Oleh: Maruntung Sihombing.
Apa yang pertama sekali terlintas dalam pikiran anda ketika mendengar kata Papua? Kotekanyakah? Malarianyakah? Rawan konfliknyakah (perang suku dan OPM)? Hitam kulitnyakah? Keriting rambutnyakah? Atau malah rumah adat tradisionalnya (honai)?
Jujur, sebelum saya berada di tanah Papua dan menginjakkan kaki di timur Indonesia itu, Papua dalam pikiranku masih identik dengan rawan konfliknya. Barangkali bagi banyak orang juga masih berlaku demikian. Seringkali menghakimi Papua dengan stigma-stigma buruk. Padahal tidak demikian adanya. Papua adalah tanah surga sekaligus tanah kedamaian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kita seharusnya bangga memiliki Papua.
Sebagai saran saja, bahwa ternyata terkadang apa yang kita pikirkan tidak selamanya benar. Perlu pikiran-pikiran positif agar yang kita peroleh juga hasil-hasil yang positif. Saya sedang tidak mengatakan Papua itu seluruhnya baik, aman dan damai, tapi perlu pikiran dan usaha positif agar mendapatkan hasil yang positif pula.
Kalau urusan kecelakan dan dapat musibah dan segala macamnya, saya pikir Tuhan yang lebih berkuasa, bukan kita. Karena memang Dia yang empunya dan maha tahu. Bukan malah kita yang sok tahu-tahuan. Alasan dan persepsi ini pulaklah, menurut saya yang membuat kebanyakan orang mengurungkan niat untuk pergi ke Papua. Terbukti, banyaknya orang pendatang di Papua masih bisa dihitung jari. Memang bukan hanya alasan itu saja.
Saya masih ingat betul, waktu itu seorang teman menyarankanku untuk tidak pergi ke Papua.
“Kamu tidak takut Malaria ya? Udah itu, di Papua rawan sekali,” katanya. Tapi entah kenapa, sarannya itu malah membuat saya bergairah dan penasaran untuk pergi kesana. Tidak bisa dipungkiri juga, sebagai manusia normal yang masih punya rasa, hari pertama menginjakkan kaki di Papua rasa was-was dan khwatir tentu ada. Hanya saja tidak seburuk yang saya pikirkan dulu. Yang paling penting adalah bagaimana bisa beradaptasi dengan baik, bersosialisasi dan berinteraksi dengan baik. Itu saja sudah lebih dari cukup. Belum lagi kalau yang datang ke Papua itu guru, dokter/bidan, tukang, pendeta. Sangat dihargai betul.
Masyarakat pribumi secara keseluruhan sangat menyayangi mereka. Namun bukan berarti masyarakat biasa tidak dihargai. Selagi kita sopan, baik dan menuruti adat setempat, saya yakin siapa saja akan dilindungi dan dihargai di Papua. Bukan hanya di Papua, dimana saja asal kita baik, pasti akan baik-baik saja. Benarkan?
Karakteristik Masyarakat Papua
Rasanya waktu cepat berlalu. Kurang lebih setahun sudah berada di Papua. Sedikit banyak saya telah bisa belajar memahami karakteristik masyarakat asli Papua. Walau hasil observasi saya masih seputar pegunungan tengah Papua (Papua pedalaman), termasuk Kabupaten Lanny Jaya, tapi sedikit banyak informasi dan tukar pengalaman tentang Papua juga saya dapatkan dari teman-teman yang ikut ambil bagian dalam program SM-3T ini. Karena hampir seluruh Papua diisi dengan guru-guru bantu. Sebagai informasi, bahwa Papua itu dibagai dua versi menurut masyarakat pribumi, yakni Papua Pesisir dan Papua Pedalaman (pegunungan).
Ketika saya bandingkan lokasi pengabdian mereka dengan saya, saya pikir hampir sama saja, baik masalah karakter maupun kebiasaan setempat. Yang berbeda paling bahasa mereka. Wajar saja, karena Papua memang dihuni ratusan suku.
Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut bagaimana karakteristik masyarakat Papua pada umumnya, saya ingin menjelaskan sedikit tentang kondisi alam dan lingkungan di pedalaman Papua. Secara garis besar, pedalaman Papua masih dikelilingi oleh pegunungan. Di kanan ada gunung, dikiri ada gunung, dimana-mana selalu ada gunung.
Maka jangan heran bila di Papua kita akan menemukan daerah atau desa yang dipisahkan oleh pegunungan. Dataran rendah tidak terlalu banyak. Yang ada malah hutan belantara disegala penjuru. Kalaupun ada, itu sedikit. Terutama Papua pegunungan.
Jenis Fam
Fam itu merupakan jenis nama yang sering dilekatkan masyarakat lokal Papua di belakang nama asli mereka. Sama halnya yang terjadi di Sumatera Utara, yaitu suku Batak. Kalau dalam suku Batak itu disebut marga. Namun ketika kita berada di Papua, mereka akan menyebutnya dengan “fam”. Menurut penuturan masyarakat setempat, fam itu berguna agar mereka tidak salah memilih orang yang akan dijadikan sebagai teman hidup mereka. Kalau famnya sama, maka sangat tidak dijinkan untuk nikah satu sama yang lain. Dikatakan bisa, kalau mereka punya fam yang berbeda.
Untuk bagian ini, saya hanya menuliskan beberapa bagian fam (baca : marga) yang ada disekitar tempat tinggal saya saja, yaitu Kabupaten Lanny Jaya. Karena pada dasarnya ada ratusan fam yang ada di seluruh Papua. Ada beberapa jenis fam yang terdapat di daerah Kabupaten Lanny Jaya, antara lain Kogoya, Wenda, Wanimbo, Yigibalong, Wakerkua, Janengga, Kombo, Komba, Tabuni, Wandik, Wetipo, Ilapok, Yelipele, Kenelak, Wonda, Hubi, Logo, Jikwa,Yalek, Enembe.
Pertanian
Untuk masalah pertanian, Papua terbilang jauh ketinggalan dengan daerah lain di Indonesia. Kapak Batu, Skop, Pisau dari tulang (masyarakat setempat menyebutnya Dur), mereka gunakan sebagai alat untuk mengolah tanah menjadi lahan pertanian. Namun hasil pertanian yang paling dominan adalah ubi. Ubi merupakan makanan yang dijadikan sebagai makanan sehari-hari masyarakat pedalaman disamping beras.
Jadi jangan heran bila berkunjung ke Papua akan mendapati lahan-lahan kebun yang hanya ditanami ubi-ubian. Adapun hasil pertanian yang ada di Papua adalah Ipere (ubi), Ilisa/Irica (cabe), Paruk (jagung), Gengguma (kacang), Gilu (timun), Marqisa, Kologinik (kol), Apokat, Wortel, Kasbi (singkong), Kom (keladi), Bawang, Mima (bayam), Tomato (tomat).
Koteka
Banyak masyarakat lokal Papua yang masih menggunakan koteka sebagai alat penutup kelamin mereka. Alat ini hanya digunakan oleh kaum adam saja. Barangkali anda yang belum mengenal Koteka sepenuhnya akan bertanya-tanya itu terbuat dari apa. Rupanya menurut masyarakat setempat Koteka dibuat dari Labu. Dipilih sesuai ukuran masing-masing, kemudian dikeringkan untuk beberapa hari dan dipergunakan sebagai penutup bagian tubuh sensitif laki-laki.
Noken
Noken merupakan tas yang disulam oleh masyarakat lokal Papua dengan menggunakan benang warna. Kalau anda yang pernah menonton film garapan dari Papua, seperti Di Timur Matahari, atau Denias Sang Pemimpi, dan lain sebagainya pasti menemukan wanita-wanita terutama ibu-ibu akan selalu mengenakan tas yang melekat dibagian kepala. Mereka menamainya Noken, selain dirajut dari benang, bisa juga berasal dari kulit kayu (Omori Ligi namanya). Tas ini digunakan ketika hendak bepergian baik ke ladang ataupun kemana saja.
Wam (Babi)
Di Papua, anda akan mendapati babi masih berkeliaran tanpa ada tempat atau kandang yang menetap. Untuk itu, setiap rumah masih dikelilingi dengan pagar (neger). Hal ini bertujuan supaya babi tidak sesuka hati masuk ke dalam rumah. Kebun-kebun juga masih dibatasi dengan neger. Tujuannnya tetap sama, supaya tidak diganggu oleh binatang terutama gangguan dari binatang berkaki empat itu dan binatang buas lainnya.
Babi atau yang sering dikenal dengan wam, menjadi binatang peliharaan paling mahal dari semuanya. Hampir semua masyarakat memeliharanya. Menurut penuturan masyarakat setempat, harga babi di Papua selangit. Bahkan lebih mahal dari kerbau atau sapi.
Untuk satu ekor babi saja dengan berat kira-kira 40 kilogram akan dihargai sampai Rp20 juta hingga Rp 30 juta. Fantastik, bukan? Jauh berbeda dengan harga babi yang ada di Sumatera Utara. Selain itu, babi juga dipergunakan sebagai mahar ataupun hidangan untuk pesta-pesta resmi. Tak ada alasan yang jelas kenapa Babi di Papua begitu mahal. Menurut penuturan masyarakat lokal, sudah menjadi tradisi dari nenek moyang mereka menjadikan babi dengan harga yang mahal. Ada juga yang mengatakan, babi adalah binatang peliharaan yang pertama yang ada di tanah Papua.
Honai
Kemudian untuk masalah rumah. Beberapa rumah masih terbuat dari ijuk rumbia yang sering dikenal dengan nama Honai. Menurut Bapak Yakob Wenda, kenapa dibangun dari ijuk rumbia, karena terkhusus di Papua pegunungan suhunya yang sangat dingin. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi itu, perlu tempat berlindung yang hangat dan panas.
Namun ada juga yang sudah didesain dengan bentuk bangunan modern, serta bentuk bangunan yang yang ada di Eropa. Menurut penuturan masyarakat setempat, misionaris yang membawa misi agama pertama sekali ke Papua telah berhasil membawa kabar salam sejahtera, tapi mereka juga berhasil mengajarkan bagaimana membuat bangunan dengan desaian yang ada di Eropa.
Bakar Mayat
Selanjutnya terkait dengan bakar mayat yang masih menjadi tradisi di Papua. Jadi tidak hanya di India saja yang ada bakar mayat, di Papua juga ada tradisi yang sama. Orang yang meninggal akan dibakar jasadnya, baik itu tua, muda ataupun anak-anak. Beberapa orang yang saya tanyai terkait tradisi bakar mayat, katanya sudah menjadi kebiasaan sejak dari jaman dahulu nenek moyang mereka ada. Tidak ada alasan paling mendasar kenapa mayat yang sudah meninggal dibakar. Walau demikian, masih ada juga memang sebagian kecil yang yang melakukan tradisi penguburan.
Bakar Batu
Kemudian yang terakhir adalah bakar batu. Kebiasaan ini dilakukan kalau semisal masyarakat sedang membuka lahan baru, membangun honai atau rumah baru, atau bahkan untuk merayakan hari-hari besar keagamaan dan kesukuan, atau bisa juga karena masyarakat pribumi kedatangan tamu yang dianggap spesial dan baru pertama datang ke Papua. Biasanya makanan yang dibakar batu itu seperti jagung, sayur, daging ayam, daging kelinci, daging babi (wam), ubi dan lain sebagainya.
Inilah gambaran karakteristik masyarakat Papua secara garis besar. Paparan yang saya dapatkan dan jelaskan diatas merupakan pengamatan dan pengalaman saya selama berada di tanah Cenderwasih. Semoga bermanfaat!***
Penulis adalah peserta SM-3T angkatan ke III, tinggal di Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua.