Membongkar Praktik Suap Perusahaan Farmasi

Oleh: Mangihut U Samosir

Baru-baru ini, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek menyambangi KPK. Kehadiran Nila untuk berkonsultasi hukum kepada KPK terkait batasan gratifikasi di kalangan dokter. Terhadap hal itu, KPK mengaku telah melakukan kajian dan pendalaman untuk menyelidiki dugaan gratifikasi yang dilakukan dokter. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta kepada masyarakat untuk melaporkan terkait dugaan tindakan gratifikasi di kalangan dokter, khususnya terkait permintaan resep dari perusahaan-perusahaan farmasi. “Prinsipnya dilaporkan kepada KPK,” jelas Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji saat dikonfirmasi, Kamis (12/11/2015).

KPK sendiri mengaku tengah mengkaji dan mendalami soal dugaan praktik gratifikasi dokter. Pasalnya, jika tindakan tersebut nyata, hal itu dinilai bisa mengancam dunia kesehatan di Indonesia, khususnya terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Tentunya kasus dugaan pemberian gratifikasi oleh perusahaan farmasi kepada para dokter jelas merugikan pasien. Tak hanya kantong pasien terkuras lebih dalam, keselamatan pasien pun terancam karena obat asli tapi palsu alias aspal pun marak beredar akibat harga obat generik bermerek yang selangit. Kepercayaan sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah terhadap kemujaraban obat generik belum sepenuhnya tumbuh, tetapi mereka juga tak mampu membeli obat paten. 

Memicu

Akibatnya, obat generik bermereklah yang diburu pasien, tetapi harganya bisa berpuluh kali lipat dibanding obat generik. Kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya obat aspal. Celakanya, kalangan masyarakat miskin lebih percaya pada obat aspal, ketimbang obat generik, sehingga mereka sebetulnya meminum “racun” yang justru bisa berakibat fatal. Dalam kondisi tersebut, persaingan antarprodusen obat generik bermerek pun kian tajam, sehingga mereka tak segan memberi gratifikasi kepada para dokter agar meresepkan obat pabrikannya kepada pasien. 

Meski kenyataan tersebut telah berlangsung puluhan tahun dan terkesan dibiarkan, baru belakangan ini muncul kesadaran publik terhadap mahalnya harga obat akibat dugaan gratifikasi setelah sejumlah media mengungkapnya. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ikut menelisik kemungkinan adanya tindak pidana dalam simbiosis mutualisme antara produsen obat dan dokter. Bagi kita, persoalan dugaan gratifikasi bagi dokter seharusnya disikapi serius. Akibat praktik kotor produsen obat dan ulah sebagian dokter rakus, nyawa pasien bisa melayang. Pasien harus diselamatkan dari konspirasi kejahatan kerah putih semacam ini! Oleh karena itu, tak hanya dokter pemerintah, dokter swasta pun harus mendapatkan sanksi bila terbukti menerima gratifikasi. 

Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), asosiasi perusahaan farmasi, dan KPK harus bekerja serius untuk mengungkap borok yang telah lama tersimpan. Aib dunia kesehatan nasional ini mesti dibongkar hingga ke akar-akarnya. 

Sejujurnya, kita malu terhadap praktik sebagian dokter yang hidup bergelimang harta yang diperoleh dengan cara curang. Mereka mencurangi pasien, bahkan tega menyedot “darah” pasien demi memelihara gaya hidup enak. Profesi dokter yang semula dipandang mulia bukan tidak mungkin mengalami degradasi. 

Bahu-membahu

Untuk itu, semua pemangku kepentingan harus bahu-membahu dalam meminimalisasi praktik gratifikasi dari perusahaan farmasi kepada dokter, sekaligus merasionalkan harga obat generik bermerek agar lebih terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta terus memasyarakatkan penggunaan obat generik. 

Pertama, pemerintah yang dibantu tokoh masyarakat dan tokoh agama perlu menggairahkan kembali kampanye penggunaan obat generik. Sudah cukup lama pemerintah absen mendorong masyarakat memakai obat generik, sehingga sampai saat ini pasien masih menganggap obat generik adalah obat kelas dua, bahkan kelas tiga. 

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 87 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat, antara lain disebutkan pangsa pasar resep obat di Indonesia didominasi oleh obat generik bermerek sebesar 67%, lalu obat paten 25%, dan obat generik hanya 8%. 

Melalui sosialisasi dan kampanye yang gencar diharapkan pangsa pasar obat generik terus meningkat, sehingga bisa menjadi faktor penekan bagi perusahaan farmasi untuk menurunkan secara signifikan harga obat generik bermerek. Kedua, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan wajib mengendalikan harga obat generik bermerek. Data dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) menyebutkan ada harga obat generik bermerek yang 40 kali lebih mahal ketimbang obat generik. 

Bahkan, ada juga yang bisa mencapai 80 kali harga obat generik. Dengan margin keuntungan yang sangat tebal, perusahaan farmasi pun berlomba-lomba memberi servis kepada pada dokter yang meresepkan obat mereka. Kenyataan ini harus dipotong oleh Kementerian Kesehatan dengan mematok harga obat generik bermerek, misalnya maksimal tiga kali lipat harga obat generik.

Bila itu dilakukan, ruang gerak pemberian gratifikasi akan semakin sempit. Ketiga, menggalakkan penelitian dalam bidang obat-obatan agar kita tak perlu terlalu banyak bergantung pada bahan baku obat impor. 

Saat ini sekitar 96% bahan baku obat diimpor. Akibatnya, harga obat di dalam negeri menjadi mahal. Pemerintah perlu memberi insentif kepada perusahaan yang memproduksi sendiri bahan baku obat. Alokasi dana penelitian obat dari pemerintah dan swasta juga harus ditingkatkan agar ke depan kita tak perlu lagi bergantung pada bahan baku obat impor.

Kita berharap, penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, kepolisian, atau setidaknya Ikatan Dokter Indonesia semestinya turun tangan. Suap membuat  harga obat meroket. Publik dirugikan. Biaya perusahaan farmasi untuk menyogok  dokter cukup besar, yakni 40 sampai 45 persen dari harga obat. Dokter dan perusahaan farmasi  seharusnya bisa  dijerat dengan Undang-undang Pemberantasan Korupsi. Hadiah atau imbalan untuk dokter karena telah membikin resep obat dari perusahaan farmasi semestinya dikategorikan sebagai gratifikasi. 

Yang jelas, Kode Etik Kedokteran  melarangnya. Dokter tidak boleh “membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi, perusahaan alat kesehatan atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter”. Khusus dokter di lingkungan Kementerian Kesehatan terikat pula Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 14/2014 tentang Pengendalian Gratifikasi. Intinya sama, ada larangan untuk menerima imbalan dari perusahaan farmasi. Jadi praktik suap ini harus dibongkar ke permukaan. ***

Penulis bergiat di Komunitas Peduli Negeri.

()

Baca Juga

Rekomendasi