, lanjutnya, GSG Pemprovsu bisa seperti itu, mendapatkan biaya maintenance yang diperoleh dari bangunan lain, yang terhubung dengannya. “Tapi kan tidak ada orang yang bisa mengerti di (konsep) itu dan tidak ada juga yang mendukung. Paling tidak, minimal untuk maintenance sehari-harinya (Gedung Serbaguna Pemprovsu). Karena kita tahu biaya maintenance itu besar, tidak mungkin selalu minta anggaran kan? Jadi, tidak tahulah jadinya apa,” sebutnya.

Artinya, Profesor Nawawi menegaskan, jika konsep desain awal tetap dipertahankan, kemungkinan Gedung Serbaguna Pemprovsu bisa eksis dan didaulat sebagai sebuah landmark. Maka, Sumatera Utara otomatis memiliki kekayaan baru, yakni dari sisi arsitekturnya. Sayang, meski beberapa kali diadakan event di sini, bangunan dengan luas sekitar 100 X 100 meter ini tidak terlalu menjadi kebanggaan, apalagi sebagai landmark.

Dana yang digunakan untuk bangunan ini fantastis, awalnya sekitar Rp 30 miliar, dan disinyalir semakin bertambah ke angka ratusan miliar. Namun, nyatanya, bangunan ini tidak menjadi apa-apa, hanya gedung penyelenggara event-event tertentu saja, itupun jarang. 

Padahal, bukan mustahil bila bangunan yang direncanakan bertipe vernakular ini mampu menambah 'kekayaan' Sumatera Utara dari sisi arsitektur. “Mungkin saja (menghabiskan sekitar Rp 30 miliar). Memang dibangun sebagai gedung terbesar di Sumut dengan melihat kurva lengkungan di atas. Tidak ada, sampai saat ini, yang bisa mengatapi seluas itu yang sampai 100 meter. Untuk bentangan, belum ada bangunan (sejenis) yang seluas ini,” paparnya.

Dengan desain asli (tahun 2004) yang jauh berbeda dengan bangunan kini (2015), maka, sebagai seorang arsitek, Prof Nawawi juga enggan mengakuinya. “Desain saya (tahun 2004) berbeda dengan bangunan aslinya yang sekarang. Kalau saya, tidak mau dikatakan sebagai arsitekturnya, mungkin pengelolanya juga tidak berani membuat nama saya. Saya sendiri enggan untuk melihatnya,” tambahnya.

 

()

Baca Juga

Rekomendasi