Oleh: Elwin FL Tobing. “Bang Anto yang dulu pulangkan hp-ku.” Imah masih melanjutkan pembelaan diri. “Dia laki-laki jujur.”
Maya menyipitkan mata. Hanya gara-gara itu?
“Bang Anto ramah sama penumpang.”
Mata Maya berkedip-kedip. Apa istimewanya sopir ramah sama penumpang? Namanya cari muatan.
Imah melirik Maya, memohon pengertian. Tapi wajah Maya kian garang. Imah jadi kecut. Dengan lunglai dia menyeret langkahnya ke bangku taman. Maya duduk di dekatnya sambil berulang menggaruk-garuk kepala. Beberapa mahasiswa yang diam-diam naksir Maya, kontan ilfil melihat cara gadis itu menggaruk kepala. Kok mirip monye…t? Hihi...
Malam hari di ruang makan.
“Mama lebih ikhlas kamu sama Rizki daripada sopir angkot itu, Mah. Walau Rizki kasar dan kurang sopan, tapi setidaknya dia mahasiswa,” Mama ngomel di depan Imah yang diam menunduk sambil memain-mainkan kuping si Molli.
“Sia-sia rasanya kami menyekolahkanmu tinggi-tinggi. Kalau untuk jadi istri sopir angkot, untuk apa jadi sarjana?” suara Mama meninggi.
Imah kian resah dan tak betah. Tapi dia tak berani beranjak, takut Mama makin murka. Imah bertahan dan menyandera si Molly yang sejak tadi berontak ingin lepas. Kucing itu mulai tidak nyaman dengan perlakuan Imah. Sebab tangan Imah tidak lagi sekadar memilin-milin kupingnya. Tapi juga mencabuti kumis, menyentil-nyentil hidung dan meniup kuping Molli kuat-kuat. Kucing itu jadi pelampiasan dendam Imah pada Maya. Pasti si mulut ember itu yang membocorkan bahwa Imah ber-TTM sama angkot driver!
“Sekali lagi kamu naik angkot itu, maka Mama akan hentikan kuliahmu. Lebih baik kamu dikurung di rumah daripada kelak menimbulkan aib bagi keluarga!”
Imah menatap Papa mencari perlindungan begitu mendengar ancaman Mama. Tapi sorot mata Papa menunjukkan bahwa beliau menyetujui hukuman itu.
Imah lemas. Tangannya ikut terurai dari tubuh Molli. Serta-merta kucing itu melompat menyelamatkan diri.
* * *
Banyak lagi foto gadis cantik terhampar di sekeliling Rizki. Tapi sejak tadi, Rizki hanya memegangi foto Imah, sambil menatapnya dengan pandangan lain.
“Kau licin sekali, kayak belut sawah. Tapi cantik dan menggoda,” Rizki mengedipkan sebelah matanya ke arah foto.
“Tadinya aku berpikir, kau akan datang mencariku setelah aku mencuekimu. Kau akan memohon aku kembali sambil berjanji akan menuruti semua keinginanku. Tapi sampai sekarang kau tak pernah memberi kabar. Kau sungguh berbeda dengan gadis-gadis lain yang selama ini mengejar-ngejar aku. Mereka yang pasrah aku perlakukan sesukaku, asal aku tetap membagi cinta pada mereka. Aku tertantang untuk menaklukkanmu hingga kau berlutut dan meratap di kakiku, Mah.”
Rizki mencium foto Imah. Kecipak mulutnya terdengar keras. Tanpa merapikan foto-foto lain yang berserakan, Rizki bergegas mandi. Selesai mandi, dia mematut diri di depan cermin kamar yang lebar sambil menghias diri. Setelah dandanannya dirasa sempurna, dia menggeber Ninja merahnya keluar garasi dan menghilang di tikungan.
Imah hampir lelap di kamarnya ketika Bi Darmi mengetok-ngetok.
“Imah, ada temannya datang,” panggil Bi Darmi dari depan pintu kamar.
“Siapa, Bi?”
“Rizki.”
Hah? Tidak salah?
“Siapa, Bi? Rizki?”
“Iya. Dia menunggu di teras.”
Jantung Imah berdebam. Mau apa si keparat itu ke rumahnya? Mau menuntut balas atas perlakuannya terhadap Ulfi? Mau mengancam mengadu ke polisi? Mau menantang berkelahi? Atau…mau menyambung tali silaturahmi? Ah…
“Papa Mama mana, Bi?” Imah mulai disergap rasa takut kalau menghadapi Rizki sendirian.
“Belum pulang.”
Aliran darah di tubuh Imah kian deras. Keringat dingin menitik.
“Rizki sama siapa?”
“Sendirian saja, Mah. Sudah, temui saja. Ayo Bibi temani,” kata Bi Darmi. Suaranya terdengar tegas dan berani.
Tapi Imah masih ragu. Sibuk menerka maksud kedatangan Rizki. Niat jahatkah? Niat baik…. Ah, pasti maksud jelek. Tapi, kalau berniat buruk, kenapa dia berani datang sendirian? Apa dia tahu bahwa Papa Mama tak ada di rumah? Mudah-mudahan dia cuma mau meminta maaf, setelah itu pulang. Dia berani mendatangi rumah ini setelah peristiwa kemarin, menunjukkan sikap gentle dia. Tak apa-apa kalau aku mencari tahu sebentar.
Setelah merapikan rambutnya di cermin kamar, Imah melangkah ke teras. Lapangan basket di samping rumah sedang ramai orang. Jadi Imah merasa tak perlu takut kalau tiba-tiba Rizki macam-macam. Tinggal berteriak, dan pemuda-pemuda sekompleknya akan datang menolong.
“Selamat sore, Mah. Apa kabar?” sapa Rizki begitu melihat Imah muncul dari balik pintu depan.
Imah hanya mengangguk pelan. Tak urung jantungnya berdebar melihat penampilan Rizki sore itu. Ganteng sekali. Diam-diam Imah memejam sebentar, untuk mengingatkan hatinya agar tidak gampang tergoda.
“Aku mau minta maaf, Mah. Aku telah banyak salah sama kamu,” lirih suara Rizki.
Sebentar dia menghela napas, seolah ingin meringankan hatinya yang diganduli penyesalan. “Aku telah salah memperlakukan kamu. Aku juga keliru menilai kamu. Maafkan kecemburuanku yang berlebihan ya, Mah? Asal kamu tahu, itu semua karena aku sangat menyayangimu dan takut kamu menyimpan cowok lain di hatimu selain aku.”
Ada kelegaan di hati Imah. Ketakutannya teryata tak jadi nyata. Rizki hanya ingin meminta maaf. Bi Darmi pun pelan-pelan beranjak dari balik pintu sambil mengendurkan pegangan pada gagang sapu.
Perlahan Imah menghela napas. Dia mulai mau balas menatap ke arah Rizki. Merasa dapat angin, Rizki kembali berbicara mengumbar penyesalan hatinya.
“Peristiwa di tengah jalan itu, ah… aku tak habis pikir mengapa aku bisa setega itu, Mah. Berhari-hari aku merenung, dari mana datangnya setan yang menghasut hatiku hingga sedemikian kejam memperlakukanmu. Tapi saat itu, aku rasanya tak sadar dengan apa yang kulakukan. Rasanya masa depanku telah hancur, begitu melihat foto Koko yang kau simpan.”
“Aku tidak menyimpan foto itu. Kan sudah kubilang dia sendiri yang…”
“Oh iya, maaf, maaf. Kamu benar, Mah. Aku yang terlalu cemburu. Semua itu karena cinta. Aku terlalu mencintaimu dan tak ingin kehilanganmu,” rintih Rizki dengan wajah memelas.
Ketegangan di wajah Imah hilang sudah. Berganti dengan rasa lain… rasa tersanjung. Ah, ternyata Rizki tak sejahat dugaannya. Cowok itu cukup tahu diri dan tidak gengsi untuk meminta maaf.
6. Cowok Tampan Berhati Setan
Imah ragu saat hendak menggeser pintu pagar. Tadi Rizki sms akan menjemputnya kuliah. Sementara sebentar lagi angkot tua Bang Anto akan melintas. Yang mana yang akan dia tumpangi? Imah bingung menimbang. Langkahnya beranjak ke pinggir jalan. Angkot Bang Anto mendekat. Wajah Imah tegang. Ancaman Mama dan janji Rizki membolak-balik di benaknya. Ketika angkot menepi, Imah spontan menggeleng.
“Ayo, Mah,” Bang Anto membuka pintu depan.
“Tidak Bang. Masih menunggu kawan,” tolak Imah datar.
Sejenak Bang Anto heran. Berusaha membaca wajah Imah. Mengingat-ingat apa ada kesalahan yang terlupa.
Imah mundur menjauh. Tatapannya berpindah-pindah. Tapi jelas menghindari mata Bang Anto.
“Maju, Pir! Lama kali! Kalau tidak mau, untuk apa dipaksa!” seorang penumpang berbaju PNS berseru tak sabar. Penumpang lain ikut menimpali tumpang tindih.
Sekali lagi Bang Anto mengangguk ke arah Imah menawarkan ajakan. Tapi Imah pura-pura tak melihat. Dengan bingung Bang Anto menutup pintu, “Kami duluanlah ya, Mah?”
Anggukan Imah hampir tak kentara. Angkot tua itu melaju pelan. Imah mengikuti dengan sudut matanya.
“Hei..kok menunggu di sini?” suara Rizki mengagetkan Imah. “Dijemput ke rumah, kok malah menunggu di pinggir jalan. Takut ketahuan ortu ya?”
Imah hanya menjawab dengan senyum patah.
“Pegangan di sini, dong!”
Imah pasrah saja ketika Rizki meraih tangannya dan melingkarkan ke perutnya. “Biar hangat,” senyum Rizki.
Lalu Ninja merah itu menderum jantan membelah udara pagi yang lembab. Dada Imah berdesir ketika mereka menyalip angkot Bang Anto. Ada rasa bersalah yang meredupkan sinar wajahnya. Imah merasa bahwa dirinya telah jadi pengkhianat cinta. Hah? Sejak kapan dia pacaran dengan Bang Anto? Memang belum. Tak ada kata jadian di antara mereka. Mungkin hanya sekadar TTM saja. Tapi tetap saja tuduhan pengkhianat masih mendakwa hati Imah.
“Kau sama dia lagi ya?” cegat Maya di pintu kelas.
Imah tak langsung menjawab. Dia masih shock menerima kecupan Rizki yang tadi mendarat tiba-tiba di dahinya. Setelah mengantar Imah ke depan kelas, cowok itu nekad menciumnya lalu membisikkan kata cinta tepat di telinganya. Mata Imah sampai berkunang-kunang, tak siap menerima perlakuan romantis itu. Dadanya mekar oleh ribuan kuntum bunga.
“Kau balik lagi sama Rizki, Mah?” tepuk Maya ke bahu Imah.
“Eh...ih, May. Kamu bikin kaget, tahu tidak?” Imah pura-pura marah.
“Lalu bagaimana Bang Sopir? Menduda dong?” sindir Maya.
“Namanya tidak jodoh.” Imah tergelak. Efek ciuman Rizki masih mendominasi perasaannya. Imah masih merasa melayang-layang.
* * *
Hati Imah kian luluh. Rizki begitu lembut memperlakukannya. Pagi-pagi dia sudah standby menjemput Imah kuliah. Sms dan telepon rajin tersambung ketika mereka tak bersama. Sikap Rizki telah kembali seperti semula, seperti awal-awal mereka pacaran dulu. Ah, tidak! Rizki jauh lebih baik daripada saat itu. Lebih sayang, lebih perhatian, lebih romantis… dia telah mengubah hidup Imah jadi puisi.
Siang itu mereka sedang meluncur ke Parapat. Gerimis merintik tipis. Ah, cuaca pun bersekutu dengan Imah. Gerimis menjadi alasan untuk merekatkan tubuhnya ke punggung Rizki. Memeluk erat, seraya menyandarkan wajahnya.
Bersambung Minggu depan