Oleh: Sagita Purnomo
Mulai saat ini, masyarakat Indonesia khususnya para pengguna media sosial harus berhati-hati dan bijaksana dalam beraktivitas di dunia maya. Pasalnya, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Badrodin Haiti, telah mengedarkan Surat Edaran (SE), Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). SE yang dikeluarkan pada tanggal 8 Oktober ini sebagai respon aparatur penegak hukum terhadap maraknya/potensi penebar kebencian yang berujung pada perbuatan pidana dan melawan hukum oleh pengguna media sosial di Indonesia.
Sebagai mana kita ketahui bersama, saat ini media sosial menjadi ruang terbuka bagi publik dalam berinteraksi secara massal. Celakanya dalam interaksi tersebut, para pengguna kerap kelewatan batas dan mengabaikan aturan hukum yang berlaku. Akibat kicauan tajam di media sosial, kerap memicu perselisihan atau gesekan konflik antar orang atau golongan tertentu. Masalah ini jika dibiarkan berlarut-larut tentu saja menjadi bola salju yang sangat berbahaya.
Padalah, untuk mengatur interaksi di dunia maya, legislatif kita telah mengeluarkan KUHP, Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial. Sayangnya, semua peraturan ini masih kurang efektif dalam membendung perbuatan menyimpang serta penyalahgunaan media sosial.
Ada banyak kalangan yang keberatan dengan dikeluarkannya SE ini, mereka menilai surat tersebut menjadi bentuk pengekangan masyarakat dalam berekspresi dan berinteraksi, tentunya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Dengan adanya SE ini, aktivitas pengguna media sosial akan cenderung monoton tanpa adanya ‘bumbu-bumbu’ penyedap yang menjadikan media sosial sebagai wahana menarik perhatian banyak orang.
Pengekangan
Meski banyak mendapat kecaman dan penolakan dari berbagai pihak, Kapolri tetap bersikuku menjalankan SE tersebut. Menurutnya, SE ini bukan mengekang para pengguna media sosial, melainkan membuat pengguna media sosial menjadi tertib dan tidak melukai perasaan orang lain, hingga terwujudlah suasana kondusif dalam kehidupan kebangsaan. “Selama ini banyak anggota yang ragu-ragu antara kebebasan berbicara dengan penebar kebencian. Padahal semua itu ada di aturan formalnya di UU. Demokratis itu bukan berarti bebas melanggar UU. Tetap koridornya tidak melanggar norma hukum,” kata Kapolri, (detik.com)
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM RI Manager Nasution, turut angkat bicara mengenai SE hate speech ini. Menurutnya, ES tersebut jangan sampai justru mengekang kebebasan berpendapat atau disalah gunakan. “Dalam pelaksanaannya, SE itu wajib hukumnya betul-betul diawasi. Polri perlu diingatkan bahwa SE itu jangan membatasi kebebasan berpendapat sebagai hak konstitusional warga negara yang harus ditunaikan pemenuhannya oleh negara, utamanya pemerintah,” ucap Manager Nasution.
Hak konstitusional itu diatur dalam Pasal 28 I UUD tahun 1945 dan pasal 8 UU 39 tahun 1999. Menurut Manager, gagasan SE itu baik yaitu negara ingin hadir mengatur lalu lintas kebebasan berpendapat, sehingga tidak berbenturan dengan hak orang lain. Hanya saja kategori hate speech dalam SE itu sangat luas, mulai dari penghinaan, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, penyebaran berita bohong termasuk pencemaran nama baik.
“Khusus soal pencemaran nama baik seperti pada pasal 310 dan 311 KUHP, polisi sebaiknya harus sangat berhati-hati. Sebab pasal ini multi tafsir, pasal karet. Berpotensi disalahgunakan sesuai pesanan,” ucap Manager. (detik.com)
Boneka Pemerintah?
Sebelum terbitnya SE hate speech ini, telah mencuat wacana pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal Penghinaan terhadap Presiden. Sayangnya, sepertinya pasal yang ditujukan untuk melindungi orang nomor satu di Indonesia ini atas ‘kritikan’ tajam, tidak akan terwujud. Ya beberapa tahun lalu, Mahkamah Konstitusi telah menolak untuk menghidupkan kembali pasal ini karena dinilai akan menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurut hemat penulis, SE hate speech ini merupakan boneka dari pasal penghinaan presiden yang gagal dihidupkan kembali itu.
Bagi kita para pengguna sosial pastinya sering menjumpai berbagai macam forum yang isinya mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah. Sayangnya, dalam forum tersebut terkadang melebihi ambang batas yang berujung pada komentar penghinaan dan mencederai perasaan orang lain. Bahkan tidak jarang pengguna media sosial menggunakan kata-kata kasar yang tentu saja bertentangan dengan hukum berlaku.
Banyak pengguna media sosial yang terang-terangan mengkritik kebiasaan presiden Jokowi melakukan blusukkan yang dianggap sebagai bentuk pencitraan belaka. Belum lagi saat bencana asap terjadi, pengguna media sosial saling beradu argumen dan mengeluarkan kritikan pedas kepada pak presiden.
Sebab itu, dengan adanya SE hate speech ini, kedepannya tidak akan ada lagi pengguna media sosial yang dapat berkicau sesuka hati. Salah mengeluarkan kata-kata, polisi sial menjemput dan memproses secara hukum.
Bukan hanya oleh presiden saja, SE hate speech ini juga dapat disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak tahan mental untuk menjebloskan orang lain yang dinilai mencemarkan nama baiknya di media sosial. hal ini tidak terlepas dari formulasi pasal yang digunakan untuk menjerat seseorang sebagaimana penulis uraikan diiatas.
Dalam poin 2 huruf F SE Nomor SE/06/X/2015 dikatakan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP antara lain: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Bukan hanya di media sosial, SE ini juga mengatur berbagai lokasi antara lain dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak maupun elektronik, pamflet.
Dari lokasi-lokasi tersebut dapat kita simpulkan bahwa masyarakat saat ini sedang terkepung dan terkesan dibatasi dalam berinteraksi. Masyarakat Indonesia dituntut untuk selalu bijaksana dalam berinteraksi dengan orang lain agar tidak mencederai perasaan orang tersebut. jangan sampai hanya karena alasan bercanda atau perkataan yang tidak disengaja justru mengantarkan kita pada proses hukum.
Begitu juga untuk polisi diharapkan hendak lebih memahami maksud dan tujuan dikeluarkannya SE ini, jangan sampai surat edaran ini justru dijadikan alat untuk pemerintah guna mengekang masyarakat.
Polisi juga harus paham betul mengenai delik-delik di media sosial untuk membedakan kritik membangun dan penghinaan. Jangan sampai kedepannya banyak terjadi kesalahan prosedur atau salah tangkap dikarenakan kurangnya pemahaman petugas polisi dalam membedakan kritik serta hinaan di media sosial dan tempat-tempat dimaksud lainnya di atas.
Semoga dengan dikeluarkannya SE ini dapat mengantarkan masyarakat Indonesia kepada kemaslahatan guna mewujudkan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.***
Penulis adalah Alumni FH UMSU 2014