Oleh: Fransisca Ayu Kumalasari SH, MKN.
UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mulai di-ber-lakukan. Undang-undang tersebut salah satu pasalnya memuat larangan impor barang bekas. Pemerintah juga merencanakan menggusur semua pedagang pakaian bekas. Larangan impor pakaian bekas dikeluarkan karena berdasarkan penelitian, di dalam pakaian bekas tersebut, banyak terdapat bakteri yang membahayakan kesehatan. Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis hasil uji sampel pada 25 potong pakaian bekas impor yang menemukan ratusan ribu koloni mikroba dan puluhan ribu koloni jamur penyebab penyakit kulit hingga infeksi saluran kelamin “Kami menemukan ribuan koloni bakteri dan jamur pada hasil uji coba mikrobiologi pada pakaian bekas” ujar Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan Widodo di Jakarta (4/2/2015). Apalagi pakaian bekas yang masuk ke Indonesia kebanyakan ilegal melalui pelabuhan-pelabuhan kecil yang sulit dijangkau oleh aparat.
Kaki Tangan Importir
Tak sedikit masyarakat yang mendukung kebijakan tersebut. Namun banyak juga masyarakat terutama pedagang baju impor yang menolak mentah-mentah rencana pemerintah tersebut. Pasalnya bisnis jual-beli baju bekas tersebut sudah merupakan sumber penghidupan turun-temurun warga. Mereka rela meminjam uang ke bank dengan menggadaikan sertifikat tanah, rumah untuk bisa berbisnis pakaian impor. Dengan adanya larangan tersebut, banyak pedagang pasti merugi, bangkrut dan kehilangan sumber nafkah.
Lagi pula menurut pengakuan pedagang seperti di Pasar Senen, mereka hanya kaki tangan para importir. Mereka hanyalah orang yang dimodali para importir untuk menjualkan baju-baju bekas tersebut, sedangkan keluar masuknya barang tersebut dari pelabuhan, mereka tak tahu menahu. Bahkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan, Permana, menduga pihak Malaysia-lah yang menjadi mafia perdagangan pakaian bekas.
Sebenarnya pakaian bekas tersebut adalah sumbangan dari dunia Eropa kepada negara-negara berkembang namun diperjualbelikan di pasaran internasional, termasuk ke Indonesia. Negara-negara Eropa tersebut menunjuk Malaysia untuk mengoordinasikan karena dipandang relatif lebih maju dibandingkan negara lain di Asia (10/2).
Sejumlah pedagang pakaian di kawasan Pasar Senen, memohon pemerintah meninjau ulang hal tersebut karena bisa mematikan usaha masyarakat kecil sebab barang tersebut bukan barang haram seperti narkoba. Menurut seorang penjual baju bekas di Lampung, ia biasanya bermodalkan Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta untuk membeli satu karung pakaian yang terdiri dari 200 lembar. Di Pasar Senen, Jakarta, setiap hari, pedagang rata-rata mengantongi penghasilan berkisar Rp1-2 juta, jika hari biasa, bahkan mencapai Rp5-8 juta saat hari libur. Dengan keuntungan menjual pakaian bekas, kebutuhan hidup keluarga mereka terpenuhi, bisa untuk membangun rumah, anak-anak mampu disekolahkan sampai ke perguruan tinggi. Dan jika tiba-tiba pemerintah ingin menghentikan segala bisnis barang tangan kedua tersebut, tentu saja banyak pihak akan merasa dirampas hak-haknya. Terlebih juga, bisnis tersebut turut membantu menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga. Bahkan tak sedikit warga yang semulanya hidup dari mencopet, akhirnya berubah haluan menjadi penjual pakaian impor bermek cakar (cap karung) ini.
Lebih hati-hati
Harus diakui, tujuan pemerintah memang baik. Semata-mata untuk melindungi dan menegakkan keselamatan warga dari serangan bakteri dan penyakit yang menjamur di barang-barang pakaian bekas tersebut. Namun pada sisi lain, pemerintah tak perlu terlalu arogan dan buru-buru mengeksekusi kebijakan tersebut. Karena hal tersebut ibaratnya mendadak memutus siklus ekonomi warga yang telah dihidupinya bertahun-tahun bahkan turun-temurun. Apalagi ketika diperhadapkan dengan testimoni terkait pengalaman para penjaja pakaian bekas selama bertahun-tahun yang mengatakan bahwa belum ada dari antara mereka yang terpapar penyakit selama mengakrabi pakaian bekas tersebut.
Seorang Pria yang sudah 25 tahun berjualan pakaian impor bekas di Lampung misalnya mengaku selama ini tidak pernah ada komplain dari pelangganya. Bahkan, beberapa pembeli pernah kembali lagi dan mengungkapkan kepuasannya terhadap barang daganganya. “Selama ini juga nggak pernah ada komplain dari pembeli soal pakaian, yang ada bahkan mereka balik lagi dan bilang puas dengan barang yang saya jual,” ujarnya (Metro lampung 7/2). Mereka punya formula tersendiri yang dinilai manjur untuk menghindarkan diri dari kuman-kuman yang melekat di baju dengan merendam dalam air panas atau menyemprot antiseptik atauzat pengawet sebelum memakai.
Tak hanya masyarakat kecil yang doyan memakai pakaian bekas. Artis sekelas Vicky Veranita Yudhasoka atau lebih dikenal Vicky Shu, dan masih banyak yang lainnya juga menggemari pakaian bekas karena bentuknya yang unik namun bisa didapat dengan harga yang terjangkau. Ia mengoleksi banyak baju bekas di rumahnya.
Bahkan artis kelahiran Cilacap itu mengatakan tidak takut dengan kandungan bakteri di dalam pakaian impor bekas tersebut. Sebab, dia selalu memperhatikan kebersihan tubuh serta pakaian yang dikenakan. ”Kuncinya harus bersih,” jelasnya (Jawa Pos 12/2). Selain oleh artis, menurut pengalaman penulis di Solo, pakaian bekas juga sangat disukai dan diburu juga oleh pejabat, pengusaha, dan golongan profesi lainnya, dengan alasan yang kurang lebih sama: murah, unik dan praktis.
Kegemaran dan permintaan yang tinggi oleh masyarakat terhadap produk pakaian impor karena beberapa hal seperti keuangan yang terbatas dan tuntutan hedonis serta gaya hidup yang ingin selalu mengikuti trend namun dengan kemampuan kocek terbatas. Apalagi secara visual orang sulit membedakan mana pakaian bekas dan baru ketika sudah dipakai. Yang penting nyaman dipakai, terlihat modis dan aman dipakai kemana-mana. Secara prinsip ekonomis tak ada yang salah. Setiap orang punya hak untuk menyiasati pemenuhan kebutuhannya agar terlihat eksis dan selamat dari tuntutan dan kejaran harga kebutuhan hidup yang terus mencekik leher. Bahkan secara sosiologis, ada nilai egalitarian yang terkandung di balik pertemuan dan transaksi para pembeli dari berbagai kalangan profesi dan status, dari yang kelas sandal jepit sampai kelas elite. Di samping transaksi, tentu ada perjumpaan dan komunikasi antar warga pembeli tersebut yang dibalut oleh kebutuhan dan minat, animo belanja atas kebutuhan yang sama. Hal seperti ini kian jarang di tengah merebaknya pola interaksi yang individualis dan arogan.
Dengan pertimbangan ini, diharapkan pemerintah lebih hati-hati menerapkan larangan bisnis pakaian bekas. Cobalah pemerintah melakukan sosialisasi secara baik kepada publik, sambil mulai memikirkan bagaimana mengatasi dampak dari pelarangan bisnis tersebut terutama yang menimpa para pedagang yang kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah. Atau mungkin pemerintah dengan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal untuk segera melakukan sertifikasi bebas bakteri bagi semua pakaian bekas yang banyak diperjualbelikan hingga kemudian dinyatakan layak untuk dipakai.
Harus diakui, seruan pemerintah untuk tidak mengonsumsi pakaian bekas, tanpa memikirkan dampaknya, akan percuma jadinya dan tak akan bisa menyelsaikan soal yang sebenarnya. Sebab kesadaran baru lahir dan efektif merubah perilaku jika ia didukung oleh konteks yang mendukung larangan tersebut. Jangan-jangan semakin dilarang, semakin meruyak pula permintaannya.***
Penulis Alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum UGM