Mengenali Rasa Takut Dalam Diri

Oleh: Setiadi Rachmat Saleh

“Ketidaktahuan adalah sumber rasa takut.”

—Pepatah Kuno—

TULISAN sederhana ini menggagas, mengupas, membahas dan mengangkat tema “Rasa Takut.” Dari mana muara rasa takut tersebut berasal, lalu apakah takut akan hilang dengan sendirinya, benarkah kita dapat menjadikan rasa takut sebagai sesuatu yang produktif dan kreatif?

Ketakutan sendiri dari sisi emosi merupakan anugerah yang diberikan Tuhan. Ketakutan menyadarkan manusia akan ketidak-berdayaan dan kebutuhan mereka akan perolehan bantuan. Ketakutan menjaga manusia tetap sadar dan mawas diri. Begitu banyak keberhasilan diraih karena orang yang berhasil itu, menyadari sejak awal ketakutannya akan sebuah kegagalan bisa diubah menjadi kemenangan.

Ketakutan hadir dalam setiap aspek kehidupan dan periode hidup manusia. Ketakutan menghampiri setiap manusia tanpa pandang bulu. Ketakutan dirasakan oleh anak kecil, remaja tanggung sampai ketakutan akan misteri kematian yang melanda manusia rasional modern abad ini.

Werner Stark dalam The fundamental forms of social thought mengatakan, “manusia adalah persilangan individualitas dan sosialitas. Keduanya saling mengisi dan meresapi. Cara berpikir sebagian manusia berpangkal pada keyakinan bahwa seluruh jagat raya adalah kesatuan dan perpaduan. Hukum dasar yang menguasai alam semesta ialah hukum sintesa. Hukum dasar ini perlu dikagumi, diteladani, ditaati, dan diterapkan manusia pada perilakunya. Kadang-kadang masyarakat digoncangkan dan dipecahkan oleh oposisi, ketakutan, malapetaka, dan huru-hara, tetapi akhirnya masyarakat senantiasa kembali kepada kesatuan dan perpaduan yang disebabkan hukum sintesa itu. Maka dari itu keutamaan-keutamaan yang harus dikembangkan oleh tiap-tiap manusia adalah penyesuaian, ketaatan, kesabaran, keikhlasan dan penghormatan.” (Rachmat Subagya, 1979: 139-142)

Hal ini semua ada korelasinya dengan fase kehidupan manusia. Thaba’thaba’i   membagi masa hidup manusia dalam tiga periode. Masa kanak-kanak, masa di mana manusia lebih mengandalkan emosi dan perkembangan kognisi belum sempurna. Sifat khas dari anak-anak adalah menangis jika keinginan mereka tidak segera dipenuhi. Masa selanjutnya adalah masa remaja. Fase di mana para pribadi mencari bentuk dan karakter yang khas. Masa dewasa adalah masa tenang, karena telah menjadi bijaksana karena tempaan hidup.

Supaya manusia tidak merana dan frustrasi untuk mencapai itu semua, Tuhan yang Maha Pengasih memberikan tools akal yang membuat manusia dapat membedakan perkara benar-salah, emosi yang digunakan untuk merasakan atmosfer terhadap suatu kejadian, juga organ tubuh yang menyebabkan manusia dapat meniti jalan kesempurnaan secara aktual dan faktual.

Pertanyaannya adalah, apakah kehidupan manusia berakhir demikian? Tak bisa dipungkiri bahwa pencapaian teknologi yang menunjang peningkatan taraf hidup manusia naik berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan apa yang dicapai manusia seabad yang lalu. Makanan cepat saji, smartphone, liburan ke bulan dan menonton sepakbola di akhir pekan ditemani kentang goreng dan minuman kaleng adalah sesuatu yang tidak dirasakan oleh manusia seabad yang lalu. Namun demikian, terdapat lubang menganga yang ditinggalkan oleh kemajuan industri. Manusia modern, karena fokus utamanya adalah materi, ia melupakan dirinya sendiri. Di mana-mana dapat dengan mudah dijumpai manusia-manusia dewasa yang “pesakitan.” Mereka adalah individu yang dewasa penampilan luarnya, tapi dalamannya dikuasai sifat kanak-kanak, seperti cepat tersinggung, gampang marah atau paranoid terhadap masalah-masalah yang sepele.

Tetapi ketakutan seseorang terhadap—katakan saja, kecoa atau kegelapan lahir dari proses tekanan mental pada periode kanak-kanak dan dalam tekanan peristiwa yang berulang-ulang. Jika ditelisik lebih jauh, phobia yang dialami seseorang sebenarnya tidaklah ‘rasional’, karena seseorang yang phobia terhadap kecoa misalnya—kecoanya sendiri tidak mengancam nyawa. Jadi phobia lahir dari ketidakmampuan manusia berpikir rasional ketika berhadapan dengan objek yang ditakutinya. Secara normal mereka sadar bahwa kecoa tidak punya kekuatan apa-apa untuk membunuh manusia atau minimal menyakiti manusia, akan tetapi ketika kecoa dihadirkan langsung, tindakan bijak yang berasal dari pikiran yang rasional tidak lagi dapat diambil.

Penyebab phobia bisa bermacam-macam. Bisa karena budaya yang tidak rasional, seperti teror ketakutan akan hantu di desa-desa, kebencian yang tak diungkapkan atau ketidakmampuan mental seorang anak membedakan objek yang benar-benar mengancam.

Inti dari phobia, mengutip Freud adalah, “ketakutan yang lahir dari keinginan yang terrepresi, yang ditekan ke dalam alam bawah sadar.” Dengan demikian, phobia sebenarnya diciptakan, bukan hadir secara alamiah. Ia lahir dari proses belajar dalam periode tertentu sampai ia tertanam menjadi kuat dan terefleksi dalam tindakan keseharian (traumatik).

Para pesakitan hendaknya mengakui secara jujur bahwa mereka memang takut pada sesuatu. Objeknya bisa macam-macam. Seperti takut bertemu berhubungan  dengan dunia luar (sosiopobia) yang biasa yang alami perempuan 15-35 tahun, takut ketinggian (acrophobia) sampai takut sama kereta api (sidrodromopobia).

Dan yang terpenting, si pesakitan membutuhkan dukungan yang penuh kasih dari orang-orang sekitarnya sehingga dapat terlepas dari penyakit yang menguras mental dan selalu membayangi di sepanjang perjalanan hidup. Bentuknya bisa macam-macam seperti memberi pengertian akan ketidaksanggupan objek yang diphobiahi untuk mengancam nyawanya, atau mengantarnya ke ahli psikologi untuk terapi hipnotis.

Takut dan yakin merupakan dua hal yang hampir selalu ada bersama-sama persis seperti koin dengan dua sisi yang berbeda. Kita tidak akan lagi dapat melihat sisinya, yang kita lihat hanya bahan koin tersebut dari logam. Takut dan yakin, keduanya memiliki sinergi kekuatan yang besar bahkan saling tarik-menarik. Proses keduanya menciptakan suatu rasa dalam jiwa yang kita sebut kebimbangan. 

Banyak orang yang terlalu menguatkan rasa takut, sehingga terkadang melumpuhkan semangatnya untuk meraih sesuatu. Padahal, jika terus berada dalam arus putaran keyakinan. Apa yang kita cita-citakan akan tersampaikan dan akan benar-benar mewujud. Namun, keyakinan saja tidaklah cukup, keyakinan bisa menipu. Sebab, apabila keyakinan terbentuk dan terpolakan hanya bersumberkan dari khayalan, bukan dari perbuatan. Ujungnya akan membuat kita panjang angan-angan. Bukankah panjang angan-angan kelakuan setan? 

Sering kita dengar atau baca, bakat alam seseorang dapat dikalahkan oleh orang yang tekun berlatih. Keyakinan dan ketakutan juga demikian, tergantung cara kita mengasuhnya. Orang-orang tertentu yang sudah bisa dan biasa mengikhtiarkan kejadian agar sesuai dengan picture in hour head adalah orang-orang istimewa. 

Joice McFadden dalam The Psychology of Hope memaparkan, baik harapan maupun ketakutan adalah motivator. Keduanya memiliki kemampuan meningkatkan pendewasaan terhadap sebentuk persoalan. Harapan menciptakan ruang yang lebih luas, sedangkan ketakutan lebih sering membatasi kita.

Dalam hal rasa takut, manusia terkadang seperti hewan. Perhatikan, bagaimana seekor atau sekawanan hewan membentuk mekanisme pertahanan. Apabila hendak diserang, hewan-hewan tersebut tetap menentukan pilihannya, apakah akan berkelahi atau melarikan diri. Setiap hewan telah dilengkapi oleh naluri pertahanan terbaik menurut kondisinya. Bahkan seekor laba-laba tua yang tampak rapuh sekalipun memiliki toksin untuk melindungi diri. 

Jika ketakutan terlalu mengunci, pikiran kaku dan terjadilah paranoia. Menurut psikiatri, paranoia adalah sakit mental ketika seseorang percaya bahwa orang lain sedang mencoba berbuat jahat atau merasa dirinya jauh lebih penting dari kenyataan sebenarnya. Itu sebabnya, semakin banyak orang yang keseharian hidupnya dikekang curiga, dan tidak percaya kepada orang lain. Apabila hal ini terjadi di tingkatan massif dan menimbulkan efek serupa di berbagai belahan dunia. Muncullah bentuk-bentuk negatif seperti rasisme dan anti kaum atau komunitas tertentu. 

Setulusnya, bagian terbaik dari sebuah ketakutan adalah mengajarkan kita tentang apa yang kita khawatirkan akan musnah. Bagian terbaik harapan mengajarkan bahwa sekali kita tahu tentang apa yang ditakutkan akan musnah, kita berikhtiar untuk menjaga agar tetap kuat dalam keutuhan. Ketakutan bisa saja melahirkan power yang super. Namun, dibandingkan dengan rasa takut, harapan memberi kekuatan yang lebih besar dan agung, bahkan lebih besar dari bola dunia. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi