Pesan Mamak untuk Bujang

JIKA setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia, sedih, takut, jijik dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut “(Hal. 1)

Bujang, begitulah dia dipanggil, tidak ada yang tahu nama aslinya kecuali kedua orang tuanya. Anak usia 15 tahun yang tidak memiliki rasa takut, kehidupannya seketika berubah haluan, sejak mengalahkan babi hutan besar  ketika berburu di hutan bersama Tauke Muda.  Lebih tepatnya, Samad ayah Bujang telah terlibat janji masa lalu bersama mafia besar yang mengharuskanya memberikan anak semata wayang mengabdi pada Teuku Muda untuk keluarga Tong. 

Siapa yang rela anak satu-satunya harus pergi ke kota untuk waktu tak terduga? Begitulah Mamak, Dia tidak rela Bujang dibawa ke Kota oleh Tauke Muda, entah bagaimana nanti nasibnya. Tapi tidak ada pilihan lain, bukan karena Si Bujang berhasil melawan Babi Hutan sendirian, tapi ini sudah kesepakatan antara Samad dengan Tauke Besar di masa lalu. 

“Teuke muda memintanya sendiri….. Biar anak laki-lakimu punya kesempatan menaklukan dunia ini. Mungkin itu sudah takdir hidup Bujang, dan kita berdua bisa menghabiskan sisa hidup bersama disini dengan damai..” (Hal.22)

Siang itu juga, mamak menyiapkan buntalan kain berisi pakaianku sambil menangis. Robek sudah hati mamak, merelakan Bujang pergi, dia tidak punya banyak bekal untuk dibawa Bujang, tapi dia punya pesan yang harus dijaga Bujang, dia ingin anaknya berjanji agar selama hidupnya bujang jangan makan daging babi, daging anjing, dan menjaga perutnya dari makanan haram dan kotor, tidak boleh minum tuak

Bujang boleh melupakan mamaknya, kampung, dan melupakan seluruh didikan Mamak pada Bujang termasuk agama yang diam-diam diajarkan saat Bapak tidak di rumah. Tauke Muda berjanji akan menjaga Bujang, dan tidak membiarkannya terluka sedikikit pun, Tauke Muda akan mengangkat Bujang sebagai anaknya sendiri. Tidak ada yang membayangkan, kalau Bujang anak usia 15 tahun dari desa Talang pedalaman Sumatera akan tinggal di kota, merubah nasib, atau mengikut takdir.

Percakapan mamak dan Bujang nyaris mengharukan, pesan sederhana tapi perlu makna. “ berjanjilah kau akan menjada perutmu dari semua itu. Agar…Agar besok lusa, jika hitam seluruh hidupmu, hitam seluruh hatimu, kau tetap punya satu titik putih, dan semoga itu berguna. Memanggilmu pulang” (Hal. 24)

Kaki Tangan Tauke Besar

Episode kehidupan Bujang telah berubah 90 derajat, anak desa di pedalaman sumatera sekarang telah jadi orang hebat, tepatnya pemegang kendali Ibu Kota, bekerja sebagai Shadow Economy atau ekonomi yang berjalan di ruang hitam, mafia biar lebih gampangnya. Tidak ada yang mengira, bahkan Bujang sendiri pun ikut kesal, saat pertama datang ke Istana Keluarga Tong, bukanya diajari bela diri, Bujang malah disuruh belajar, bergelut dengan tumpukan buku, bersama Frans, bule yang  membuatnya tahu segala tentang ekonomi, lulus terbaik dari universitas di luar negeri. 

Sebenarnya Bujang pernah menolak untuk belajar, yang dibayangkanya saat dibawa ke kota adalah menjadi kesatria hebat yang pandai bela diri, sebab dia punya kemampuan itu, dia telah berhasil mengalahkan babi hutan besar. Bujang diperlakukan berbeda, dia bukan tukang pukul seperti Samad puluhan tahun lalu. Setelah sejauh ini, Bujang hanya bekerja baik, bertemu dengan orang-orang besar di Ibu Kota yang sejatinya hanya orang kecil, di bawah ketiak kerajaan Tong. 

Di tengah kesibukan Bujang menjalankan misi sebagai Shadow Economy, Bujang mendapatkan surat dari Bapaknya, Mamak Bujang telah pergi, dan beberapa kemudian menyusul Bapaknya. Bujang mulai terpuruk, pikiranya kacau, satu per satu orang-orang tercintanya pergi. Persaingan yang ketat dalam keluarga Tong dan perebutan kekuasaan pun di mulai, Tauke Muda tewas saat berperang melawan pengkhianatan yang dilakukan Basyir anggota keluarga Tong. 

Hati Bujang mulai gelisah, dia juga menghadapi situasi yang aneh, saat mendengar azan subuh telingahnya hampir pecah, begitu setiap hari. Mampukah Bujang melewati situasi ini? Sanggupkah dia melawan rasa takut untuk merebut kembali kekuasaan keluarga Tong ?

Novel “Pulang” yang diterbitkan Republika ini dikarang oleh Tere Liye. Tulisan dikemas dengan bahasa apik, berhasil membuat pembaca seperti melihat adegan perang dalam film action. Novelis begitu dalam menyampaikan pesan bahwa sejauh apa pun pergi, Tuhan akan menemukan kita dan kita harus pulang kembali kepangkuannya (taubat), itulah makna pulang yang dipesankan Mamaknya.

Menjaga perut dari makanan dan minuman haram, agar sedalam apa pun dunia hitam yang digeluti dia bisa pulang.  Di sisi lain, pembaca di ajak untuk melihat dunia hitam dengan berbagai konflik dan triknya, entah benar atau salah, novel ini juga menambah pengetahuan.

Peresensi adalahMahasiswa Semester VII Jurusan Perbankan Syariah FEBI  dan Kru LPM Dinamika UIN SU

()

Baca Juga

Rekomendasi