Peringatan 70 Pemboman Tokyo

Korban-korban Selamat Belum Menapat Perhatian Khusus

SELAIN Hiroshima dan Nagasaki, ibukota Jepang, Tokyo juga mengalami pemboman yang tak kalah dahsyatnya.

Pada 10 Maret 1945, pesawat-pesawat pembom B-29 milik AS terbang di atas wilayah Tokyo di tengah malam, menjatuhkan bom-bom curah yang diperlengkapi dengan napalm (bom pembakar).

Bom-bom pembakar, yang meledak di atas daerah perumahan di Jepang yang mayoritasnya terbuat dari kayu, menjadi senjata paling mematikan, terlebih lagi angin kencang yang menerpa membuat efek api semakin membesar dan membuat daerah-daerah sekitar ikut terbakar.

Seperlima kota Tokyo ludes terbakar dan merenggut korban jiwa lebih dari 100.000 serta kerugian material yang tak terhingga.

Angka korban itu lebih tinggi dari 70.000 orang yang tewas di dalam pemboman Nagasaki pada tahun sama.

Kini, monumen floral modis di taman pusat kota dibangun untuk menghormati arwah 105.400 orang yang dinyatakan tewas, banyak juga dimakamkan di kuburan umum.

Serangan udara konvensional paling banyak menelan korban itu, lebih dahsyat dari Nagasaki dan setara dengan Hiroshima.

Namun serangan itu dan sejenisnya yang terjadi di lebih 60 kota lain Jepang, sedikit mendapat perhatian, yang kalah pampor dengan pemboman atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Haruyo Nihei, yang kala itu baru berusia delapan tahun menjadi saksi hidup dalam pemboman itu. Dia termasuk di antara banyak orang selamat yang tetap bungkam.

Setengah abad berlalu dia bahkan hanya berbagi pengalamannya dengan putranya sendiri.

“Orangtua kami hanya akan berkata,” Itu zamannya berbeda,” tutur Nihei. “Mereka tidak mau membicarakan itu. Dan saya yakin keluarga saya sendiri tidak akan mengerti.”

Kini setelah jumlah mereka berkurang, orang-orang yang selamat dari pemboman itu bertekad akan menceritakan kisah tragis itu sebisa mungkin.

Orang-orang yang selamat dari pemboman napalm Tokyo merasakan kepedihan mereka dilupakan, baik sejarah maupun pemerintah.

Seusai perang, hanya veteran-veteran dan para korban pemboman atom mendapat perhatian dan dukungan khusus.

“Kami sebagai warga sipil tidak memiliki senjata dan kekuatan untuk berperang,” jelas Kiyo-oka. “Kami menjadi korban serangan dan tak mendapat kompensasi. Saya sangat kecewa dengan cara pemerintah menangani masalah ini.

Bagi Saotome dan korban-korban selamat lain seusianya, perang telah merampas masa kanak-kana mereka

Lautan Api

Maret itu, Tokyo dibom siang malam. Penduduk yang merasa ketakutan memilih menarik selimut dan tidur ketika suara sirene serangan udara meraung-raung, ketimbang pergi ke tempat-tempat perlindungan yang membeku karena musim dingin yang ekstrem.

Saotome, yang tinggal dekat tempat menara Sky Tree, Tokyo berdiri sekarang, terbangun dengan teriakan keras ayahnya akan lautan merah yang membakar rumah mereka.

Amerika Serikat melakukan serangan udara skala kecil terhadap Tokyo pada bulan April 1942 yang berdampak moral besar. Pengeboman strategis dan pengeboman kawasan perkotaan dimulai pada tahun 1944 setelah mulai dioperasikannya pesawat pengebom B-29 Superfortress, awalnya diterbangkan dari pangkalan di Tiongkok dan selanjutnya dari Kepulauan Mariana.

Serangan udara B-29 asal Mariana dimulai pada 17 November 1944 dan berlangsung hingga 15 Agustus 1945, pada hari Kapitulasi Jepang.

Serangan udara bersandi Operasi Meetinghouse 9-10 Maret 1945 di kemudian hari diperkirakan sebagai serangan pengeboman tunggal yang paling destruktif dalam sejarah. (bbc/afp/ap/es)

()

Baca Juga

Rekomendasi