Oleh: Nasib TS. Demam batu cincin, batu mulia atau akik melanda semua kalangan sosial dan tak kenal batasan usia. Dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa sedang demam batu cincin. Sebenarnya, tren batu cincin yang terjadi sekarang bisa dilihat sebagai fenomena keberhasilan promosi dagang batu mulia. Seperti fenomena jenis tanaman hias tertentu yang pernah merebak dengan harga ratusan juta rupiah, tren batu cincin tampaknya masuk ke area fenomenal bisnis serupa itu. Terlepas dari peristiwa bisnis, tak dapat dipungkiri sebagian besar konsumen batu cincin adalah umat Muslim. Bagaimanakah Islam memandang tren memakai batu cincin? Apa hukumnya? Bila dibolehkan, bagaiamana sikap yang tepat bagi seorang Muslim terhadap isu mistis atau kelenik di balik batu akik?
Pertanyaan-pertanyaan ini sempat membuat penulis gusar dan mencoba membolak balik referensi yang ada. Memang tidak ditemukan dalil yang mengharamkan seorang Muslim memakai batu cincin, sepanjang hal itu semata sebagai perhiasan sesuai ajaran Islam. Namun bila berlebihan, apalagi menghubungkannya dengan hal-hal mitis dan klenik, memakai batu cincin akan menjadi ancaman serius bagi iman seorang Muslim. Itulah kesimpulan yang kita peroleh dari sejumlah dalil yang tersedia menyangkut ketentuan memakai batu cincin sebagai perhiasan bagi umat Islam.
Rasulullah sebagaimana diriwayatkan HR Muslim disebutkan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin perak di tangan kanan beliau, ada mata cincinnya terbuat dari batu habasyah (Etiopia), beliau menjadikan mata cincinnya di bagian telapak tangannya”.
Hadits itu sampai saat ini menjadi landasan, umat Muslim tidak dilarang memakai perhiasan batu cincin sepanjang memenuhi ketentuan yang ada. Salah satu ketentuannya, bagi laki-laki pengikat batu cincin bukan terbuat dari emas karena dalam ajaran Islam logam mulia ini diharamkan dipakai laki-laki. Rasulullah dalam hadist itu disebutkan, mengikat batu cincin dengan bahan metal yang terbuat dari perak, batu yang dikenakan dari Ethiopia dan menjadikan batu cincin di bagian telapak tangan.
Di bagian telapak tangan? Penulis belum menemukan penjelasan dari referensi yang ada, apa yang dimaksud dengan “Rasulullah mengenakan cincin di bagian telapak tangan”. Apakah yang dimaksudkan, batu cincin yang dipakai sehadap dengan sisi telapak tangan, bukan di punggung tangan? Dengan keterbatasan referensi memang belum ada penjelasan rinci mengenai hal itu. Namun ada riwayat lain yang menjelaskan, Islam memang melarang memakai perhiasan secara berlebihan, apalagi dijadikan untuk ajang pamer, kebanggaan diri dan menunjukkan gengsi status sosial.
Mubah
Lantas bagaimana hukum memakai batu mulia sebagai perhiasan? Menurut Imam Syafi’i—mengutip berbagai sumber--hukum memakai batu mulia atau batu akik seperti batu yaqut, zamrud dan lainnya adalah mubah sepanjang tidak untuk berlebih-lebihan dan menyombongkan diri. Imam Syafii berkata dalam kitab al-Umm, saya tidak memakruhan laki-laki memakai mutiara kecuali karena terkait dengan etika dan mutiara itu termasuk dari aksesoris perempuan, bukan karena haram. Dan saya tidak memakrukan (laki-laki) memakai yaqut atau zamrud kecuali jika berlebihan dan untuk menyombongkan (diri).
Islam tidak menyarankan memakai batu cincin, bila hal itu menimbulkan sifat keangkuhan, gengsi bagi kalangan tertentu, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan khurafat. Harus diakui, sebagian masyarakat kita masih ada yang memelihara kepercayaan terhadap benda-benda mati. Mereka menganggap bahwa benda mati tertentu memiliki kekuatan, kesaktian, atau keistimewaan yang sangat dahsyat, sehingga bisa dijadikan sebagai jimat, senjata, atau yang lainnya. Salah satu benda mati yang dijadikan media jimat seperti itu, batu akik. Padahal, kepercayaan seperti ini hanyalah bersumber dari khurafat, khayalan, dan halusinasi semata.
Sebuah hadist yang diriwayatkan Ahmad, Al-Hakim dan Ibnu Hibban menyebutkan, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah tak mengabulkan tujuan yang dia inginkan. Dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (salah satu jenis jimat), semoga Allah tak menjadikan dirinya tenang.”
Dengan demikian kita harus cermat menimbang niat sebelum melibatkan diri dalam tren batu cincin yang sedang fenomenal. Sebagaimana disebutkan, Islam memandang penggunaan batu mulia sebagai perhiasan yang ditempatkan dalam kategori mubah. Mubah adalah amal (perbuatan) yang bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa. Dengan kata lain, mubah adalah amal (perbuatan) yang boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan. Jadi semua memang terpulang kepada diri masing-masing.
.Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan, boleh-boleh saja seorang Muslim memakai batu cincin atau akik sebagai perhiasan dengan beberapa catatan:
Pertama, boleh memakai perhiasan batu mulia asal sanggup menghapus rasa riya ( pamer ) ketika kita memakai batu tersebut.
Kedua, harus kuat aqidah kita untuk menghapus perihal dugaan yang berbau khurafat dalam batu akik yang bisa menggeser ketauhidan kita. Haram hukumnya meyakini cincin mempunyai kekuatan-kekuatan supranatural.
Ketiga, khusus laki-laki, dalam Islam dibolehkan memakai perhiasan sebatas cincin. Sedangkan perhiasan lain, seperti kalung, anting, dan sebagainya tidak diperbolehkan karena bersifat meniru perempuan.
Semoga telaah sederhana ini dapat menjadi pintu pembuka untuk meninjau lebih jauh referensi Islam terkait hal-hal yang menjadi fenomena di masyarakat, agar kita senantiasa mendapat petunjuk sesuai ketauladanan Rasulullah.
*)Penulis, peminat masalah seni budaya dan sosial kemasyarakatan.